Razzia Agustus

Kamarku kecil sekali. Entah berapa meter persegi. Di dalamnya ada sebuah meja pingpong, di atasnya buku-buku, dan merangkap untuk menempatkan pakaian serta segala rupa keperluan sekolahku. Nah, untuk tahu berapa luas kamarku, andaikan ada satu lagi meja pingpong, maka pastilah tak muat di ruangan itu. Kalau tak ada orang menginap, aku tidur di atas meja pingpong itu. Di bawah meja itu ada tikar,bantal. Ada lagi sebuah kursi butut, sehingga penuhlah kamar itu kalau ditambah satu meja kecil sekali pun. Karena itu meja pingpong dirangkap saja untuk ternpatku menulis.

Kamar itu letaknya di Jl. Matraman Raya nomor 25, Jakarta. Sore hari aku bersekolah di Jalan Garuda, juga bernomor 25, di Taman Siswa. Sama sekali tak ada hubungan kedua nomor yang sama itu, kebetulan saja. Di sebelah kamarku ada lagi kamar yang kira-kira sama besarnya, tapi pastilah lebih bersih, apik dan rapi. Begitulah kiranya, sebab penghuninya wanita Indo yang bekerja sebagai pramugari, dan pramugari biasanya kan cantik, paling tidak bolehlah ! Bertahun-tahun kemudian kudengar semua perumahan itu sudah.menjadi kantor perusahaan bus negara DAMRI, dan kini aku tak tahu menjadi apa lagi. Kenanganku selama berdiam di kawasan Matraman itu sungguh mengesankan. Sebuah sajak berjudul "Jauh malam di Matraman Raya" yang dimuat oleh majalah Zenith sekitar 1950-an, berkisah kenangan selama di Matraman itu. Namun ada lagi kenangan yang lebih indah dari itu semua.

Malam hari setiap pulang dari sekolah, aku melintasi daerah Senen, Kramat, lantas Matraman Raya ; terkadang aku jumpa orang itu. Perjumpaan itu sungguh tak sengaja. Awalnya kulihat seorang agak tua berkaca mata, bertongkat, dengan peci di kepalanya, membawa bungkusan entah apa isinya. Rasanya kukenal lelaki itu. Wajah dan bentuk badannya terasa bukan asli orangnya, juga terasa padaku orang ini harus kutandai. Entah daya tarik apa yang mendorongku ingin benar mengenalnya. Rasa penasaran... Ketika suatu malam aku bertemu lagi dengan lelaki itu, ia kuhampiri. Semakin aku mendekat, tahu-tahu saja ia agak menghardikku :

"Pergi menjauh, apa pula keperluanmu... sana !" suaranya agak rendah dengan mata membelalak. Yah, benar, rasanya aku tahu orang ini,tapi masih belum persis, siapa dia.

Sepulangnya ke kamar pondokanku, aku melamun. Pikiran melayang, kenangan mengembara, meluncuri malam-malam yang pekat. Kala itu usiaku baru tujuh belas. Terkadang pukul 02.00 atau lewat, ada ketokan pintu di kamarku. Aku biasanya segera terjaga, dan mendengarkan dengan cermat. Mulanya ketika ia mengetok, aku agak heran tetapi lama-lama tidak lagi. Yang penting, perlu kusimak baik-baik, bagaimana irama ketokan itu ; yaitu tidak keras, agak pelan.

Dan karena itu aku harus memperhatikan betul dengan daya pendengaran yang tajam. Ketokannya berirama dua-dua satu. Kalau sekiranya aku masih terlalu mengantuk,maka ketokan itu akan berulang kembali, dua-dua satu : tok-tok... tok-tok... tok ! Dialah itu.

