Bab 10 :
Warna - warni Resto

Sesuai dengan nama resto kami FRATERNITE, persaudaraan, maka kami telah
menerima dan mempekerjakan berbagai warganegara dan bangsa. Ada beberapa
societe yang mengirimkan calon atau pegawai-pekerjanya untuk stage - magang
-upgrading di resto kami. Dan kami menerimanya buat bekerja denga jangka
waktu sekian bulan. Kebanyakannya buat tiga sampai empat bulan. Mereka tidak
mendapatkan gaji dari kami, tetapi sesudah jangka waktu yang disepakati
bersama, kami memberikan surat-tanda sudah pernah bekerja di resto kami
sebagai serveur, pramulayan. Kami menanggung makan minum dan sekedar
uang-saku sesudah stage-nya selesai.

Mereka yang pernah kami terima bekerja untuk magang itu terdiri dari
beberapa bangsa dan warganegara-, misalnya dari
Spanyol, Madagaskar, Malaysia, Perancis, Vietnam, Singapura, Belanda, Jerman dan
beberapa lagi. Sudah tentu mereka secara bergiliran, bukannya serentak. Ada
juga beberapa teman yang jauh sebelumnya sudah "pesan tempat" mau bekerja
kalau sekiranya ada lowongan pada musimpanas nanti. Juga dari beberapa
negara dan bangsa, seperti dari Holland, Jerman, Swedia, Kuba. Kalau yang jenis
ini kami beri salaire resmi, artinya sama dengan kami berdasarkan
smic, salaire minimum. Kami sendiri berpegang pada pedoman, kalau memang ada
lowongan, ada peluang, tentu akan kami berikan kesempatan tersebut.

Ada permintaan dan harapan dari sementara teman, apakah kami bisa
membantunya untuk bekerja di resto kami barangkan sekian bulan. Sebab dia
ingin mendapatkan uang buat membeli tiket pesawat dari Jakarta ke Holland
pp, buat mendatangkan ibunya yang sudah tua dan sangat ingin bertemu
anaknya. Sesudah kami rundingkan antara kami yang sudah tentu dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan keseluruhan, maka permintaan dan
harapannya kami penuhi. Teman itu bekerja sekian bulan. Dan seperti
harapannya, uang gajinya itu benar-benar ditabung sebaik-baiknya, dan diapun
membeli tiket pesawat dan dikirimkan kepada ibunya di Jakarta. Ibu dan anak
tersebut bertemulah di Holland. Mereka sangat merasa senang dan
bahagia, barangkali mereka tidak begitu mengira bahwa kami lebih-lebih
merasa bahagia karena dapat membantu mempertemukan kerinduan antara anak
dan ibu.

Seorang pemuda yang berwarganegara Rusia, keturunan Indonesia, ayahnya
Indonesia dan ibunya orang Rusia, masih bertalian keluarga dengan teman
kami, datang ke Paris dengan ibunya. Melihat keadaan kami di resto lalu
tertarik dan "berpesan" agar pada suatu waktu, musimpanas misalnya dia
sangat ingin bekerja di resto kami. Ingin mendapatkan sejumlah uang buat
rencana membuka usaha di Moskow. Kami tidak menjanjikan, tetapi kalau memang
ada lowongan dan peluang, sudah tentu akan kami perhatikan. Hal begini tidak
mudah menjawabnya dengan ya atau tidak. Sebab cukup banyak menyangkut
hal-hal yang sifatnya harus diperhatikan dari berbagai sudut, jangan sampai
seakan mendesak "hak-hak teman lain", atau seakan-akan menyabot, menyerobot
hak-hak orang lain. Semua perasaan yang ada dan bisa timbul sewaktu-waktu
harus benar-benar kami perhatikan.

Teman itu bernama Andre, seorang pemuda yang berwajah kecoklatan. Yang kalau
ada orang Indonesia seperti kami, tentulah tanpa basa-basi akan langsung
ngomong dalam bahasa Indonesia. Padahal Andre hanya mengerti bahasa Rusia
dan Inggris. Andre sangat cekatan dalam bekerja, tangkas, lincah. Sangat
mudah membantu teman dan orang lain. Dan dia banyak tahu dan mengerti
soal-soal teknis. Misalnya tahu soal-soal listrik, mesin mobil, bahkan
mesintik. Suatu waktu aku minta tolong perbaiki mesintik yang macet tak
dapat jalan, buntu. Andre datang ke rumah. Tapi aku merasa heran, kenapa dia
tidak membawa apa-apa, tidak alat apapun yang dibawanya, bagaimana dia mau
bekerja memperbaiki mesintikku. Mana mesintiknya, katanya. Belum tentu
rusak, Oom saja barangkali yang panikan, katanya seolah mengejekku. Dan
kubawalah mesintik itu kehadapannya. Lalu dia lihat, dia raba, dia
goncang, dia kutakkatik. Ambil obeng, katanya. Tak ada obeng, tolong bawakan
pisau-roti, katanya. Dan kuturuti "perintahnya". Tak sampai 10
menit, mesintikku jalan lagi, baik dan lancar. Itu kan, apa kata saya, Oom saja
yang ketakutan, baru segitu saja macetnya, katanya sambil senyum meledekku.

