Bab 6 :
Yang Ke-7

Seperti biasa, kami beli beberapa suratkabar. Di antaranya Le Figaro. Ada
dimuat beberapa advertensi tentang sewa-beli rumah, toko, resto. Banyak
perusahaan atau perorangan yang menawarkannya dengan berbagai cara yang
menarik, pengumbaran janji yang tampaknya dari luar sangat menarik. Tetapi
berhati-hatilah, kalau tak pandai-pandai memeriksa dan meneliti, kita akan
terkecoh, tertipu. Kami sudah pengalaman, dan kami sudah merugi karena kurang
teliti, kurang periksa. Yang menawarkan jualan tak dapat dituntut karena tak
ada bukti mereka menipu. Dan untuk menuntut bukan hal gampang. Harus pakai
pengacara, advokat, itu berarti harus keluar uang, harus membayar lagi.

Sebuah advertensi penjualan resto di Rue de Vaugirard no 12 berada di Paris
6. Paris 6 adalah tempat makan, atau Quartier Latin. Di mana banyak
resto, banyak turis, banyak pegawai dan mahasiswa sebab dekat Universitas
Sorbonne. Lagipula di sana terletak Jardin Luxembourg, Taman yang terbesar
di seluruh Paris. Kami memeriksa lokasi resto yang akan dijual itu. Sangat
strategis, tempat kelaluan orang lalu-lintas. Letaknya di segitiga, Theatre
National ODEON, Universitas SORBONNE dan Jardin Luxembourg. Tiga tempat yang
terkenal ini tak mungkin dilupakan orang kalau sudah lama di Paris. Dari
segi letak, resto "sasaran-tembak" kami ini sudah okeylah!

Kami datang mengunjungi "wanita yang akan dilamar" ini. Sebuah resto yang
tampaknya tua, tak terpelihara, di sana-sini banyak tali-temali sarang
laba-laba. Nama resto ini MADRAS. Tetapi masakannya samasekali bukan
spesialite India walaupun nama restonya MADRAS. Lebih banyak masakan
Creole, campuran India-Hispanik-daerah Francophone Guadelope, Haiti dan
sekitarnya. Mungkin pemiliknya ada darah campuran India. Ketika kami
masuk, hanya ada tiga orang. Seorang wanita-tua yang katanya sudah berumur
72, dan anaknya yang berumur 30-an serta menantunyu wanita. Tiga orang
inilah pemiliknya, keluarga Morquet. Mereka semuanya sangat ramah-tamah
menerima kami dengan antusias. Hal begini tentulah sangat biasa, apalagi
diketahuinya kami punya minat buat memiliki resto itu. Ada sekilas bahkan
terkadang cukup lama bersarang dalam pikiran kami dengan Pak Markam. Selama
kami gila-gilaan mengelilingi kota Paris buat mencari resto ini, dengan
sepatu butut yang sudah menganga dan membahayakan serta mengkhawatirkan, tak
ada dan tak pernah kami diejek atau dihina. Mereka yang kami dekati dan
minati restonya, semua menaruh hormat secara wajar terhadap kami. Malah
kamilah yang dulu pernah kuceritakan, mengapa ada seseorang pemilik
hotel-bar-disko yang begitu percaya kepada kami, yang sepatupun robek
menganga dengan pakaian sangat sederhana, tetapi tak ada secuilpun mereka
merendahkan dan memandang sebelah mata kepada kami. Dan mereka percaya
kepada kami yang sungguh-sungguh berminat buat membeli sebuah resto. Dan
beginilah Paris!Tidak silau akan pakaian dan pakaian-luar.

Setelah kami memeriksa banyak bagian di dalam resto itu, dan mendapat
keterangan dari keluarga Morquet, ketertarikan kami semakin besar, dan sudah
tentu harapan keluarga inipun semakin besar pula agar kami menjadi
harapannya buat menjual resto itu. Dan karena dilihatnya kami menuju
kemantapan buat memiliki resto itu, banyak hal yang kami tanyakan semua
berjawab secara memuaskan. Inilah hukum jual-beli, apabila seseorang itu
sudah tampak sesuai-cocok dengan harapan kita, maka keterusterangan semakin
terbuka. Keluarga ini sudah tua dan lelah-letih dalam mengurus resto, suami
nyonya Morquet baru meninggal tahun lalu, dan mereka bermaksud menjaul resto
ini karena mau pulang ke Guadelope, bergabung dengan keluarga besarnya di
sana. Madame Morquet serta anak-mantunya sudah tak berminat lagi meneruskan
usaha ini, tetap sama juga mau ke negeri asalnya bersama ibunya yang sudah
tua itu.

