Bab 2 :
Meletakkan Dasar Satu

Ketika aku masih "menjabat sebagai Kepala Gedung" di asrama(foyer) di
Lure, Perancis Timur, tiba-tiba ada sebuah telegram dari Paris, agar aku
segera datang ke Paris. Sebenarnya kabar itu bisa saja dengan surat atau
tilpun. Tetapi aku atau kami sengaja berbuat demikian, agar dapat bebas dari
"jabatan" itu. Selama menjabat Kepala Gedung (lihat kumpulan cerpen RAZZIA
AGUSTUS dan Cerita-cerita lainnya), hidupku sangat tegang. Sebab penghuni
foyer yang kukepalai itu terdiri dari berbagai bangsa. Dari Asia
Tenggara, Vietnam, Laos, Kamboja dan Afrika, seperti Senegal, Ghana, Konggo dll.
Dan bukan hanya itu, hampir setiap hari ada-ada saja perkara yang
timbul, yang kecil-kecil dan sangat sepele, tetapi selalu mengarah ke
perkelahian. Dan orang-orang ini terutama yang dari Asia Tenggara ini
dikenal sebagai pembunuh kaum komunis, yang sangat anti-komunis. Sudah
sangat biasa bertempur, berperang dan berkelahi.

Dalam sebuah cerpen yang kutulis berdasarkan kenyataan yang kualami
sendiri, ketika tahun 1982 di mana ketika itu penghuni asrama yang banyaknya
ratusan itu sedang menonton pertandingan sepak-bola kejuaraan dunia, telah
saling meledek antara penonton dari Afrika dan Asia Tenggara.
Saling-meledek ini berkepanjangan. Dan pada akhirnya segera akan timbul
perkelahian besar. Masing-masing siap membawa pentungan
besi, pisau, golok, kampak. Dan aku sebagai kepala gedung sudah tentu harus
bertanggungjawab kalau terjadi apa-apa. Dan apa-apa itu sudah di depan
mata. Mereka orang-orang muda, dengan tenaga yang kuat, berangasan, saling
siap berkelahi menumpahkan darah, bisa-bisa sampai mati berkaparan. Dan
semua ini akulah yang harus bertanggungjawab sebagai kepala gedung. Apakah
aku berani? Berani mencegahnya? Sebenarnya sangat jauh dari berani, tetapi
karena harus bertanggungjawab sebagai kepala gedung, aku dengan perasaan
"biarlah kepalang sudah basah, biarlah berbasah-basah, kepalang sudah masuk
air, beranilah berenang dan menyelam", hanya inilah pedomanku.

Dan ada kiranya yang harus kucatat, mengapa mereka kaum peradang itu mau
menurutkan perintahku agar mereka mundur dan kembali ke barak
masing-masing. Padahal semua mereka tahu, bahwa aku ini sudah tua, dan semua
mereka memanggilku "papa", baik yang kecil, sepantaran denganku, bahkan sampai
nenek-kakek, semua mereka memanggilku papa. Mungkin karena kedua putriku
selalu memanggilku papa, dan mungkin pula mereka tahu bahwa aku setiap pagi
mulai jam 06.00 selalu olahraga taiciquan, silat-lemas Tiongkok. Taiciquan
ini pernah kulakukan dengan tahapan deret-ukur, dari 22 jurus, lalu 44 jurus
dan sampai 88 jurus. Dan banyak penghuni gedung itu menyaksikan dan
menonton gerak-gerikku. Padahal aku sangat tidak suka ditonton begitu.
Rasanya sangat kikuk. Dan setiap hari menjelang sore, aku praktek
tusuk-jarum, akupungtur. Mengobati penghuni asrama itu. Sudah tentu tidak
bayar, sebab kami semua penghuni terdiri dari orang-orang pelarian
politik, tidak punya uang. Walaupun tidak sedikit pasienku yang datang dari
berbagai kota sekitar Lure, yang bukan orang tak punya uang seperti kami.
Untuk minta dan meletakkan tarif sudah tentu tidak mungkin, sebab pekerjaan
ini bukanlah resmi dan dapat dianggap bekerja-gelap.

Mungkin dari "pekerjaanku" sehari-hari inilah yang menjadikan diriku
disegani dan dituruti "perintahku" dan memang ada unsur penuaan atau
dituakan, di"-orangtua-kan" oleh mereka. Dan juga mengapa aku yang ditunjuk
menjadi kepala gedung oleh direktris foyer Madame Barre, mungkin unsur semua
itu turut menentukan sehingga pihak foyer memutuskan sebaiknya si simon
inilah yang jadi kepalanya. Padahal aku sangat tidak mau, tidak punya
kesanggupan, tidak punya kemampuan. Tapi pihak foyer berkeras agar aku yang
menjadi kepala gedung. Dan agar tidak terlalu lama berlalai-lalai, diskusi
berkepanjangan, dan lagi pihak foyer akan sepenuhnya membantu dengan
perlengkapan pengamanan, seperti sirene-alarm, ambulance, dll, maka aku dengan
rasa sebenarnya sangat tidak mau, terpaksa menerima keputusan itu.

