Bab 15 :
Makanya Jangan Sembarangan

Pada pokoknya pelanggan kami itu memang dari kalangan orang bule. Dari
kebanyakan orang bule itu adalah orang Perancis. Dan sebagian besar dari
mereka, biasanya sudah kenal dengan Indonesia, sudah pernah tinggal di
Indonesia atau sudah pernah datang ke Indonesia. Sebagai turis, sebagai
pelajar dan mahasiswa, sebagai pekerja-kontrakan dan bahkan dari
keluarga kedutaan Perancis di Jakarta atau kedutaan lainnya, yang mau
bernostalgia tentang Indonesia.

Ada rombongan turis yang ber-reuni dan berjanji akan makan-bersama di resto
kami. Dan mereka saling bercerita tentang Indonesia, dan hubungannya dengan
teman-teman di Indonesia. Dari kedatangannya selama di Indonesia dalam
sekian hari itu, ada di antara mereka yang sempat menjalin percintaan dengan
orang-orang di Bali, di Minang, bahkan di Tana Toraja, dan lain-lainnya.
Bahkan pernah terjadi sehabis mereka mengunjungi tempat-tempat di
Indonesia, dan sempat berkenalan, lalu terjadi lagi kunjungan kedua, sampai
ketiga dan lalu membawa wanita pujaannya dan menikah dan membawanya ke
Perancis.

Peristiwa begini juga bisa timbalbalik, artinya si wanita bule itu membawa
pria yang dari Indonesia, dengan janji-janji cinta yang saling
menenggelamkan, akhirnya mereka menikah atau bisa juga hidup-bersama
alias hanya kumpul-kebo saja.

Orang-orang yang ada hubungan dengan Indonesia, atau pernah ke
Indonesia, atau pernah terbiasa dengan adat-istiadat Indonesia, atau hanya
sangat tertarik saja dengan apa yang serba Indonesia, mereka biasanya akan
datang atau saling bertemu di resto kami. Dan kalau antara mereka sudah
saling cerita tentang pengalamannya atau kenang-kenangannya ketika masih
sama-sama di Indonesia, kami sendiri yang "penduduk dan orang asli
Indonesia" hanya terbengong-bengong saja mendengarkannya. Sebab tak ada di
antara kami yang sudah ke Mentawai, atau ke Pulau Nias, ke Kepulauan
Enggano, dan mereka lancar saja menceritakan tentang budaya dan kebiasaan
orang Nias! Dan kami merasa seakan ledekan ketika antara mereka sepatah dua
patah kata berkata-kata dalam bahasa Nias atau Mentawai atau bahasa
Toraja, misalnya. Pada akhirnya kamilah yang banyak tanya ini tanya itu
tentang pengalaman mereka di berbagai kepulauan dan tanah
Minang, Toraja, dan di Sumbawa atau Flores!

Terkadang terasa sedih juga bahwa kami para "melayu-asli" ini jauh kalah
dengan mereka. Mereka banyak sekali yang sudah mengedari tanahair kita.
"Yang punya tanahair sendiri" ada yang bahkan belum pernah melihat
Borobudur atau ke Bali misalnya. Teman kami "orang Jawa" sendiri cukup
banyak yang belum melihat-dekat dan menyaksikan keindahan Borobudur! Tapi
mereka kalau hanya soal Borobudur atau Bali, itu sih hal samasekali tak
aneh, karena hal-hal yang sangat biasa, tak usahlah diceritakan lagi, itu mah
pengalaman lama dan "sudah kuno"!, demikianlah dapat diibaratkan.

Tidak hanya satu dua orang yang pernah makan di resto kami yang
mencengang-herankan kami, sebab mereka minta disediakan kobokan! Mereka mau
makan pakai tangan, "nah begini asli Indonesia", kata mereka setelah kami
sediakan kobokan. Dan para pelanggan lainnya tetangga-duduk di kiri-kanan
mereka, hanya melihatkan dengan rasa agak heran, tetapi tampak sekali tak ada
rasa menghina atau mau mentertawakan mereka. Semua berjalan biasa, sangat
biasa saja! Dan beginilah Paris, satu sama lain tidak ada
urusan, masing-masing bebas asal tak saling mengganggu kemerdekaan pribadi
orang. Ada bahkan yang jadinya tertarik dan mau ikut-ikutan berbuat
begitu juga.

