Bab 21 :
Yang Miring - miring

Mayoritas pelanggan kami pada umumnya adalah orang-orang baik. Maksud baik
di sini bisa diajak kerjasama, jujur, saling tenggang-menenggang, punya rasa
persahabatan, ramah-tamah dan komunikatif. Misalnya ada pelanggan baru
datang sejumlah lima orang. Tetapi kurang satu kursi. Pelanggan yang sedang
duduk di sebelahnya, kami minta apakah bisa pindah ke sebelahnya lagi agar
yang lima orang rombongan-kecil ini bisa disatukan. Pelanggan ini selalu
akan dengan senang hati bersedia pindah ke sebelahnya atau ke tempat
lain, agar dapat memberi kesempatan kepada rombongan-kecil itu berkum-
pul bersama.

Ada pelanggan dua orang duduk di meja nomor 3 misalnnya, dan kebetulan punya
kenalan yang duduk di meja nomor 1 atau nomor 5. Mereka ngobrol, tetapi
sayangnya dibatasi oleh pelanggan yang duduk di meja nomor 2 atau nomor 4.
Melihat keadaan begini, pelanggan yang duduk di meja nomor tersebut akan
dengan rela mau bertukar-tempat agar tetangga di sebelahnya bisa bebas
ngobrol dengan pelanggan di meja nomor 3. Terkadang kami bantu dan kami
menjadi perantara buat menyampaikan maksud demikian. Tetapi adakalanya
antara mereka sendiri yang punya inisiatif buat saling pindah agar bisa be-
bas ngobrol.

Ada pelanggan yang dengan sukarela datang ke bar dan menyatakan bahwa kami
tidak memasukkan harga kopi, atau nasi-tambahan, karena terlupa. Ada yang
bahkan makan sekian porsi tetapi kami menghitungnya hanya satu porsi, lupa
menulisnya. Mereka akan datang sendiri, agar kami memperbai-
ki kesalahan kami dan menambahkan harganya. Kami menyatakan sangat
terimakasih akan kejujurannya dan maafkan akan kekeliruan dan kesalahan
kami. Dan ada yang datang ke bar lalu menyatakan bahwa kami salah dalam
mengembalikan uangnya, karena berlebih sekian francs, dan uang kelebihan itu
mereka kembalikan kepada kami. Lagi-lagi kami minta maaf akan kekeliruan kami
dan mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikannya.

Juga ada yang datang ke bar menyatakan bahwa kami salah dalam menghitung
karena dia tidak pernah memesan makanan itu. Dan ketika kami periksa, memang
benar, kamilah yang salah. Ini merugikan mere-ka, sebab kelebihan dalam
tagihan bayarannya. Dan kami sangat minta maaf atas kelalaian kami ini. Dan
kami juga berterimakasih karena dia mau menunjukkan kesalahan kami, artinya
kami bisa dan menemukan kesalahan kami dalam pekerjaan. Kejadian yang begini
cukup sering. Kapan selalu terjadi demikian?
Biasanya kalau terlalu banyak tamu, pekerjaan numpuk dan tegang. Atau ketika
kami yang bertugas sedang tidak dalam kondisi yang prima. Tetapi kerjasama
demikian selalu kami alami. Dan sangat menyenangkan.

Yang tidak jujur, yang mau berselingkuh, sudah tentu ada saja. Tetapi
sangatlah minoritas, belum dapat dikatakan berkecenderungan akan
merugikan resto. Angka statistiknya sangat rendah. Namun demikian
kalau itupun terjadi, tetap saja kamilah yang harus periksa-diri, bahwa
pekerjaan kami belum baik. Masih ada kekurangan di sana-sini, dan harus
meningkatkan kerapian, ketelitian dalam bekerja.

Seseoang pelanggan secara kebetulan bertemu dengan temannya di resto.
Temannya ini berdua dengan isterinya. Dan ketika isterinya perlu ke
belakang, teman tadi dengan ramah dan jenaka bertanya, "masih dengan dia juga
ya, yang dulu itu kan?", katanya. Dan yang ditanya menjawab "masih, saya masih
betah dan kebetulan dia juga masih tahan dengan saya", katanya. Rupanya
sepasangan suami isteri tadi "sudah lama" menjadi suami isteri, tapi kok
betah terus menerus begitu, kok nggak ganti! Ini percerminan masara-kat di
Paris atau Perancis mungkin, bahwa "saling-ganti pasangan" adalah biasa.
Orang suami isteri yang dilihatnya awet bertahun-tahun saja, kok diherankan,
ditanyakan, kenapa kok bisa awet, dan kenapa kok tahan amat, tidak ganti-ganti
dari dulu! Sudah tentu tidak semua terjadi demikian, tapi mungkin arus-besarnya
dan di kota besar begini, ada alasan buat berpikir demikian.