Semua ini, ia yang mengajarkan, dan kami lalu saling mengikat janji. Sebab perkara tersebut sungguh penting. Aku sadar benar, salah-salah nyawa melayang. Karena itu kepercayaannya padaku sungguh mengharukan. Seandainya aku tertangkap, atau kena tekanan, ancaman, bahkan gebukan ; dapatkah dipastikan bahwasanya aku tidak akan bicara macam-macam, yang merugikannya, merugikan kami semua ? Padahal di mana rumahnya, aku tahu, dan bagaimana rumah-tangganya pun aku paham. Aku tahu, istri dan kedua anaknya ketika itu berada. Di mana pula bila hendak bertemu dengan mereka, aku juga mengerti. Orang lain tidak boleh tahu, bahwa aku tahu, dan aku tak boleh mengatakan, bahwa aku tahu itu semua. Aku wajib merahsiakannya.

Si pengetok pintu kamarku.itu, kupanggil Bang Amat. Kini aku ingat kembali, orang yang acap kutemui di jalan itu adalah dia, lelaki pengetok pintu. Kalau dia datang, ada saja bawaannya, berupa makanan. Di malam-malam dingin begitu, kami nyamikan menghilangkan lapar. Dan bila kemudian aku terbangun, terkadang tak kulihat lagi dia. Sudah pergi. Kalau kukatakan aku akan pergi agak terlambat, maka ia selalu berpesan : "Bangunkan aku pada pukul sekian…"

Tidurnya sangat baik. Begitu meletakkan kepala di bantalku yang rada bau itu, dia segera pulas, mengorok. Tentu ia penat. Yang diurusnya puluhan ribu orang, mungkin ketika itu malah sudah ratusan ribu orang.

Tiap pagi aku membeli koran, kadang Bang Amat yang membawa koran terbitan sore. Mengikuti keadaan. Pada sebagian koran pernah aku baca bahwa Bang Amat telah melarikan diri ke luar negeri, ke negeri tetangga di Asia Tenggara. Ketika itu tak disebutkan nama negerinya. Hati kecilku berkata, kami sungguh main kucing-kucingan. Diberitakan Bang Amat sudah lari ke luar negeri. Padahal menginapnya, tidurnya, sering di pondokku. Sesekali aku jumpa secara tak sengaja dengannya di jalanan atau di dekat persimpangan. Mungkin aku lebih mudah mengenalinya, karena hafal betul cara jàlannya, bangun tubuhnya,.wai.ahnya, apalagi kalau dia berdehem... sangat khas si Bang Amat, abangku sendiri. Dan semakin berat bahaya untukku, tapi inilah kepercayaan. Membanggakan sekaligus mengharukanku. Aku wajib waspada dalam mengemban kepercayaan ini.

Larut malam jika ia muncul di kamarku, kami selalu berbincang-bincang. Ia banyak mengajarkan soal-soal kehidupan, bagaimana harusnya hidup itu, mengisi kehidupan. Ia melihat dan membaca sajak-sajak dan cerita pendek karanganku di majalah-majalah Zenith dan Sunday Courier. Bang Amat juga memberi pendapat, kadang sungguh tak mengenakkan telinga, namun begitu agak lama dipikir, sungguh menyamankan hati. Dia menuntun, membimbingku. Padahal hidupnya sendiri dipertaruhkannya untuk perjuangan orang banyak, juga untukku. Untuk dirinya cuma tersisa sedikit. Dalam kesusastraan, perhatiannya besar, dan banyak pula bacaannya. Ia sungguh banyak tahu. Pikirku ketika itu, tentu saja ia harus banyak tahu, itulah kalau memilih menjadi orang politik.