Dan hampir setiap hari hati ini dag-dig-dug, kuatir, cemas. Sebab bibit
perkelahian sangat mudah tumbuh, dan api serta darah sangat cepat terbit. Dan
aku tidak pernah tenang selama itu sepanjang hari. Sedikit saja anak-anak
berkelahi antara anak-anak Afrika dan anak-anak Asia Tenggara, lalu aku
segera saja turun-gedung dan mengawasi serta menengahinya. Dan kalau para
abang-abangnya yang lebih besar saling bercakap-cakap dengan suara besar
dan teriak-teriak saja, maka akulah yang mula-pertama cemas dan
kuatir. Apalagi kalau orang dewasanya! Barangkali lebih tepat kalau diriku
ketika itu dinamakan satpam gedung, penjaga-keamanan gedung. Bisa-bisa
gedung dan penghuninya memang aman, tetapi aku, diriku ini, penuh rasa
tidak-tenang, cemas dan kuatir.

Bagaimanakah dan betapakah rasanya hidup sehari-hari dalam keadaan selalu
cemas dan kuatir begitu? Terkadang kalau sore-sore ketika aku sendirian di
lapangan-bola di sekitar asrama kami, sambil memperhatikan anak-anak kecil
dan anak-anak muda bermain, sempat terpikir padaku, - kapankah aku terbebas
dari jabatan kepala gedung ini? Oh, Tuhan, janganlah sampai terjadi
perkelahian dan pertumpahan darah di antara kami penghuni gedung yang kini
menjadi tanggungjawabku. Tolonglah, ya Tuhan, tolonglah hambamu, sertailah aku
selalu, lindungilah kami sepenghuni gedung ini, agar selalu dalam perasaan
aman-damai, siramilah kami dengan air-sejuk pada setiap kepala yang selalu
panas, agar kami menerima kasih-sayangmu. Tuhanku, amankanlah dan
tenangkanlah kami semua ini. Demikianlah aku selalu berdoa setiap hari. Dan
anehnya walaupun aku ini tidak shalat-sembahyang, tapi aku sangat yakin
Tuhan akan mendengarkan dan menolong kami semua.

Rasa kuatir, cemas, kukabarkan pada temanku Markam di Paris, dan aku minta
padanya bagaimanalah agar mencari akal agar aku "terbebas" dari
ketakutan, kecemasan ini. Dan barangkali dengan jalan itulah Tuhan
menolongku. Sebuah telegram agar aku segera datang ke Paris buat
bersama-sama mengurus suatu pekerjaan yang bersifat besar dan penting buat
kami semua. Dan dengan surat-telegram itu, Madame Barre dapat dan ada alasan
kuat buat melepasku, melepaskan jabatan yang begitu membikin diriku sakit
syaraf selama berbulan-bulan belakangan ini.
Dan aku menjabat dan memeluk Madame Barre, direktris kami, penguasa foyer
itu. Semula dan tadinya memang dia agak segan melepasku, tetapi dia tak
punya hak buat menahanku "bertapa jadi berhala" di perkampungan itu.

Dan kami berdua, Markam dan aku, begitu sampai di Paris, hari itu juga sudah
menyusun rencana, jadwal-kerja, bahwa kami telah bulat dari permufakatan
selama ini dengan diskusi, surat-menyurat dan per tilpun dengan banyak
teman, bahwa kami akan mendirikan sebuah restoran. Kerja ini harus
cepat, tetapi juga harus teliti, dan harus hati-hati. Namun
demikian, bagaimanapun sulit dan susahnya, pastilah tidak seperti
"pekerjaan-gila" dulu itu, jadi kepala gedung yang penuh dengan rasa
waswas, cemas, dan kuatir. Perkelahian setiap waktu bisa meletus. Bunyi orang
bersuara besar dan keras saja, aku sudah dag-dig-dug. Orang berteriak keras
saja, aku sudah mulai pasang kuping bagaikan mata-kepiting, lebih tinggi
daripada kepala!

Alhamdulillah, besok kami akan mulai bekerja buat banyak teman-teman
kami, buat hari depan kami, buat kehidupan kami, agar kami tidak lagi selalu
antri berbaris buat menerima bantuan pemerintah Perancis. Rasanya ketika
berbaris panjang dengan berbagai bangsa buat menerima bantuan setiap bulan
itu, ada rasa malu yang sangat. Tetapi hal demikian hanyalah dapat kami
katakan apa boleh buat, kami sudah usaha mencari kerja, tetapi sampai kini
belum dapat. Melamar ke mana-mana, mencari pekerjaan ke mana-mana, pasang
advertensi-kecil, tetapi persaingan begitu berjibun. Nah, kini mulai besok
kami akan mencari dan menciptakan-kerja atas usaha sendiri, atas tenaga
sendiri. Semoga, lagi-lagi Tuhan menolong nasib kami, -

Paris 19 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.