Bab 8 :
Kerja Gila-gilaan - Dua

Beberapa hari menjelang pembukaan-resmi Resto, kami bersama beberapa teman
benar-benar bekerja secara gila-gilaan. Tidak mengenal waktu, tidak
memperhatikan kesehatan, karena mengejar dan berpacu waktu. Badan loyo-lemas
karena kurang tidur, terlalu letih-lelah. Tetapi diliputi rasa kegembiraan
dan kepuasan, karena kami sudah memegang-nasib di tangan sendiri, tidak
tergantung uluran-tangan pemerintah maupun orang lain.

Sebagian teman mengurus ruangan Resto, di lantai-dasar dan lantai-bawah, lalu
di kantor, lantai-satu. Mengganti dinding, mengecat, memasang dekor. Bagian
dapur, membersihkan alat-alat dapur seperti piring-mangkuk, kuali-wajan yang
beratnya sudah lebih 20 kg, dan ada beberapa buah. Lalu membersihkan
sendok-garpu-pisau, dan berjenis piring-mangkuk yang banyaknya ratusan. Ini
bagian dapur bagian perlengkapan. Bagian-masak-memasak, sibuk mempersiapkan
bahan, dan juga mulai persiapan masak buat jualan.

Hari pertama pembukaan untuk para undangan dan media-masa, cetak dan
elektronik. TF 1, Antenne 2, dan Francesoir 3, semua bagian televisi di Paris.
Dalam hal ini temanku Pak Markam memang luarbiasa. Dia disamping
"akhli-lobbying" sudah tentu lebih menguasai bahasa Perancis daripada
kami, karena termasuk faktor dia memang sudah lama di Paris. Hubungannya
sangat luas dan amat pandai bergaul. Sudah tentu pada hari-hari minggu
pertama pembukaan yang jatuhnya tanggal 14 Desember 1982, keadaan agak
kacau, agak semrawut. Orang yang datang melebihi kapasitas kursi. Kapasitas
kursi di resto kami sejumlah 66, tetapi yang datang lebih dari 100 orang.

Aku pada mula-pertama begitu resto dibuka ditempatkan di bagian
dapur, sebagai "barisan tukangmasak". Sudah kuceritakan, setelah belasan
tahun aku bekerja di resto kami ini, dan meliputi semua bagian, seperti
bagian service-pelayanan, bagian bar-man, bagian administrasi-keuangan, dan
bagian perlengkapan-ruangan, maka pekerjaan yang paling berat memang
pekerjaan di dapur. Masak-memasak, termasuk persiapannya. Inilah sebabnya
walaupun resto kami hanya buka 2 jam siang, dan 4 jam malam, tetapi kami
masuk mulai bekerja pada jam 0900 sampai jam 24.00 dengan diselingi
istirahat paling lama 2 jam. Hal ini karena kami belum
pengalaman, samasekali baru, bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Setelah kami dididik oleh Ibu mantan dubes yang sangat trampil masak
itu, hanya dalam sepuluh hari saja, kami harus bisa berdikari. Dan Ibu itu
harus kembali ke Holland. Kami sangat berterimakasih kepadanya. Dan sesudah
itu, mulailah kami harus bekerja tanpa pengawasan orang yang sudah mahir dan
akhli. Dan mulailah pekerjaan gila-gilaan pada puncaknya.

Suara-suara ramai antara bagian sal yang melayani dan bagian dapur yang
menciptakan makanan, sering ribut, karena berteriak , mungkin
kelelahan, tegang dan juga karena dongkol dan marah. Seorang teman
menanyakan dengan suara agak membentak, "mana yang semur, mana yang
rendang?! Kok sama saja warnanya!", kata seorang. Teman lainnya menjawab :
"alah, bilang saja salah satu itu semur! Masaksih tahu orang bule, mereka kan
asal makan saja!". Seorang menjawab "makanya harus selalu diperhatikan, beda
pokok yalah, rendang itu pakai serai, semur tidak! Rendang pakai
santan-kelapa, semur tidak, agak kehitaman karena pakai kecap-manis, rendang
agak coklat", kata seorang teman yang agaknya sedikit tahu akan masakan.
"Yah, tetapi bagaimana kita tahu kalau bendanya ada di piring dan di atas
tangan kita, kalian di dapur sih enak, tahu yang mana semur yang mana
rendang. Kita ini menghadapi client secara langsung, kalian kan
tersembunyi
di dapur", kata teman pelayan. Nada suara hampir agak
mayor, meninggi, ampernya naik!

Lalu cepat-cepat kusuruh berlalu, tak enak di dengar client berdebat-ramai
di depan mereka. Karena masalah begini, maka kami ketika itu mengambil
kebijaksanaan. Pada fich, kertas-menu yang di tempelkan
di dinding dapur selalu akan ada catatan khusus. Misalnya yang makan itu
orang Indonesia, akan kami tandai M, artinya melayu, termasuk orang Belanda
kami tandai dengan M. Artinya kita harus hati-hati, sebab yang makan ini
benar-benar mengerti masakan kita. Orang Belanda sangat mengenal masakan
Indonesia, karena itu tidak jarang mereka memberikan kritik kepada kami, dan
kritiknya kebanyakan benar dan tepat.