Ada anak mahasiswa di kalangan keluarga sendiri, wanita muda, cantik, dari
Jakarta. Selama di Paris beberapa bulan tinggal di rumahku. Dia memanggilku
kakek. Dia ini amat lincah, gesit dan suka membuat anak-anak muda lainnya jadi
gemas, karena cantik dan genitnya. Dari bar yang letaknya agak tinggi, akan
terlihat nyata setiap pelanggan yang datang. Fana, sebut saja begitu, wanita
muda itu selalu akan menilai setiap pelanggan masuk. Dari dialah ada istilah yang
aku baru tahu bagaimana cara menyebutkannya.

Misalnya seorang perempuan muda tetapi dadanya agak datar, dikatakan "lihat
kek, itu sih telor-dadar namanya", atau yang benar-benar datar, dikatakan "nah
itu yang namanya papan-sejahtera". Kalau kebetulan dada itu berisi, maka
akan dikatakan "lihat kek, yang begini ini namanya papaya-ranum" atau yang
lebih asik lagi akan dikatakan "nah, ini kek, yang dinamakan semangka-siam,
coba lihat, masaksih kakek nggak tergiur sedikitpun, jangan munafik kek!", kata
Fana menggoda. Gila dia! Cewek bisa ngomong begitu atas cewek juga!

Sudah tentu berbagai macam pelanggan datang ke resto kami, berbagai
tingkah, berbagai laku. Ketika mu-lai memasuki hawa hangat, menuju musimsemi
dan di ambang musim-panas, pakaian berbagai warna dan model. Paris kota mode
sedunia. Di samping "pamer" pakaian, juga pamer pakain-alam, tanpa terselimu-
ti alas apapun. Misalnya dengan punggung yang terbuka, dengan
dada-pualam-penuh yang bagaikan mau melongok dan meledek orang lain, dan
berbagai "pancingan" buat mata yang selalu nanar dan nakal. Mungkin
diam-diam termasuk sekalipun mata seorang kakek!

Pelanggan kami suka benar berlama-lama duduk sambil ngobrol di resto. Dulu
pada mula pertama kami buka resto ada perasaan dongkol, marah kepada orang-
orang begini. Tetapi kami segera mengadakan rapat dan berdiskusi, bagaimana
menghadapi keadaan demikian. Kami semua orang baru dalam usaha resto.
Kami datangkan teman sekerja kami yang juga punya resto berjenis koperasi
seperti kami, orang Perancis. Dia memberikan pengalamannya kepada kami.
Yang paling pokok, tamu tidak boleh dikasari, sekali-kali jangan sampai mengusir
tamu! Hidup kita secara kasarnya adalah tergantung pada isi kantong para tamu!
Tetap masik relevan kalau menganggap tamu dan pelanggan adalalah raja!
Dan kami berusaha keras menuruti cara-cara kerja yang baik.

Kalaupun kita minta dan mengharapkan sesuatu pada tamu, misalnya hari sudah
terlalu malam, sudah sangat larut sampai lewat jam 24.00, sedangkan kami
harus pulang dengan metro, kereta, bisalah kiranya kami menutup resto dalam
beberapa menit ini, mintalah dengan sopan dan hormat. Maka mereka akan
dengan sopan pula memenuhinya. Samasekali jangan marah-marah, merengut
dengan muka bersegi delapan!

Di ruangan bawah(tanah) pada pokoknya tamu sudah pulang, tinggal dua wanita
muda. Mereka sangat asik bicara. Ketika aku turun mendatangi mereka, sedang
asik cerita, bicara dan tampaknya sangat akrab.
Mungkin saling cerita perasaannya masing-masing. Kutanyakan apa boleh
sekiranya aku juga duduk bersama mereka dan kita minum kopi lagi. Ternyata
mereka tidak keberatan. Apakah aku terlalu kurang-ajar, aku juga tak
hiraukan sangat.

Yang satu bernama Maeva dan yang satunya lagi bernama Bebe. Maeva orang
peranakan Tahiti-Jepang, cantik, berkulit agak kekuningan, sangat halusnya.
Bebe orang Perancis, orangnya agak "kasar-buatannya". Kukira dia berlaku
sebagai pria-bayangannya. Maeva benar-benar halus, bicaranyapun se-
akan berbisik-bisik. Kami berkelakar tentang banyak hal. Tentang alam di
lautan-teduh, di Bali, dan lain lain. Bebe seorang perokok berat. Sudah
kehabisan rokok. Dia permisi ke luar buat beli rokok. Ada kios rokok dekat
plaza Sorbonne tak begitu jauh dari resto.

