Bab 14 :
Kisah Sepucuk Pistol

Benda baru, barang baru dan sudah lama diimpi-impikan, sepucuk pistol. Waktu
kecilku dulu bila melihat seorang polisi atau tentara, dengan pistol
dipinggang, bukan main gagahnya. Menurut penglihatanku ketika itu, hanya
apabila seseorang polisi atau tentara pakai pistol, barulah dia polisi dan
tetara tulen, dan hebat.
Yang lainnya yang tidak pakai pistol, walaupun dengan pedang, apalagi hanya
pentungan, bahkan dengan senapang sekalipun, juga termasuk mitralyur, senapang
mesin, akh, itu sih samasekali tidak hebat. Yang hebat itu yang pakai pistol!
Demikianlah pikirku ketika itu. Dan kini menjelang umurku tak lama lagi
pensiun, aku bisa memiliki sepucuk pistol. Dan atas nama resto dan direktur
kami, Pascal, lengkap dengan surat-surat resminya, dan perjanjian yang harus
ditaati dengan keras.

Tentu saja dalam hari-hari pertama, benda mengkilat kehitaman itu selalu
saja kugosok-gosok, kuciumi dan baunya yang terasa enak, bau mesin yang
halus, terus kuelus-elus. Kubungkus dengan saputangan merah, dan alat
pengelapnya agar terus mengkilat, kubelikan sebuah saputangan beledru dan
sutra berwarna kemerahan, warna merah mawar-muda. Barangkali kalau ada orang
melihatku bertingkah-laku demikian, dengan senyum dan rasa
bahagianya, tentulah akan berpikir, mungkin orang ini rada sinting atau
gendeng.

Tentu saja kalau malam-malam pulang dengan tas-ransel yang banyak uang
itu, aku merasa lebih aman dan ada rasa percaya-diri. Sedikit saja ada
gerak-gerik yang kira-kira mencurigakan, tanganku sudah masuk ke dalam
sela-sela tas-ransel dan memegang gagang pistolku. Walaupun banyak
gerak-gerik atau sedikit saja yang kuanggap pertanda, awas hati-hati, siapa
tahu orang-orang ini mau merampok, maka aku siap-siap mencari gagang
pistolku. Terkadang pistol itu kusimpan dalam kantong, terkadang kuselipkan
di pinggang antara ban dan celana pantalon, dan terkadang dalam tas-ransel
dekat amplop uang dan buku pembukuan resto.

Tetapi bila aku sedang tidak membawa uang, maka pistol itu terkadang
kutinggalkan di rumah saja. Untuk apa dibawa-bawa, kan keberadaannya hanya
karena untuk melindungi hartabenda dan uang resto. Sayangnya pikiran
pendapat begini tidak lama. Kupikir, orang jahat kan tidak tahu apa itu
isinya yang dalam tas-ransel, apa ada uang atau tidak. Tentu mereka akan
selalu menyangka pastilah ada benda berharga, uang atau katakanlah
perhiasan. Maka berkembanglah pikiran dan pendapatku yang saling
tumpangtindih. Dan lagi bukankah pada periode tertentu, aku pernah selalu
diikuti intel, informan dan siapa tahu mata-mata dari KBRI atau langsung
petugas dari Jakarta buat menculikku?! Dalam hatiku, siap-siap sajalah, orang
jahat itu bukannya sedikit, dan kapan akan melakukan kejahatan, dia kan tidak
akan mengatakannya. Karena "peperangan" pendapat dan pemikiran yang ada
dalam kepalaku ini, maka kuputuskan sajalah, selalu bawa pistol, dengan
tambahan alasan, demi keamanan diri sendiri.