Dalam pada itu karena oleh peraturan dan undang-undang kami harus punya
chef-kok, kepala tukang-masak yang betul-betul berdiploma perhotelan dan
masak-memasak, maka resto menghubungi teman-teman yang ada hubungan atau
yang sedang membuka resto, mencarikan tukangmasak benaran. Oleh dampak-baik
siaran berbagai suratkabar, media-cetak dan elektonik, luarnegeri maupun
dalamnegeri maka gema resto kami sampai ke tanahair. Dan masukakal kalau
banyak surat-surat berdatangan kepada resto kami buat melamar pekerjaan.
Surat-surat berdatangan dari Bali, Jakarta, Balikpapan, Bandung, Surabaya dan
bagian lainnya di Indonesia. Termasuk dari Eropa, Holland, Jerman, Swedia.
Surat-surat itu sangat mengharukan kami, dan sangat sulit bagi kami
bagaimana cara menjawabnya. Kami mendirikan resto ini dengan maksud
menolong dan membantu teman-teman pengangguran yang ada di Paris saja dulu.
Selain ini belum sampai terpikirkan begitu jauh. Dan lagi tentu saja banyak
pengirim surat itu tidak mengerti atau belum mengerti status kami, kedudukan
kami.

Seandainya saja kami ya kan, atau katakan begitu - begini, yang sangat perlu
diketahui, kami ini adalah masih termasuk kaum-pelarian-politik. Mana
mungkin kami merekrut tenaga dari Indonesia! Untuk itu harus ada izin
pemerintah RI dan juga pemerintah Perancis sebagai
pendatang-pekerja-imigrant. Dan pekerjaan begini sangat sulit-rumit dan
banyak sangkut-pautnya denga berbagai persyaratan. Dapat dikatakan, tidak
mungkin kami kerjakan. Sayang. Dan kami dalam hati sangat menyatakan rasa
terimakasih atas kepercayaan demikian.

Karena kami tidak punya chef-kok yang betul-betul berpengalaman dan yang
berdilpoma, maka sementara itu aku ditetapkan sebagai tukang-masak utama.
Tetapi hal ini hanya untuk sementara kami dibebaskan dari pembayaran-pajak
selama 6 bulan itu. Bagaimanapun resto harus berusaha keras buat mencari
chef-kok yang sebenarnya. Dalam pada itu kami mengundang seorang yang
benar-benar chef-kok, dari Holland. Namanya Parmin, dia ini bekerja di Hotel
Mariyotte, hotel berbintang. Dan Parmin pernah mendapat kejuaraan nomor dua
dalam perlombaan-masak Internasional di Holland. Kami mengundang Parmin
selama satu bulan. Sebenarnya kami menghendakinya lebih lama lagi. Tetapi karena
Parmin ketika itu sedang berlibur, sedangkan dia dalam status bekerja, maka
kehendak memperlama Parmin tak mungkin. Lebih dari alasan itu, seorang
chef-kok seperti Parmin untuk sementara kami belum mampu menggajinya, sebab
seharusnya sangat mahal. Karena Parmin juga tahu, bahwa resto ini
baru, sedangkan semua pekerja dan pegawainya samasekali belum ada
pengalaman, maka Parmin sebenarnya banyak menyumbangkan, mendermakan
tenaganya, pikiran dan ajarannya.

Kami sangat berterimakasih kepada Parmin yang si kumis centil itu, yang bila
tersenyum menggoda, para cewek Perancis tak mau lekas-lekas pulang dari
resto kami. Dan kami "anak-anak buah" Parmin sering dibentak dengan
kata-kata, "sudah dikerjakan apa yang saya suruh tadi?! Harus selesai dan
persis seperti apa yang saya ajarkan ya, awas saya kontrol nanti". Kata-kata
ini sangat membekas pada kami hingga kini walaupun sudah hampir 17
tahun, yaitu "awas saya kontrol nanti ya!" Ini kami ucapkan sesama teman
kami dengan rasa gurauan. Dan bagaimanapun "kerasnya ajaran" Parmin kepada
kami, sangat kami sadari bahwa dia benar-benar mengajarkan ilmu masaknya
kepada kami. Dan kami sayang serta hormat kepada Parmin, dan kami kira dia
tahu semua itu.

Sebelum aku dipindahkan kepekerjaan di sal dan di
administrasi-keuangan, pernah terjadi musibah padaku. Begitu capeknya
bekerja di dapur, yang setiap hari harus memasak belasan macam jenis
masakan, di dapur yang panas, tegang dan sangat melelahkan itu, terasa badan
tak kuat lagi. Keringat dingin dan pucat, lalu terasa kepala pusing
berbintang-bintang, dan badan terasa ringan dan oleng dan lalu bluk - bluk
terjatuh. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi dan kurasakan. Tahu-tahu aku
sudah dibawa dengan ambulance ke hospital. Katanya darahku 210/130. Sebelum
itu aku memang mengidap darah-tinggi.

Aku jatuh pingsan, lalu di bawa teman-teman ke hospital. Dan aku mendapat
"tugas libur-sakit" selama dua minggu, arret-travailler. Hampir saja lewat
tanpa bekas, hilang dari peredaran dunia. Semua itu sebenarnya karena belum
menguasai pekerjaan, dan belum bisa menguasai cara-kerja. Tetapi ada
hikmahnya, bahwa dari kejadian itu agar dirikita selalu berhati-hati dan
harus selalu memperhatikan keadaan kongkrit badan dan kesehatan kita dengan
lingkungan pekerjaan kita. Hanya selalu saja kita terlupa kalau sudah
keasikan dengan kerja yang harus diselesaikan.

Paris 25 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.