Dapat dilihat di dalam resto itu, memang sudah tak terpelihara
lagi. Seandainya kami belipun, betapa banyak lagi bagian-bagian dalam resto
itu harus diganti dan diperbaiki.
Untuk memutuskan membeli seketika tentu tidaklah mungkin. Sekali ini kami
betul-betul harus berhati-hati, dan selalu harus berkonsultasi dengan
pengacara kami dan teman-teman kami. Adalah benar, pada pokoknya selama ini
hanyalah kami berdua Pak Markam yang benar-benar
pontang-panting, babak-belur menjalani kota Paris buat mencari lokasi, tetapi
bantuan semua teman sangatlah pentingnya. Karena kerja kami ini adalah
kerja-kolektif, sebagai sekumpulan "tukang-sepatu" buat menghadapi "seorang
Jenderal Chu Kuo-liang, akhli taktik-strategi perang" itu, maka "tali-rantai"
yang saling berhubungan jangan sampai putus dan terlepas.

Kami laporkan semua penemuan kami itu kepada pengacara kami. Dan ada
beberapa teman kami yang juga datang ke lokasi resto. Semua mereka disambut
oleh keluarga Morquet dengan baik. Bahkan ada teman kami yang diizinkan
masuk buat memeriksa bagian dalam resto. Dan pengacara kamipun sudah datang
dan banyak bertanya ini itu kepada pemiliknya. Dan kami bersama pengacara
kami berkeliling sekitar daerah itu, dengan radius ratusan meter dari pusat
"sasaran-tembak". Dan memang tempatnya sangat ideal, daerah turis, daerah
mahasiswa-pelajar, daerah pegawai, buruh , di mana banyak sekali
perkantoran, bank, universitas, sekolahan, pertokoan dan orang lalulintas. Dan
pengacara kami juga dengan teliti dan seksama banyak menanyakan tentang
surat-menyurat, pembukuan dan selukbeluk resto itu. Keluarga pemilik
tampaknya dengan senang hati menjawabnya, dan jawabannya tampak memuaskan
pengacara kami.

Setelah kami berpendapat memang sebaiknya "sasaran-tembak" inilah yang
tampaknya cocok-sesuai dengan keinginan kami. Dan "wanita inilah" yang
seharusnya kami lamar! Karena sudah sejumlah lebih 70 persen berkenan dalam
hati, lalu kami bertanya lagi harga-jualnya. Tetap saja keluarga pemilik
menetapkan harga 450.000 francs seperti yang dulupun pernah kami dengar.
Dan setelah tanya-jawab berunding secara lisan sebelum tertulis di atas
surat-kontrak, kami tawar-menawar dulu, agar pada tahap pertama
pembayaran, bisa sebagian dibayar kontan, sedangkan yang lainnya dengan
perjanjian selama tiga bulan harus lunas-lengkap seharga yang tertulis, dan
kalau tidak, kami harus membayar denda sekian persen. Dan nanti
surat-kontrak itu akan ditandatangani oleh kedua belah pihak pengacara, dari
pihak pemilik resto yang lama dengan pihak kami, sebagai pemilik baru.

Kami sudah memperkirakan, kalau harganya 450.000, - kami harus menyiapkan
paling sedikit 500.000, - Mengapa? Harus diperhitungkan membayar
notaris, pembaharuan balik-nama resto, membayar ongkos pengacara, dan modal
pertama dalam pembelian bahan makanan buat jualan makanan, sebagai layaknya
sebuah resto. Kami dan semua teman kami merasa gembira. Dan aku
"memperdalam, mengintensifkan" doaku dalam kesendirianku, semoga resto kali
ini, yang sudah enam kali gagal, Tuhanku, semoga yang ke 7 ini, diberkahi Tuhan
buat kami semua. Tuhanku, kataku dalam hati, dalam doa, Kau jadikanlah kami
sebagai pemilik resto ini. Kami sangat memerlukan kehidupan yang
mantap, berilah kami kesempatan untuk hidup bertahan di negeri orang.
Bukankah Kau tahu Tuhan, bahwa kami tidak mungkin pulang ke tanahair
kami, dan banyak keluarga kami yang menjadi korban pembunuhan dan
siksaan, penjara, yang sampai kini masih meringkuk di banyak penjara, dan ada
pula yang di Pulau Buru. Dalam doaku tak mungkin aku hanya membawa
kepentingan diriku sendiri, selalu kukaitkan dengan nasib kami
bersama, karena kami selalu diikat oleh kesamaan nasib, kesamaan kehidupan.

Ternyata dari banyak kelakar dan omongan, kami sama saja tujuan
doanya, mengharapkan yang ke 7 ini, jadi dan mantap dapat kami miliki, sebagai
sebuah resto yang dimiliki bersama, sebuah restaurant koperasi, yang
koperatif. Semoga pengalaman pahit 6 kali gagal, dan pernah merugi sekian
puluh ribu dulu itu, janganlah sampai terulang kembali. Setelah
berpahit-pahit, bersusah-payah, pontang-panting, rasanya ingin sekali dapat
menikmati "hasil tanaman dan panen"nya walaupun hanya alakadarnya saja!

Paris 23 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.