Mungkin dan siapa tahu, semua gerak-gerik yang kuanggap
mencurigakan, jangan-jangan hanya perasaanku saja. Padahal siapa tahu
sebenarnya tidak ada apa-apa, biasa-biasa saja. Dan secara tanpa
sadar, lama-lama terasa, sebenarnya dengan adanya sepucuk pistol ini, apakah
aku merasa lebih aman atau ada rasa lain tertentu yang justru membuatku
lebih gelisah. Pertanyaan ini tidak pernah bisa terjawab, tetapi ketika aku
sedang tenang, jernih, sedang kosong, maka terasa dengan adanya sepucuk pistol
itu, watakku, tabiatku agak berubah. Berubah bagaimana? Rasanya malah
sebaliknya dari dulu itu, di mana ketika aku tidak punya senjata itu, malah
lebih bisa berpikir panjang dan agak jernih. Kini setelah punya
pistol, malah ada terasa lebih berani, bahkan lebih mau galak, mau lebih
beringas, dan sepertinya agak mudah terpancing dan terprovokasi. Lalu
terpikir padaku, pantas saja polisi dan tentara itu pada
galak-galak, sok-sokan, pada beringas dan beringas itu selalu saja kepada
orang lemah yang tidak punya daya apa-apa, tidak punya senjata, kongkritnya
kepada rakyat kecil.

Lama juga aku "berperang" dengan diriku sendiri ini. Menyelidik diri, periksa
diri. Dan terkadang jauh ke belakang, dan sampailah kepada titik-awal
kehidupan. Ketika sebelum peristiwa-besar-nasional tahun 1965, aku selalu
bekerja dan mendapat pekerjaan yang sejajar, paralel dengan kesukaan dan
kecintaanku pada bidang tersebut. Tetapi sesudah itu, keadaan menjadi
berubah dan sampai kini. Apakah perkaranya? Bahwa sekarang ini aku bekerja
karena keharusan, karena kewajiban, karena keterpaksaan dan harus begitu, dan
bukan karena kesukaan dan kecintaan. Tetapi aku menyadari dan memang
kujanlankan, bahwa sekali pekerjaan itu terpegang, haruslah berusaha
mencintainya, paling tidak harus bertanggungjawab penuh, sukur-sukur kalau
bisa mencintainya secara langgeng.

Pekerjaan resto dan selukbeluknya, walaupun lama-lama kami ini dengan
sedirinya terangkat menjadi profesional karena belasan tahun dalam kandang
pengalaman tersebut, tetapi bagaimanapun pekerjaan itu bukanlah pilihan
kami, bukan pilihanku, karena memang tidak ada yang lain dari itu! Setelah
jauh lagi melihat ke belakang dan jauh lagi ke depan, lama-lama
terasa, bagaimana kalau aku mengajukan pensiun-dini, pensiun lebih awal, agar
aku bisa "membayar hutang" atas cita-cita dan kecintaanku pada satu
pekerjaan yang sudah sangat lama terpendam. Aku sangat ingin mengerjakan
apa yang kusukai dan kucintai, dan yang sejak kecilkku lama sudah
kuidam-idamkan. Pekerjaan apakah itu? Terlalu lama aku telah
"menyia-nyiakan" cita-citaku, kecintaanku padanya. Kalau aku mengajukan
pensiun-dini, tentulah banyak waktu buat "membayar hutang" itu tadi. Aku
akan banyak waktu untuk belajar, untuk banyak membaca dan yang paling
penting tujuannya, untuk banyak menulis!

Bahwa akan ada kesulitan dan kesukaran baru, itu pasti! Mana ada uang, mana
ada gaji yang seperti dulu lagi, mana ada pemasukan, selain pensiun yang
sangat kecil itu. Bekerja sekarang ini memang terjamin pasti
kehidupan, tetapi adakah ketenteraman hati, adakah rasa aman tenteram? Setiap
hari bergulat dengan rasa waswas, kuatir, dan sepucuk pistol, yang kalau tak
berhati-hati akan makan jiwa orang lain atau bahkan jiwa sendiri, karena
pertempuran misalnya, perkelahian yang tak seimbang. Adanya dan sejak
kumiliki sepucuk pistol itu, telah banyak membikin diri ini "berperang"
dengan diri sendiri. Tabiat, perilaku hampir-hampir saja menjadi begitu mudah
beringas dan galak dan sok jagoan!! Pikiran ini lama dan lama kutimbang dan
aku banyak konsultasi dengan anak-anakku, bagaimana kalau papa pensiun-dini
karena semua masalah yang kukemukakan tadi. Dan mereka setuju, asal saja
benar-benar akan ada rasa bahagia dan tenang, ketenteraman hati dan
mengerjakan pekerjaan yang benar-benar disukai dan dicintai. Lalu akupun
mencari teman-teman yang di Holland, yang biasa kerjasama denganku dalam
bidang sosial-kultural, kegiatan seni-budaya. Mereka semua menyambut gagasan
ini. Dan aku sudah berketetapan hati buat semua itu, termasuk selukbeluk
kalau terjadi kesulitan, kesukaran dalam bidang kehidupan dan jaminan
sosial lainnya.