Masa itu, keadaan tanah-air makin meningkat suhunya, situasi bergolak. Kabinet nampaknya akan jatuh, akibatnya kaum reaksi makin kalap. Pengejaran dan penangkapan oleh apa yang dinamakan Razzia Agustus terus ditingkatkan. Dalam situasi segawat begini, Bang Amat menjadi sangat jarang mengetok pintu kamarku. Tak ada pula kabarnya. Namun aku selalu merasa, bahwa ia selamat-selamat saja. Suatu malam terdengar kembali ketokan dua-dua satu itu. Aku terkejut seketika, lantas kusimak baik-baik. Ketokan dialah itu. Pintu kubuka. Namun kembali tersirap darahku, jantungku berdegup keras sekali. Yang muncul bukan dia, seorang yang tak pernah kukenal. Lelaki itu mencoba memperlihatkan keramahannya, sambil menyerahkan sepotong surat, katanya : "Dari dia ini". Hanya itu ucapannya, lalu masih dengan wajah bersahabat, ia bergegas pergi. Di kegelapan malam, kulihat ada seorang kawannya menunggu. Orang itu tadi tak sendirian. Lantas surat itu kubaca..Dan benarlah, itu tulisan tangan Bang Amt.

"Kaum reaksi semakin kalap. Pengejaran ditingkatkan. Kau harus hati-hati, waspada dan teguh !" Itulah isi pokok surat tersebut. Jadi yang mengetok pintu kamarku dengan sandi kami tadi adalah seorang suruhan Bang Amat. Hati berkata, sekiranya kaum raeaksi tahu hubungan kami, dan sekiranya mereka menekan dan menyiksaku, amboi... bagaimanalah nasibku ? Astaga, belum apa-apa sudah memikirkan keselamatan diri sendiri. Sangat bertentangan dengan apa yang selama ini diajarkan Bang Amat padaku. Segera terasa malu terhadap kekuatiran tersebut, dan cepat kuhapus wajah coreng-moreng yang ada padaku, walaupun hanya dalam hati. Kutekankan pada diri sendiri, harus teguh. Namun malam itu hingga pagi, aku sulit tidur,ada gangguan. Berat nian berjuang di bawah-tanah, keluh hatiku.

Benarlah, beberapa hari sesudah itu, di tengah malam,-kembali kamarku diketok orang. Tetapi kali ini iramanya bukan dua-dua satu lagi. Beruntun menimbulkan suara keras sekali nyaris memecahkan pintu. Anehnya, ketakutanku yang dulu pernah kubayangkan, justru tak muncul; malah yang ada kemarahan. Kurang-ajar benar menggedor kamar orang larut malam. Pintu kubuka. Dan menyerbulah bebe rapa orang bertubuh tegap, ada yang berkurnis dengan tampang seram.

"Dengan siapa kamu tinggal di kamar ini ?" seorang bertanya dengan kasar dan angkuh.

"Sendiri saja," jawabku kesal.

"Apa tidak ada orang lain ?"

"Seperti bapak lihat sendiri, cuma saya seorang."

"Tidak pernah orang lain menginap di sini ?"

"Pernah…", belum lagi lengkap aku mengatakannya, si kumis seram lalu menukas :

"Siapa ?"

"Adik saya...",

"Di mana ia sekarang ?

Bersama ayah, di Gondangdia.

Seorang temannya berbisik sambil memperlihatkan catatan kecil, entah apa isinya. Yang lain asyik membongkari segala macam barang yang ada, termasuk membalik-balik kumpulan pakaian dalamku di atas meja pingpong. Tak satupun yang dicari mereka, ditemukan.

"Kamu jangan bohong, ya. Kami sudah tahu kamar ini. Kamu tidak bisa lagi melarikan diri, kamu tahu... !"

"Lho saya tidak mengerti, bapak-bapak ini mencari apa dan siapa ? Tahu-tahu saja kamar saya dibeginikan ?"

"Kamu punya saudara yang lain ?"

"Punya..."

"Di mana ?" suaranya masih saja kasar.

"Yang satu di rumah-sakit Cisarua, sakit TBC sejak tiga tahun ini. Yang satu lagi di Bogor, di Panaragan Gunung Batu."

"Yang lainnya… ?" cepat sekali si kumis seram memotong.

"Kamu pasti tahu...", ujar si seram sambil menarik kerah bajuku, hingga aku sedikit terangkat.

"Ya, saya tahu dari koran. Dikatakan,ia sudah ke luar negeri. Saya tak pernah bertemu."