Andre banyak disukai teman-teman kami. Kalau dia sedang melayani tamu, tidak
sedikit cewek bule meli-
hat dan meliriknya. Dia banyak ditaksir pelanggan-muda kami dari berbagai
kantor dan perusahaan sekitar resto yang selalu makan-siang di resto kami.
Sesudah lebih 6 bulan Andre bekerja, dia menyatakan rencananya mau pulang ke
Moskow. Kami tanyakan, apakah pulang dengan pesawat atau dengan kereta-api.
Jawabannya benar-benar sangat mengagetkan kami. Tadinya kami samasekali tak
percaya. "Saya mau pulang dengan mobil. Saya sudah beli mobil Mecedes Benz
bekas, second-hand tapi sudah saya utak-atik, dan kuat buat jalan ke Moskow".
"Kamu jangan gila, Andre. Apa kau sudah perhitungkan benar antara Paris -
Moskow itu, begitu jauh dan kau hanya sendirian lagi".
"Percayalah Oom. Setiap hari saya akan menilpun ke Paris, di tempat mana saya
berada. Dan saya percaya bahwa saya akan sampai dengan selamat. Ibu di
Moskow sudah saya kasitahu, dan ibu sudah setuju".
Kami semua hanya bisa geleng-geleng kepala. Anak muda-Indo ini benar-benar
bersemangat tinggi, mengemban cita-cita. Kami kira mobil merci-nya itu
pastilah akan dijualnya nanti di Moskow dan dia membuka suatu usaha dengan
modal sebuah merci itu. Kami renungkan sesudah Andre pulang ke Moskow dan
sesudah kami bekali secukupnya dengan dana alakadarnya, karena pastilah
gajinya selama berbulan-bulan itu dihabiskannya buat memiliki Mercedes Benz
S 300, bekas tapi masih 80 persen katanya.

Tak sampai 8 bulan, Andre telah mendapatkan dua bahasa. Dia sudah bisa
berbahasa Indonesia dan bahasa Perancis, lalu mendapatkan mobil dan yang
juga cukup penting, kenalan ceweknya di Paris! Setelah dua minggu dan
melalui beberapa negara, kami menerima tilpun dari Moskow, bahwa Andre sampai
dan selamat datang di Moskow. Dan kami mengurut dada, ada-ada saja pemuda
Indo satu itu.

Resto kami berusaha menegakkan peraturan dan disiplin terhadap kami
sendiri. Tetapi sering-sering juga kami gagal dalam menegakkannya. Kalau
gagal biasanya kami akan "berlindung" dengan kata-kata, "kita ini kan
bukannya orang dagang, tak ada bakat dagang pada kita". Pemaafan pada
dirisendiri ini sebenarnya harus kami kikis, disiplin ya disiplin, tak ada
maaf-memaafkan dalam menegakkan disiplin. Pada kenyataannya selalu ada saja
yang masih bisa bersifat tawar-menawar. Misalnya begini. Ada empat orang
tamu, memesan makanan, yang tiga orang punya hak mendapatkan semangkuk
sup, yang seorangnya lagi tak punya hak tersebut, karena pesanannya lain.
Kami akan tetap memberinya semangkuk sup juga, sehingga semuanya 4 mangkuk
sup. Kata kami "nggak enak masaksih yang satunya nganggur, biar mereka
berempat minum sup sama-sama saja, lagian apa sih harganya hanya semangkuk
sup".

Kalau kami makan di resto kami sendiri, tetapi sedang tidak dalam keadaan
dinas, sedang libur, kami harus bayar. Ketika itu harga sekali makan, makan
apa saja, seharga 15 francs, ini namanya harga-dalam. Kini sudah naik menjadi
25 francs. Sebenarnya harga begini masih tetap murah, sebab kalau di luar
tidak mungkin dapat demikian murahnya. Kalau kami membawa teman atau
mengundang teman, kami dapat potongan antara 10 sampai dengan 30 persen.
Peraturan begini tadinya, pada mulanya sangat sulit ditegakkan. Tetapi lama
kelamaan bisa juga walaupun adakalanya tetap saja tersendat-sendat.

Kami dan teman-teman kami pada umumnya bukan lagi orang muda, tak dapat
dikatakan muda lagi. Umur sudah berkepala empat, lima, bahkan enam. Tapi
kalau soal yang itu sih, tetap saja masih semarak. Misalnya saja kalau ada
pelanggan yang kami kenal, dan pelanggan itu ternyata begitu cantiknya, dan
janda-muda lagi, seorang janda ditinggal mati suaminya yang orang Indonesia.
Wanita ini katakan saja namanya Madame Purbo. Madame ini memang amat
cantiknya, bibirnya selalu basah, dan kalau ngomong sangat ramah, ke dekat
wajah kita.

Kalau Madame ini datang, dan teman yang berdinas di depan, di sal mengabarkan
bahwa Madame Purbo datang makan-malam, maka teman-teman didapur pada
melongok ke luar, membuka sedikit tabir atau gordin-dapur. Tak disadari, dari
jauh, dari ruangan sal depan, kelihatan beberapa pasang kaki teman-teman
dapur pada berbaris, berdesakan seperti orang antri, hanya untuk melihat
Madame Purbo yang bibirnya selalu merah-menyala dan basah itu. Teman-teman
yang berdinas di sal pada ketawa, dan sedikit membentak teman-teman dapur
agar jangan memalukan begitu rupa.

Yah, namanya juga manusia biasalah, seperti halnya siapa saja, tak terkecuali
diriku sendiri.

Paris 27 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.