Dan kami berdua Maeva ngobrol ngalor-ngidul. Maeva berumur 24 tahun. Hari
semakin larut, hangat menjelang musimpanas membikin semua pada bangun.
Obrolan dari yang tadinya masih agak lurus lalu menjadi miring. Dan Maeva
cukup pandai meladeni obrolan yang agak miring ini. Ketika menurut
perasaanku sudah waktunya kukatakan baik-baik, dengan pelan dan agak sedikit
mengandung rayuan, kukatakan :
"Kenapa mesti terjadi begini, Maeva? Anda sangat cantik, sangat menarik, juga
brilyan. Mengapa tidak hidup secara normal saja. Saya kira sudah waktunya
Anda berbalik dan menjadi wanita normal". Maeva tidak menjawab dan dia diam
lama, terpekur, merenung jauh. Lalu bangkit mau menuju ke belakang. Aku
mengikutinya. Sampai dekat kaca di sebelah toilet, dia menyisir rambutnya
yang kusut. Dan aku tetap terus mendekatinya, merapat.
"Kau dengarkah saya ngomong tadi itu Maeva"?
"Saya dengar, tapi sekarang saya tak bisa. Bebe terus saja mendekat dan
merapat, dia amat keras pada saya".
"Maeva, sangat sayang, sangat sayang, kau begitu cantik dan menarik, hanya di
habis-habiskan begitu saja oleh perilaku yang sebenarnya sangat aneh dan
tidak normal", kataku sambil merapatinya dan mencium bau rambut yang wangi
itu.
Mungkin aku sedang dalam alam ketidaksadaran, sehingga berani dan
lancar-lancar saja mengucapkan kata-kata yang berbau biusan, rayuan yang
bisa menenggelamkan.
"Maeva, kau benar-benar sangat cantik. Kau jangan marah Maeva, dan maafkan
aku..........", kataku sambil memeluknya dan mencari bibirnya yang selalu
basah itu. Dan Maeva sangat rapat-erat dipelukanku, tidak memberontak, tidak
melawan tetapi menuruti. Aku semakin menggila. Tersedar diri, sebentar lagi
akan segera datang Bebe dari membeli rokok tadi.
"Lain, kau sangat lain", katanya setelah kami berlepasan dari pelukan.
"Sudah tentu lain dengan Bebe, kan?", kataku berpura-pura bodoh. Dan benarlah
tak lama datang Bebe dengan rokoknya di tangan. Bebe dengan mata elangnya
menatapku. Apakah dia curiga? Apakah terasa padanya bahwa kekasihnya sesama
jenis ini sudah mau berubah? Tak tahulah aku. Tapi benar-benar aku mau agar
Maeva menjadi wanita normal. Sangat sayang begitu cantik, begitu
menarik, pintar-cerdas tapi hanyalah kaum lesbian. Tidak hanya pasangan ini
saja pasangan lesbian yang datang ke resto kami. Juga terdapat pasangan
homo.

Ketika mau pulang, sekali lagi aku mencium Bebe dan Maeva pada pipi. Tampak
Bebe sangat memperhatikan diriku, karena itu dengan tangan nakalku, sambil
mencium Maeva kuremas lengannya
dengan agak keras. Kuantar mereka sampai tangga resto, karena pasangan
itulah tamu terakhir kami. Beberapa bulan sesudah itu, datang lagi
Maeva, tetapi sendirian. Aku benar-benar heran.
Maeva langsung mendatangiku, dan kami saling mencium, tapi secara
sopanan, tidak seperti dulu itu!

Setelah dia duduk baik-baik dan tenang-tenang, lalu berkata
"Sekarang saya agak lega, dan sedikit senang", katanya.
"Bebe sudah mulai marah-marah terus, dan saya lama-lama bisa memisahkan
diri. Dan ternyata Bebe-pun tidak terus-menerus mencari saya. Saya merasa
agak bebas. Tetapi kau jangan seperti malam itu dulu
akh", katanya dengan ramah pula dan terusterang.
"Artinya kau kan sudah punya pacar yang benaran, kan ", kataku bertanya.
"Semoga begitulah. Dan kita harus berteman biasa saja, apakah kau bisa
terima cara begini?", katanya padaku. Dan aku memeluknya dengan sayang,
mungkin dirasakannya sebagai bapaknya, samasekali tidak seperti malam dulu
itu. Aku sangat menyedari, janganlah seperti pungguk merindukan
bulan, tahu-tahu diri-lah. Sekedar dapat dan bisa menyedarkannya sudah
merasakan senang dan bahagia. Soal dulu itu biarlah nanti Tuhan
memperhitungkannya sebagai dosa tambahan dari dosa yang lain-lainnya yang
setiap hari numpuk.

Dan aku sukurlah bukan atau tidak termasuk seorang yang mengutamakan
emosional. Maeva kembali sadar dan balik normal sebagai wanita biasa, tentu
bukan karena aku. Tetapi memang benar aku berharap agar Maeva menjadi
wanita normal, dan Bebe kembali menjadi jenis aslinya. Dan resto kamipun
berjalan seperti biasa, tanpa banyak teman lain tahu bahwa ada seorang kakek
mengalami kejadian seperti ini.

Paris 2 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.