Bab 5 :
Berbagai Kendala - Dua

Ada sebuah ruangan dari sebuah gedung yang tadinya bekas toko-tekstil.
Letaknya bagus, banyak lalulintas, gampang parkir mobil, banyak orang
bekerja, berkantor sekitar situ. Tapi gedung ini memang bukan bekas resto.
Hanya ruangannya besar dan kalau dipasang kursi-meja pasti paling sedikit
bisa memuat kapasitas 100 orang. Kami berdua Pak Markam setelah melihat
lokasinya dari sisi-kanan, sisi-kiri, dan muka-belakang, lalu tertarik.
Harganyapun tak mahal, masih bisa dicarikan dananya. Setelah menemui
pemiliknya dan bicara-bicara, terutama kami menanyakan harga dan perjanjian
yang harus dibuat, maka keesokan harinya kami menemui pengacara - advokat
kami.

Kami betul-betul buta pengalaman, dan belum punya pandangan yang menjangkau
luas. Baru punya semangat menggebu-gebu, tetapi belum secara sempurna
menghubungkan segala kaitannya dengan urusan yang akan didirikan. Pengacara
kami setelah menanyakan kepada kami semua detail yang kami tahu dan yang
kami lihat, lalu secara "gencar" mengocok kami. Apakah ada saluran
chemine, cerobong-asap buat mengalirkan asap-dapur? Apakah sudah dipikirkan
akan perubahan nama dan baliknama dari bekas toko tekstil menjadi sebuah
resto? Apakah sudah dipikirkan keuangan-dana untuk semua itu? Membuat
cerobong asap-dapur yang perkiraan kasarnya saja sekira hampir 50.000
francs, baliknama menjadi sebuah resto akan makan ongkos puluhan ribu francs
lagi. Dan kalau ditaksir dengan harga lokasinya saja hampir duakalilipat
harga dasar semula.

Mendengar semua keterangan advokat kami, bagaikan tersentak dan
terhenyak. Tak menyangka akan begitu besar semua pengeluaran yang harus
dihambur-hamburkan. Kata pengacara kami, jangan sedikitpun tertarik akan
ruangan besar;walaupun kelihatannya murah, dan sekitarnya baik dan
menguntungkan kalau sasaran-tembaknya bukan bekas sebuah resto! Karena kita
harus dari nol lagi membangun syarat-syarat dan kemudahan buat sebuah
resto. Apa itu? Sebuah resto harus ada cerobong asap-dapur, ini mutlak! Dan
lagi harus ada izin bangunan sebuah resto. Sedangkan kalau bekas sebuah
resto atau restonya yang mau dijual, syarat-syarat dan kemudahan itu sudah
ada dan tersedia. Tinggal mengganti, mengubah bagian lainnya. Dan sejak
itulah kami takkan ragu-ragu lagi mencari yang memang resto yang mau
dijual. Inilah pengalaman baru yang tadinya tak terpikirkan, terutama
mengenai akan mahal dan berkalilipatnya dana yang harus dikeluarkan.

Sudah dua bulan lebih kami jalan terus mengelilingi kota Paris. Sepatu
sudah tambah menganga, tetapi semangat pantang penyerah. Bagaimana akan
menyerah, sedangkan yang mau diperjuangkan ini menyangkut langsung nasib
kehidupan kami sendiri, teman-teman kami sendiri. Teman-teman lain tetap
teguh menyemangati kami, dan menyokong kuat maksud kami bersama.

Ada resto yang mau dijual, di Paris 7. Letaknya bagus, dan kapasitas kursinya
resto kategori sedang-menengah, ada 75 kursi. Resto ini kepunyaan orang
Magribi, Afrika bagian utara. Yang dijual kebanyakan makanan orang sana
juga, kuskus, sejenis makanan dari sereal yang kuahnya dengan ayam, sapi dan
kambing. Makanan ini enak sekali. Bumbunya panas dan sedap, mirip makanan
Aceh atau Minang. Kami menemui pemiliknya dan pemiliknya dengan ramahtamah
menyambut kami. Mereka karena mungkin melihat minat kami mau membeli
restonya, maka "kebaikan dan keramahtamahan"nya menjadi meningkat, dan
menjamu-makan cara mereka. Dan kami makan dengan lahapnya. Semua makanan
sudah tentu berlabel "halal" sebab pemiliknya beragama Islam seperti kami
juga.

Dalam pada itu kami melihat dan mengamati dengan seseksama mungkin, dari
berbagai posisi. Sekitar tempat itu, di belakang, depan, sekitarnya, tempat
lalulintas kendaraan buat parking mobil. Dan begaimana keadaan calon
pelanggan, apakah cukup banyak? Semua kami pelajari selama beberapa hari
itu. Harganya-pun akan terjangkau. Patokan kami dengan sebuah resto
sedang, sedang-menengah, jangan sampai lebih seharga 500.000 francs! Kalau
mungkin antara 250.000 sampai dengan 400.000 francs. Harap jangan ditanya
apakah kami punya uang sejumlah itu? Karena jawabannya, kini pada waktu
itu, kami tak punya uang sebegitu banyak. Lalu bagaimana? Nanti kalau memang
sudah kepunyaan kami, akan kami usahakan mencari uangnya. Nah, disinilah
peranan dahsyat dan hebatnya itu orang yang bernama Markam temanku yang
kecil-perawakannya itu. Dulu ketika konferensi wartawan Asia-Afrika di
Jakarta, adalah Markam sebagai sekjen keuangannya, yang memerlukan uang
ratusan juta sampai milyaran rupiah pada waktu itu, yang uang masih cukup
baik harganya.

