Bab 1 :
Riwayat Singkat

Mengapa kami mendirikan sebuah resto? Bagaimana asalmulanya? Beberapa teman
berdatangan di Paris karena tidak bisa pulang ke tanahair. Tidak mungkin
pulang, karena kami dicap dan dituduh tersangkut dengan peristiwa-nasional
yang mereka (penguasa) sebut G30S/PKI. Banyak teman menyebutnya Gula
Tigapuluh Sekilo. Begitu berdatangan di Perancis, itu artinya bertambah lagi
calon penganggur, bertambah lagi beban pemerintah. Padahal kaum penganggur
selalu bertambah, angkanya menunjukkan kenaikan yang cukup pesat. Dari yang
tadinya hanya sekian ratusan ribu sampai jutaan, kini menjadi lebih dari
tiga juta kaum penganggur. Penyediaan tempat-kerja atau lowongan-kerja
sangat sedikit, sedangkan permintaan-kerja sangat banyak.

Di pihak lain, mencari pekerjaan di Perancis sangat sulit, penghalang yang
cukup penting yalah masalah bahasa. Bahkan masalah bahasa ini terkadang
terasa bukan saja sangat penting tetapi yang paling pokok. Orang-orang tentu
pernah mengalami kalau pernah datang ke Perancis, bahwa masalah bahasa ini
sangat sulit. Sebab di Perancis, bahasa asing lainnya sangat tidak
populer, bahasa Inggeris pada umumnya pemakaiannya tidak sepopuler di
Holland misalnya atau di Indonesia bahkan! Ada rasa kesombongan orang
Perancis dengan bahasanya ini. Orang lain harus mengerti bahasa
mereka, tetapi mereka terlalu banyak tidak mengerti bahasa lain.

Di Holland, orang atau pendatang atau turis, bisa saja menggunakan bahasa
Inggeris atau Perancis, dan kebanyakan orang Belanda akan menjawabnya dan
bisa berdialog dengan bahasa itu. Mungkin dan kata orang, inilah sebuah
negeri kecil yang begitu banyak didatangi orang, banyak mengerti bahasa
asing. Lain halnya dengan Perancis, orang yang tak tahu tak mengerti bahasa
Perancis, sangat sulit kalau datang di Perancis apalagi kalau hidup di
Perancis. Inilah salah satu alasan mengapa kami mendirikan resto. Agar
dapat mengurangi kesulitan berbahasa. Sedangkan kalau di resto
sendiri, persoalan bahasa dapat diatasi. Tetapi dalam pada itu, samasekali
tak dapat dihindarkan , setiap orang, setiap kami harus mengerti dan bisa
berdialog dan berkomunikasi dengan orang manapun dalam bahasa Perancis.
Bahasa adalah alat pergaulan umum dan bersifat internasional, alat mengenal
orang lain dan pengetahuan, sebuah jembatan buat berhubungan dengan orang
perorang, budaya, ilmu dan sosial.

Jauh sebelum kami mendirikan sebuah resto, kami sudah mencoba berbagai usaha
buat mencari pekerjaan. Melamar ke mana-mana dan di mana-mana. Tetapi
disamping lowongan-kerja yang sangat sulit didapat, kemampuan berbahasa
sangat diutamakan. Bagaimana mau melamar pekerjaan kantoran kalau bahasanya
saja tidak lancar dan tidak jalan! Karena itu lowongan-kerja bagi orang
manapun yang tidak menguasai bahasa Perancis, satu-satunya jalan hanyalah
memburu, merebut pekerjaan-kasar, pekerjaan yang tak banyak membutuhkan
kemampuan berbahasa. Dan pasaran untuk ini minta ampun banyaknya
persaingan, permintaan-kerja dari berbagai negara dan migrant, seperti dari
Portugal, Polandia, Turki, dan Eropa Timur lainnya. Ada keunggulan bekas
jajahan Perancis atau yang menggunakan bahasa Perancis seperti dari Afrika
dan Asia seperti Vietnam, Laos, Kamboja, Tunisia, Marokko, Senegal, dll, karena
mereka kebanyakannya memahami bahasa Perancis.

Ada sebuah anekdote, kalau Perancis anti-orang-asing, maka akan hancurlah itu
perusahaan besar seperti pabrik mobil Renault, Pegeout, sebab lebih dari 60
persen bahkan ada yang lebih dari 70 persen pegawai dan buruhnya
berdatangan dari negara lain, buruh migrant. Dan Paris akan sangat kotor dan
jorok, sebab siapa yang akan membersihkan
jalanan, kantoran, gedung, pertokoan, siapa yang akan mengurus puluhan ribu ton
sampah yang tiap hari menggunung? Orang Perancis mana mau pekerjaan
begituan! Perancis rasanya dan mungkin nyatanya, tidak mungkin tanpa
orang-asing, pekerja-asing. Sudah berkali-kali pemerintah mengusiri
orang-asing, dipulangkan ke negerinya, tetapi bolak-balik tetap saja
membanjir dan berdatangan para migrant, para pencari-suaka, para
pelarian-politik. Bahkan orang-orang yang pernah diusir itupun, tidak jarang
dengan menyelundup datang lagi, datang lagi ke Perancis! Mana ada kata tobat
bagi orang yang sangat membutuhkan kehidupan, keamanan kehidupan.

