Bab 18
Di antara Tamu-tamu Kami

Pada bagian belakang tulisan ini sudah kuceritakan, bahwa tamu-tamu kami
pada pokoknya adalah orang bule, orang Eropa, AS, Australia, dan yang
berkulitputih lainnya. Sudah itu barulah orang Asia, seperti
Jepang, India, Pakistan, Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dengan sendirinya
banyak bahasa yang terdengar dan mereka gunakan. Sampai kinipun kami tidak
bisa membedakan dengan segera, seseorang pelanggan sesamanya berbahasa apa.
Sangat sulit membedakan bahasa Finlandia, Norwegia, Swedia, walaupun ada
kesamaan tertentu pada bahasa itu. Termasuk juga sulit membedakan apakah
seseorang itu orang Swedia, Norwegia atau Austria misalnya. Kalau di kampung
kita, asal kulit putih ya orang Londo, sudah begitu saja! Jangankan orang
Eropa Utara yang sangat jarang kami bergaul, sesama Eropa daratan biasa saja
sangat sulit membedakan jenis bangsanya, kecuali kalau sudah terdengar
bahasa dan omongannya.

Cukup sulit membedakan mana orang Belgique, mana orang Luxembourg, atau
Belanda. Karena kita tahu bahasa Perancis, maka tidak begitu sulit
membedakan mana bahasa Perancis yang biasa dipakai orang Perancis. Akan
ketahuan kalau bahasa Perancis yang kita dengar bukan dari Perancisnya yang
berbahasa Perancis "asli". Bahasa Perancis yang digunakan oleh orang
Canada-Perancis akan berlainan dengan bahasa Perancisnya orang Swiss, atau
orang Belgique. Akh, jangankan itu saja, antara orang Perancis sendiri akan
terdengar kalau bahasa Perancisnya dari selatan, misalnya dari
Marseille, atau Pyrenne perbatasan Spanyol, dengan orang utara seperti di
Havre, Brest, padahal berapa kilo sih jaraknya!

Karena Eropa itu kecil dan cukup banyak ragam bahasanya, maka antara mereka
banyak yang menguasai bahasa tetangganya. Antara kami saja, rata-rata
paling sedikit akan mengerti tiga atau empat bahasa, paling tidak, bahasa
Perancis, bahasa Inggeris dan bahasa Belanda atau Jerman, bahkan dengan
tambahan bahasa Tionghoa-mandarin. Yang "termasuk kebangetan" bahkan dalam
keluargaku sendiri! Kalau kedua putriku sudah keasikan ngomong, tanpa sadar
mereka menggunakan bahasa Cina-mandarin. Tetapi putri keduaku, dengan
anak-anaknya berbahasa Perancis, dan dua anakku itu denganku berbahasa
Indonesia. Anak keduaku bila berbahasa dengan anaknya yang sulung berbahasa
Perancis, dengan yang bungsu berbahasa Belanda! Ketika anak keduaku belum
menguasai bahasa Belanda, dia berbicara dengan mertua-wanitanya dalam bahasa
Inggeris, karena mertuanya tidak bisa berbahasa Perancis, sedangkan anakku
ketika itu belum mulai berbahasa Belanda. Dan kalau kami berkumpul bersama
ketika Noel, atau menghadapi Hari Natal atau Tahun Baru di Holland ataupun
di Paris, maka silang-siur bunyi bahasa di rumah itu cukup ramai. Dalam satu
waktu dan satu ruangan akan terdengar bunyi bahasa
Perancis, Belanda, Tionghoa, Indonesia, terkadang Inggeris, sekaligus lima
bahasa! Ini samasekali bukannya mau tepukdada, tetapi begitulah
kompleksnya, begitulah rumit berjalin-jalinnya! Dan semua itu ada sejarah
yang melatar-belakanginya.