Satu kali ada pelanggan yang minta disediakan "sambal asli" dari ulekan
atau lumpang, sambal terasi dengan jeruk-purut yang wangi merangsang. Dan
pelanggan itu minta disediakan dengan lumpangnya sekaligus di letakkan di
atas meja-makannya! Dan pelanggan itu makan pakai-tangan dan sambal terasi
langsung dengan lumpangnya, lumpang-batu yang beratnya lebih dua kilo itu!
Cerita ini berkembang, karena kemudian pelanggan itu membawa lagi
teman-temannya, dan juga minta disediakan kobokan dan lumpang, sambal terasi
yang seperti dulu itu lho, demikian kata mereka. Dan kami sediakan dan
kebetulan kami punya tiga lumpang. Sebelum terjadi hal-hal yang tak
enak, kami katakan bahwa kami hanya punya tiga lumpang itu saja. Kami tak
biasa dan tak mungkin menyediakan lumpang pada setiap meja makan.
Bayangkanlah kalau ada 15 meja, harus ada 15 lumpang, berbaris bagaikan ada
upacara seremonial yang sangat eksotik! Merekapun mengerti dan tertawa
merasa lucu juga kalau terjadi hal-hal demikian.

Aku adalah seorang pekerja dan pelayan yang paling banyak dikritik
teman-teman, karena terlalu sembarangan dalam berkata-kata, terlalu mudah
menyatakan sesuatu, tanpa terpikirkan akibat sampingannya.
Jarak dapur kami dengan tempat duduk pelanggan yang paling dekat, hanya dua
meter saja jaraknya. Tetapi tak bisa saling melihat kalau sedang
service, hanya bisa saling mendengarkan suara ngomong, itupun seandainya
betul-betul pasang kuping untuk itu. Jarak begini dekat tapi tak bisa
saling melihat, karena "dipagar-batasi" dengan sehelai gorden besar, agar tak
tampak orang dapur mondar-mandir sedang masak. Jam-kerja service siang
sampai jam 14, 30. Biasanya pada jam 15, 30 pelanggan sudah sepi dan sudah
pada pulang. Tetapi adakalanya para tamu karena begitu santai dan asiknya
ngobrol, jam 16.00 lewat baru pulang. Kami tak boleh mengusir tamu, tak ada
resto yang mengusir tamu! Hidup kami tergantung dari isi kantong
tamu, tergantung pada isi dompet-uang para tamu! Jadi jangan main-main.
Ketika itulah terasa benar bahwa tamu, pelanggan adalah raja!

Dan kalau para tamu ini belum pulang-pulang juga, sudah tentu kamipun tak
bisa pulang, dan capek ya tinggal capek, rasakan saja. Ada sepasang
muda-mudi, biasa orang bule, sambil duduk berdekatan dan bercinta
tenggelam-tenggelam. Berciuman, berpelukan, merokok, makan lagi
sekedarnya, lalu ngobrol lagi, tertawa, pelukan, ciuman mesra. Dan mana mereka
mau perduli! Ini sudah kebiasaan di kota besar Paris ini, juga di banyak
resto lainnya. Sepasang tamu ini duduk dekat dapur lagi, walaupun dibatasi
"pagar gorden" tadi itu. Teman-teman dapur selalu menanyakan
kepadaku, apakah sudah habis tamunya, apakah sudah pulang semua?! Karena
kalau sudah pulang, kami akan membuka "tabir gorden" itu dan tandanya orang
dapur bebas akan ke luar-masuk, karena sudah tak ada tamu. Ketika itu
sebenarnya akupun sudah hampir mencapai puncak kedongkolan. Sudah sangat
capek, mau pulang mau lekas istirahat. Tetapi sepasang muda-mudi orang bule
itu tetap saja asik clap-clup dengan bibirnya ciuman, pegangan kepala dan
muka, lengket lagi, lepas sebentar, diulangi lagi, sedangkan jam terus jalan.
Sudah hampir jam 17.00.