"Di mana rumahnya... ?"

"Saya, tak tahu. Dulu kalau kami jumpa selalu di Gondangdia, di rumah ayah."

"Hee... kamu bohong. Awas kamu,masuk penjara, ya..."

Aku diam saja, dan mereka makin penasaran. Tak satu pun mereka dapati dari penggeledahan tersebut. Bang Amat ternyata selalu waspada,dan cermat, tak pernah meninggalkan catatan atau barang sekecil apa pun. Ia juga paham, bahwa aku,adiknya, mau tak mau bisa terlibat dengan kegiatan-kegiatan politiknya. Namun kami bak sebuah kesatuan. Satu tak hati-hati, akan membahayakan yang lainnya. Satu tak teguh, yang lain akan terjerumus.

Keesokan harinya kudengar rumah ayah kami di Gondangdia digeledah pada hari yang sama bahkan jam yang sama denganku. Bahkan mereka kemudian membawa ayah ke markas Angkatan Darat, ketika itu MBAD namanya. Ibu dan kakakku yang lain tentu kuatir, walaupun mereka marah pula karena petugas telah membongkari isi lemari rumah tanpa membenahi kembali. Ayah sempat bersoal jawab dengan petugas-petugas tersebut, bahwa mereka sebetulnya bukan mencari ayah. Mereka mencari Bang Amat, anak sulung ayah. Kendatipun bukan ayah yang dicari, alhasil dua hari pula ayah mendekam di tahanan MBAD. Dan baru lepas, setelah ayah berhungan langsung dengan Parlemen karena ayah anggotanya. Sementara itu, yang dicari tetap hilang.

Para petugas militer nampaknya kurang percaya isi koran yang menyebutkan Bang Amat lari ke luar negeri. Hingga kabinet Sukiman bubar, Bang Amat tetap menghilang. Beberapa hari setelah kabinet bubar, ada lagi berita di koran yang mengatakan bahwa Bang Amat sudah tiba kembali di Tanjung Priok dari Tiongkok dan Vietnam. Begitu kabinet resmi dibubarkan, Bang Amat muncul. Sejak saat itu, tak lagi kujumpa lelaki setengah tua berpeci, berkaca-mata, dengan tongkat, berjalan. Tak lagi kamarku diketok dengan irama perlahan dua-dua satu. Dan orang-orang bertampang seram itu dulu, lalu pergi dengan sebuah jip militer, kini tak lagi menguntitku.

Sejarah menjadi lain. Belasan tahun sesudah itu Bang Amat dikabarkan gugur, di dekat Boyolali, dalam perjalanan penahanannya ke ibukota. Orang-orang bilang waktu itu "disembur logam panas". Jangankan jasad, nisannya pun tak berjejak. Bang Amat yang hidupnya terutama untuk orang banyak, untuk rakyat, telah tiada. Ia benar-benar telah pergi, bukan menyamar, bukan lari ke luar negeri.

Sementara itu, banyak orang ingin mengaku bahwa diri merekalah yang menghabisi nyawa Bang Amat. Seorang jenderal misalnya, mengatakan di depan umum bahwa dialah yang menamatkan hidup Bang Amat. Tapi ada lagi serdadu lain yang mengatakan, bukan sang jenderal, namun justru sang serdadulah yang menembak abangku itu. Aku tahu betul, ia tak pernah jauh dari rakyat. Dan bersamanya pergi adalah ratusan ribu jiwa lainnya, dalam suatu huru-hara pembalasan dendam politik di tanah-airku.

Abangku tersayang, tak kan kusua kembali. Kapan pun... Namun aku memahaminya, keprihatinannya yang mendalam atas nasib wong cilik, pasti telah diwariskannya kepada siapa saja. Juga padaku.

Jauh hari sebelum peristiwa berdarah di tahun 1965 itu. Ketika pintu kamar pondokanku berirama ketokan : dua-dua satu.

Tok-tok.... tok-tok.... tok !

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.