Di resto kami-, juga sudah kuceritakan-, kami sangat haus akan pergaulan
dengan orang Indonesia, terutama yang benar-benar dari Indonesia, bukannya
"sejenis kami" sama-sama Indonesia tetapi karena nggak bisa mudik! Rasanya
kalau ketemu, bukan main gembiranya, terlalu banyak yang mau
dikatakan, diomongkan. Terlalu banyak yang mau ditanyakan. Dan umumnya
mereka juga sangat gembira bertemu kami. Ternyata mereka baru tahu bahwa di
Paris ini ada resto Indonesia. Dan katanya dari omong-omong, mereka selama
menjadi turis di Eropa ini, sudah sangat kangen makan-nasi! Dan nasi serta
laukpauk yang dibikin orang Indonesia sendiri pula! Sayangnya seperti sudah
kutuliskan, terkadang tak satupun pelanggan Indonesia selama satu minggu!
Ini menandakan bahwa pelanggan kami itu pada umumnya memang orang bule atau
Asia lainnya atau Afrika-Arab.

Ada juga pelanggan dari Indonesia yang "menjadi kenangan yang tak begitu
sedap", tetapi kukira hanya sekedar luapan keadaan saja, ketika rezim
Orba-Suharto-Abri masih jaya-jayanya ketika itu, di mana kami sedang
terpuruk-puruknya. Begitu sampai dan baru saja duduk sudah "menyerang dan
cukup agresif" dengan banyak mengumbar kata-kata yang cukup
menyakitku, menyakitkan kami.

"Sudah lama, Pak, buka resto ini"?
"Ya, baru sekitar lima tahunan".
"Pernah pulang nggak"?
"Belum, habis belum cukup uang buat beli tiket pesawatnya".
"Resto begini laku, pelanggannya penuh, kok bilang belum cukup uang buat beli
tiket. Belum cukup uang atau memang belum berani pulang?!". Agak keras
ucapan itu dikeluarkan. Dan aku terhenyak sebentar, berusaha keras untuk
menguasai diri. Berani-beraninya berkata demikian, dan tidak sopan berkata
begitu, baru saja duduk meletakkan pantat di kursi, belum kenal. Pelanggan
itu empat orang, semuanya belum pernah kami kenal rupa dan wajahnya. Yang
menanyakan secara demikian ada dua orang. Rambutnya cepak, agak
pendek, perawakannya tegap dan bermuka agak bersegi, tampaknya keras dan
siapa tahu juga buas!

"Dari mana semua bumbu dan rempah-rempahnya dibeli, Pak"?
"Sebagian dari sini juga, di Paris. Tetapi ada juga kami harus belanja ke
Holland, karena hanya ada di Holland. Misalnya
kecap-manis, kemiri, daun-salam, kencur, tempe".
"Nah, itu, kalau ke lain negeri tentu lebih mahal, sebab sudah melalui tangan
kedua, ketiga dan seterusnya. Tapi kalau di tanahair sendiri, tentu akan lebih
murah. Soalnya berani apa nggak buat pulang. Itu soalnya!"
Aku sudah sangat sulit menahan diri. Tadi sudah kukabarkan kepada
teman-teman dapur, ada orang yang tampaknya mau provokasi. Kulirik ke arah
dapur, beberapa teman mengawasi pelanggan itu dengan mata
yang hanya aku lebih mengenal teman-temanku. Sekarang tugasku ada dua!
Menentramkan kemarahan teman-teman itu, dan menentramkan diriku sendiri agar
jangan sampai terprovokasi!

"Nah, bagaimana, Pak? Benar nggak kata saya itu. Sekarang ini di Indonesia
aman-aman saja, barang murah, harga stabil, kemakmuran meningkat dengan
nyata, tidak seperti zaman Sukarno yang mau komunis itu. Cobalah
sekali-sekali pulang, lihat sendiri dengan matakepala sendiri! Jangan
berprasangka dari jauh saja dong!"
Dan aku merasa memang harus dijawab, tapi benar-benar harus berkepala
dingin. Ucapkankah dengan tenang, masukakal dan beralasan, jawablah dengan
baik, tidak dengan marah-marah, kataku kepada diri sendiri.

"Pak, ada keberatan saya dengan ucapan Bapak tadi. Bapak mempersoalkan saya
atau mungkin kami, tentang soal berani atau tidak pulang ke Indonesia
sekarang ini. Dan saya sebenarnya sangat ingin berkata banyak soal ini.
Tetapi karena tempat ini sebuah resto, dan tugas kami di sini melayani
orang-orang datang makan, seperti Bapak dengan teman-teman Bapak ini, maka
sebaiknya kami tidak melayani sebuah diskusi politik apapun. Tugas kami
melayani dengan sebaik-baiknya sebagaimana layaknya sebuah restaurant. Jadi
maaf saja kalau saya tidak menjawab apa kemauan Bapak dengan pertanyaan dan
kata-kata itu tadi", kataku dengan usaha keras agar diucapkan dengan tenang.