Semua ini kami laporkan kepada advokat-pengacara kami. Dan pengacara kami
datang memeriksa dan menanyakan segala sesuatunya. Dia-pun tampaknya setuju
akan pilihan kami. Dan bukan main gembiranya hati kami. Teman-teman kami
sudah kami beritahukan. Hari itu juga beberapa teman pergi mengunjungi
lokasi resto Magribi itu. Dengan hati yang sangat gembira, beberapa teman
sudah merancangkan dalam hatinya, kelak akan menjadi apa. Menjadi
koki, pembantu-koki, server melayani atau belajar barman dulu, dan sebagainya.

Untuk mengikat perjanjian jual-beli ini, kami harus mengadakan kontrak
perjanjian jual-beli. Yaitu membayar sejumah uang sebagai uang-panjar.
Kalau terus, maka tinggal menggenapi harga tertera dalam perjanjian. Kalau
mundur, tak jadi, maka uang kita hangus, hilang begitu saja, artinya dirikita
telah merobek-robek perjanjian yang sudah sama-sama ditandatangani.

Artinya pekerjaan kami setelah menyerahkan uang-panjar itu, maka sudah
sekian persen pekerjaan menjadi kian mantap, dan pada akhirnya kami akan
punya sebuah resto. Apa yang kurang gembira? Sudah sewajarnyalah kalau kami
semua sudah memikirkan tahap selanjutnya buat mencari dana yang besar untuk
itu. Ketika itu kalau tak salah harga-jual resto tersebut lebih 400.000
francs. Semua teman sudah pada siap bekerja buat kelanjutan resto yang
segera akan kami ubah dengan nama dan cara Indonesia. Yah, mana kami akan
menyangka persoalannya akan berakibat merugikan kami sendiri. Sedangkan
pengacara kami sendiripun yang cukup jeli, masih juga ada kebocoran infonya.

Oleh pengacara, kami dikumpulkan pada sebuah pertemuan final, bagaimana jadi
atau tidak membeli resto itu. Sebab diketahui, pemilik yang sebenarnya kini
masih ada dalam penjara. Pemiliknya itu meringkuk dalam penjara karena
kejahatan kriminal, disamping pembunuhan juga karena masalah drug sejenis
candu , marijuana dan morphin. Sedangkan yang berhadapan dengan kami itu
adalah adiknya. Jadi resto ini adalah resto keluarga.

Sebenarnya menurut pengacara kami, kalaupun mau diteruskan bisa bisa
saja, tetapi akibat belakangannya tak dapat kita ketahui. Misalnya tiba-tiba
ada tuntutan yang secara langsung tak langsung akan mengenai diri
kami, berkenaan dengan resto yang sudah kami beli itu. Atau ada ancaman dari
para pesaing dan konkurensinya dulu. Maklumlah gerakan kejahatan kriminal
dan drug itu sangat sulit memperkirakannya, karena semua gerak-gerik mereka
adalah dalam orbit manipulasi, dan secara tiba-tiba dan mendadak.
Nah, terjadi lagi diskusi antara kami dan dengan pengacara kami. Kalaupun
kami teruskan tentulah nantinya bekerja dalam tidak-adanya rasa
ketenangan, waswas dan kuatir saja kalau-kalau terkena dampak kejahatannya
dulu. Dan kalau kami mundur, berarti kami kehilangan uang 15.000 francs yang
menjadi uang-panjar ketika perjanjian ditandatangani dulu itu.

Perkara ini sangat banyak makan-pikiran dan makan-tenaga dan waktu. Tetapi
harus segera diputuskan. Sampai larut malam selama dua hari itu, kami
tenggelam dalam pendiskusian. Akhirnya kata akhir dan final terdapat
kesatuan pendapat, biarlah kami kehilangan uang 15.000 francs daripada kami
bekerja dalam rasa tidak aman dan tidak tenteram. Daripada membeli resto
seorang penjahat yang sedang meringkuk dalam penjara, lebih baiklah tak usah
punya resto dululah! Dan kami, semua teman kami dalam
berduka dan sedih, sebab banyak hilang uang tetapi tak ada yang kami
dapatkan! Memang yang kami dapatkan yalah pengalaman pahit yang nantinya
harus kami ingat benar agar jangan terjadi hal-hal demikian merugikan kami
sendiri. Pengacara kami berulang-ulang minta maaf dan pengertian karena dia
merasa belum cukup jeli dengan kejadian ini. Tetapi kami
meyakinkannya, perkara ini bukanlah salahnya sendiri, melainkan kesalahan
kamilah yang pokok, sebab kurang periksa dengan cermat.

Dan untuk kesekian kalinya kami gagal. Apakah sudah ada rasa putus-asa?
Tidak! Kami tetap dengan Pak Markam sudah empat bulan ini jalan terus
mengelilingi kota Paris. Aku dengan caraku sendiri setiap malam berdoa
kepada Tuhan, agar Dia menolong dan membantu kami. Kalau pulang malam
menjelang pagi itu, aku selalu membenamkan diri dalam kesendirian, menjauhi
teman-teman dan berdoa dengan khusuknya. Biarlah aku berdialog dengan
Tuhanku, aku dan Dia. Pedomanku, begitu kita sangat luarbiasa meminta dan
mengharap, tentulah suatu waktu akan dikabulkan. Dan perkara ini bukan buat
dirisendiri saja, ini buat kepentingan banyak jiwa, banyak nyawa
teman-temanku lainnya. Dalam hatiku, masaksih Tuhan akan membiarkan kami
terus begini?!

Paris 22 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.