Maka okeylah. Kuajukan mula pertama kepada banyak teman di resto
sendiri, lalu kepada Pascal, sebagai direktur kami. Pascal tertawa
terpingkal-pingkal, "Baru saja punya pistol, tiba-tiba sudah mau mengajukan
pensiun-dini. Apa kau sudah nembak orang?", kata Pascal.
"Tidak, pelurunya masih utuh. Dan....."kataku dengan spontan saja.
"Justru adanya sepucuk pistol itulah yang siapa tahu menjadikan saya lebih
cepat mengajukan pensiun-dini ini". Mendengar semua ini Pascal lama
memandangiku, jangan-jangan dia curiga bahwa aku sudah menembak orang.
Kukatakan padanya, tidak, tidak karena itu, dan aku akan membuktikannya bahwa
peluru masih utuh dan dari pistol itu dapat diperiksa secara laboratoris
masih belum digunakan. Lalu ada sedikit kesombonganku, jangan-jangan aku
lebih mengerti tentang senjata daripada Pascal.

Aku mencari keterangan dan alamat Jawatan Pensiun, karena siapa saja yang
mau mengajukan pensiun, haruslah berinisiatif sendiri. Dan Jawatan Pensiun
itu memeriksa semua surat menyurat dan masa-kerja selama belasan tahun
itu. Aku mendapat jawaban, sebenarnya masa pensiunku barulah tahun
2000, -katanya. Dan aku merasa "terpukul" sejenak kalau tak segera
disambungnya.
"Memang Anda belum waktunya untuk pensiun. Tetapi kalau Anda merasa perlu
dan betul tidak bisa bekerja lagi, bisa atas petunjuk dokter dan dokter
Jawatan Pekerja Publik", katanya.
Keterangannya ini membuka sedikit sela harapan buatku. Dan kutanyakan lebih
lanjut apa saja yang diperlukan dan diwajibkan buat surat-menyurat
melengkapi dossier-nya. Orang Jawatan ini menuliskan syarat-syarat dan
surat-surat yang diperlukan untuk itu.

Setelah kulihat apa saja dan ke mana saja aku harus pergi buat mengurus
surat-surat itu, betapa banyaknya dan betapa rumitnya. Tapi seperti
kebiasaanku selama ini, semakin rumit, semakin menggila aku menantangnya. Kita
beradu dan berlaga adu-ulet, adu militan buat mengurusnya sampai
tuntas. Begitulah ceritanya bagaimana aku mendapatkan rumah-pemerintah yang
kuhuni sekarang ini, rumah-murah, tak mungkin diusir, dijamin untuk ditinggali
seumur hidup kalau mau. Tetapi buat mengurus segala urusan tetekbengeknya
makan-waktu selama 11 tahun! Nah, buat urusan ini bukankah demi kecintaanku
pada cita-cita lama yang terpendam selama ini?

Keesokan harinya aku mulai menggarap urusan surat-menyurat itu. Aku harus
ke dokter-umum, lalu ke dokter-spesialis-jantung, lalu ke dokter spesialis
prostat, lalu ke urologie, lalu spesialis diabet, sakitgula. Kurencanakan untuk
ini semua taroklah satu minggu penuh. Dalam pada itu aku ke mana-mana tidak
lagi membawa pistol. Celaka nanti kalau tiba-tiba pistol itu terlupa di
hospital atau institut kesehatan, atau tiba-tiba jatuh meluncur
tengah-tengah dokter sedang memeriksa dirikita.