Orang itu tampaknya tidak begitu puas dan terdiam agak lama. Teman-teman
dapur sudah pada gelisah, mau keluar mau melihat "tampang" orang itu. Aku
berusaha menentramkannya yang padahal aku sendiri juga mungkin sebenarnya
jauh lebih bergelora dari mereka.

Sukurlah hari itu tidak tejadi apa-apa. Maksudku, kami tetap seperti
biasa, dan samasekali tidak terprovokasi. Kejadian ini sudah lama
sekali, tetapi ada lagi kejadian seakan-akan sebuah interupsi. Ketika aku
sedang bertugas di bar, datang seorang muda tegap-gagah, berambut cepak
west-point. Dia datang mendekati diriku.
"Apa kabar Pak, baik?", katanya seakan ramah.
"Baik Pak, Bapak apa kabar? Dari mana saja ini?", kataku membuka percakapan.
"Ya, kalau saya, datang ke mana saja selalu ada tugas, mengemban tugas.
Seorang seperti saya, selalu saja ada tugas, dan tugas itu dari negara. Saya
dari kopassus, tahu kopassus?!". Kontan kujawab.
"Tahu benar, Pak. Saya kira tak ada orang Indonesia yang tak tahu itu
kopassus", kataku kontan.
Kelihatannya orang itu entah senang entah tersindir, tak tahulah aku! Tapi
nama kopassus kok berani-beraninya dia bawa sampai ke Eropa ini. Padahal
nama itu sudah begitu busuk dan jahatnya!

Sukurlah dialog yang saling tak ramah itu berakhir hanya sampai disitu
saja. Tapi padaku mengendap rasa penasaran yang tak selesai-selesai. Siapa
yang tak kenal kopassus yang tukang-culik dan spesialis pembunuh itu!
Tetapi juga siapa tahu orang itu hanya sok-sok saja mengaku kopassus. Hanya
dapat diambil kesimpulan, menggunakan penyebutan nama itu hanya sebagai
pamer kekuasaan dan kekuatan buat menakuti orang, atau sekedar gertak
saja, atau ada hal lainnya, tetapi bagaimanapun "mengolahnya" tetap saja
negatif!

Tamu-tamu kami yang berjenis demikian sangat sedikit, dan kalau secara
global dipukulratakan, hanyalah satu-dua persen saja, tak berarti bisa
mempengaruhi jalannya resto dan kehidupan kami secara keseluruhan. Dan kami
tetap saja bergembira menerima orang-orang Indonesia, yang kami rasakan
sedulur, yo sanak yo kadang juga adanya. Dan kami sudah tentu membedakan
mana yang baik dan mana yang kurang baik. Kalaupun hal ini kuceritakan
anggaplah hanya sebagai intermezzo dalam sebuah cerita
kehidupan panjang dalam rentetan kehidupan kami.

Pada ummnya teman-teman Indonesia yang datang ke resto kami itu, mungkin
juga mau tahu, yang seperti apa sih restauran Indonesia yang katanya resto
kaum-pelarian-politik itu! Dan ini memang bukan suatu rahasia lagi, sudah
terlalu banyak ditulis, baik yang mau mengangkat kami maupun yang mau
memperpurukkan kami lagi sedalam-dalamnya. Tapi bagaimanapun bukankah kami
harus survivale, harus bertahan hidup? Dan hidup itu haruslah
bermasarakat. Karena itu kami membutuhkan banyak teman, banyak sahabat, banyak
kerabat. Dan karena itu pula kami harus selalu tampak jernih terbuka dan
ramah, selalu senyum, jangan sampai tampak seperti mau cari gara-gara saja!
Pernah kami berpendapat, kalau tak bisa senyum, tak bisa ramah, tak bisa
berkomunikasi, lebih baik tidak usahlah jadi seorang restaurateur. Mungkin
benar pendapat ini, tetapi juga mungkin ada kekurangannya.

Paris 30 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.