Seorang teman dapur tanya lagi kepadaku. Apa tamu sudah pulang semua? Aku
sedang ada pada puncak dongkolnya, dan dengan agak keras dan agak
kasar, kusahuti teman itu.

"Apanya yang pulang. Malah lagi gila-gilanya asik
ngos-ngosan, clap-clup, muka sudah pada bonyok, diremas
dan diraup"!, kataku dengan setengah dongkol, dan dengan
suara keras.
"Mereka sih enak-enak, nah kita ini yang mau pulang, dari tadi tidak
jadi-jadi, nungguin orang yang sedang mabuk cintrong";kataku lagi. Aku tetap
ke luar-masuk antara dapur dan sal, dengan rasa marah, benci dan dongkol.
Rupanya tamu yang saling remas-meremas dan muka pada hampir bonyok
itu, mungkin sudah merasa terlalu lama di resto, akhirnya bangkit dan mau
pulang. Melihat begini, agak terasa akan mengurangi rasa kedongkolan
tadi, dan kami bisa pulang walaupun sudah sangat terlambat. Ketika mau
pulang si perempuannya berkata:

"Maaf Pak ya, kami terlambat pergi", katanya. Agak gemetar aku
mendengarkannya. Kata-kata itu diucapkan dalam bahasa Indonesia dengan baik!
Mimpikah aku? Betulkah dia tadi berbahasa Indonesia? Dan kujawab sambil
menahan malu.
"Bahasa Indonesianya baik sekali ya", kataku hampir kehilangan muka!
"Akh, sudah banyak lupa, Pak. Kalau mau ngomong agak sulit, tapi kalau
pasif, mendengarkan masih bisa dan masih bolehlah", katanya dengan cukup
genit. Terasa tertampar diriku ini. "Lama di Indonesianya?".
"Bagaimana ya, lama juga tidak, sebentar juga samasekali bukan. Karena
ayah-ibu saya dan kami semua pernah di Kalimantan, di Balikpapan. Karena
orangtua saya bekerja di pertambangan minyak. Di sana kami selama 4
tahun. Lalu pindah ke Jawa, dan saya sekolah di IKIP Malang selama 2
tahun, lalu pindah lagi ke Perancis. Dan kini kami tinggal di Paris
ini", katanya dengan bahasa yang bukan main bagus dan halusnya.
Hampir saja lututku terasa goyang. Dan pada akhir kisah, mereka
minta diri dengan cukup sopan, karena minta maaf sudah
terlalu lama duduk di resto kami.

Begitu pasangan itu keluar, maka keluarlah beberapa teman dapur sambil
menahan tertawanya memegangi perut masing-masing. Sambil menuding dan
memaki diriku.
"Makanya kamu sih nggak tobat-tobatnya! Mbok tahu dirilah, jangan suka
sembarangan kalau ngomong! Orang bule apalagi yang ke resto kita ini, selalu
banyak tahu tentang Indonesia, tahu bahasa kita!Kamu itu sejak dulu selalu
ketangkap basah, karena selalu suka sembarangan ngomong, ngatain muka
bonyoklah, clap-cluplah. Pastilah mereka mengerti semua apa yang kau katakan
tadi! Yah, itulah obatnya orang suka ngomong sembarangan, rasain
kamu!", kata teman-temanku.
Dan aku diam saja. Lalu aku mau apa?! Semua salahku, mengapa ngomong
sembarangan, dikira orang tak tahu bahasa kita, karena mereka orang
asing, orang bule! Dan kejadian ini sudah untuk kesekian kalinya untukku.
Kalau banyak teman marah dan mengkritikku, semua ada dasarnya.

Paris 11 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.