Tahap pertama urusan dokter ini. Dan pekerjaan pribadiku, harus meyakinkan
para dokter itu agar mereka mau memberi suratketerangan yang kuperlukan.
Bahkan pernah aku datang pada dokter itu dengan permulaan kata-kata, saya
datang minta bantuan dan pertimbangan Anda, dan kuceritakan semua soal dan
selukbeluk diriku dan cita-citaku. Bagaimanapun kalau mereka mau memberikan
surat keterangan itu, karena memang penyakitku ada di urusan analisa
mereka. Dan aku bukankah menjadi pasien mereka di bidangnya? Lalu aku pergi
ke bagian Securite Social yang menjamin kehidupan bagian kesehatan, dokter
dan obat-obatan. Lalu banyak lagi entah apa, lalu bolakbalik lagi melengkapi
surat-menyurat dengan Jawatan Pajak itu.

Dan lebih satu bulan, setelah bolakbalik mengurus berjenis surat yang
diperlukan, "kemenangan" sudah terlihat-tampak. Dan pada akhirnya setelah
lebih tiga bulan ada surat-keputusan, bahwa begitu teng pada jam 1 tanggal 1
bulan 1 tahun 1998, aku resmi pensiun dengan lengkap mendapat sedikit
tunjangan karena memang dasar uang pensiunnya terlalu minim!

Betapa gembiranya aku. Barangkali lebih atau mungkin sama ketika dulu itu
aku mendapat peresmian bisa memiliki sepucuk pistol. Dan ketika diri ini
dalam keadaan tenang dan jernih, ada jawaban dalam hati, tidak, tidak
sama, malah lebih baik lebih gembira dan lebih senang dengan adanya surat
keputusan itu. Kalau dipikir dalam-dalam, tenang-tenang, jujur-jujur, justru
setelah memiliki pistol itulah dapat dikatakan sebagai pemicu atau pelatuk
terdekat untuk segera melepaskan pistol itu. Adanya pistol itu bisa
mengubah perwatakanku, menjadi beringas, galak, terlalu mudah terprovokasi. Dan
ingatlah, begitu terletus dan ke luar satu peluru, itu artinya sebuah jiwa
hilang. Dan itu artinya akan ada akibat sampingan dan buntutnya. Lalu
beruntun, rentetan urusannya! Sedang diri ini masih terlalu banyak urusan
lain yang menunggu dan antri untuk diselesaikan.

Kabar bahwa aku akan pensiun-dini mulai hari pertama tahun 98, sudah
tersebar di kalangan sendiri dan keluarga. Dan aku secara resmi datang
menghadap Pascal sambil menyerahkan sepucuk pistol itu lengkap dengan
surat-resmi dan jumah peluru yang dulu kuterima.
"Ternyata kau yang dulu begitu ingin memiliki pistol, pada akhirnya dan
kenyataannya mempercepatmu untuk pensiun-dini, apakah tidak begitu
pendapatku?!", kata Pascal.
"Besar kemungkinannya. Yang lebih menggembirakan, pistol ini saya kembalikan
dengan utuh sebagaimana saya terima dulu. Dan saya tetap bersih dalam
pengertian belum dan semoga tidak akan membunuh orang. Lebih dari itu
lagi, sekarang saya jadi orang bebas, bebas beban, bebas dari rasa
takut, curiga, dan semoga saya bisa menjalani kehidupan ini secara apa yang
saya maukan dan cita-citakan.", kataku. Sebelum aku meninggalkan
Pascal, lagi-lagi kupandangi benda hitam-mengkilat itu, yang dulu begitu
kudambakan, yang ternyata samasekali tidak menjadikanku bahagia dan
aman-tenteram.

Paris 10 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.