Dalam kesulitan mencari-kerja inilah timbul ide buat mendirikan sebuah
resto tadi itu. Bahkan sebelum ide itu mantap buat dikerjakan, masih ada
beberapa gagasan lainnya. Seperti membuka toko-buku, toko
rempah-rempah, bahkan membuat sebuah kantor atau usaha pariwisata, tourisme.
Ada pikiran membuka sebuah warung sederhana, dan toko-kerajinan-tangan.
Tetapi dari berbagai diskusi, perdebatan, masukan dari banyak
teman, kebanyakan hanya sebuah restolah yang bisa agak banyak menampung
tenaga-kerja. Dan hanya sebuah restolah yang paling bisa diandalkan bagi
beberapa tenaga-pengangguran yang banyaknya belasan orang ini di antara
kami. Penghalang lainnya, karena kami ini bukanlah tenaga-muda dan
tenaga-kuat, maka kami harus pikir-pikir juga, harus mengukur
dirisendiri, harus tahu dirilah. Orang-orang sudah mulai memikirkan
hari-tua, pensiunan, kami justru baru mulai mencari kerja! Lalu mengapa
terjadi demikian? Kalau bukan keterpaksaan, bukan karena
tekanan, tindasan, dan ancaman pemerintah RI-Orba-Suharto-Abri, kehidupan kami
tidak akan begini! Karena itu sudah sangat umum dan luas diketahui bahwa
resto kami adalah "resto kaum pelarian politik" -, dan tuduhan dan tudingan
ini sudah tentu dilemparkan oleh pihak sana. Kami sendiri tidak
openen, tidak perduli dicap apapun dan bagaimanapun. Yang penting kami bisa
melanjutkan kehidupan dengan tenaga sendiri, tidak menggantungkan nasib
kepada orang lain, atau pihak lain. Kami hanya berhubungan dengan para
pelanggan kami, orang-orang yang datang makan ke resto kami. Secara
kasarnya, dari merekalah kami hidup. Kami hidup dari isi kantong mereka!

Karena itu kamipun tidak perduli akan datangnya
kesulitan, halangan, boikot, dari pihak pemerintah RI-Orba-Suharto-Abri. Kami
terus saja jalan, -berhati-hati, waspada tetapi tidak terprovokasi. Memang
pernah ada surat edaran atau semacam seruan, himbauan yang keras, agar
orang-orang Indonesia tidak datang ke resto Indonesia, tidak boleh makan di
sana. Surat edaran dan himbauan ini kalau tak salah datangnya dari KBRI
Paris ketika zaman Menlunya Mokhtar Kusumaatmaja. Tentu saja ada yang
menaatinya, tetapi tentu saja tidak sedikit yang tidak memperdulikannya.
Soal makan dan soal selera tidak bisa diinstruksikan dengan
ultimatum-moderat ataupun keras sekalipun. Dan selama ini hilir-mudik saja
orang berdatangan makan tanpa tanya bertanya dari golongan manakah kami, dan
dari golongan manakah mereka?

Dan yang makan di tempat kami itu pada umumnya tidak mengenal batas
negara, batas politik dan paham dan kulit. Semua dutabesar Asia atau pegawai
stafnya pernah makan di tempat kami, kecuali Indonesia!!
Ketika Presiden Miterrand masih aktif sebagai presiden, isterinya , Madame
Daniele Miterrand sudah 6 kali makan di resto kami. Dia selalu dengan
rombongannya France Liberte, sebuah organisasi sosial-kultural yang sangat
besar perhatiannya pada dunia ketiga, termasuk pada Indonesia. Termasuk
isteri Presiden Allende alm, dengan konggres wanita Amerika-Latinnya.

Paris kota metropolitan yang bersejarah, pernah menjadi pusat-peradaban
Eropa, begitu banyak kaum turis, pendatang dengan berbagai urusan, memang
memerlukan tempat-makan yang baik, yang bisa bersantai. Karena itu walaupun
ada beberapa buah lagi resto Indonesia, kami tak merasa bahwa keberadaannya
akan mengancam kami, samasekali tidak! Kita bersaing secara sehat, berlomba
dengan jujur, fair-play kata para olahragawan! Karena itu pada suatu waktu
pernah ada resto Indonesia sejumlah 5 buah. RESTO INDONESIA, JAKARTA BALI,
JAWA BALI, BOROBUDUR dan SURABAYA. Sayang sekali beberapa resto itu rontok
dan bangkrut serta tutup. Tinggal kami bersama JAKARTA BALI, sampai kini.
Dan pada tahun ini 1999, ada lagi sebuah resto kecil-mungil yang bernama
WARUNG INDONESIA, yang letaknya di Paris 16, sebuah daerah orang-orang kaya
di Paris. Kami merasa beruntung berada di daerah Paris 6, daerah
Quartier-Latin, daerah tempat makan, tempat nongkrong. Dengan demikian kini
ada tiga resto Indonesia di Paris. Dan kami tidak pernah merasa akan
terancam jalannya resto kami. Kalau para pelanggan bertanya, apakah ada
resto Indonesia lainnya, kami selalu menjawab dan memberikan alamat resto
Indonesia lainnya itu. Dengan senang hati, dengan senang hati!
Bagaimanapun keberadaan resto Indonesia itu tetap akan mempromosikan
ke-Indonesia-an kita, sosial-budaya kita, bangsa dan adat-istiadat kita, di
tengah kehidupan internasional ini.-

Paris 17 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.