Di Antara Banyak Penghalang

Ada dua undang-undang yang bernama satu TAP MPRS nomor 25/1966, dan yang satu lagi berupa INSTRUKSI Mendagri nomor 32/1981, yang melarang, mencegah, lalu mengatur untuk tidak bolehnya paham komunisme dan penganut paham komunis, orang-orang PKI, hidup normal di Indonesia. Yang satu bersifat undang-undang secara pokok dan umum, sedangkan yang satu lagi bersifat petunjuk praktis bagaimana semestinya undang-undang itu dijalankan secara kongkrit.

Dua-duanya saling berkaitan. Yang kedua, yaitu INSTRUKSI Mendagri lebih bersifat mengatur secara orang perorang, yang menjalankan lebih kongkrit, ini tidak boleh dan itu tidak boleh, jangan begini dan jangan begitu. Instruksi ini lebih menjadikan wargenagara kelas dua karena terkena perlakuan diskriminasi, yang akhirnya mengalami kematian perdata. Misalnya seseorang yang dituduh PKI, atau penganut paham komunis tidak boleh dipekerjakan di sesuatu jawatan, kantor, perusahaan yang sifatnya vital. Tidak boleh menjadi pegawai negeri, apalagi memasuki dinas ABRI/TNI. Kalau mau pindah harus melapor dulu, harus menunjukkan surat-keterangan "bersih diri" "bersih lingkungan" dan "litsus". Juga harus ada orang yang menanggungnya, agar gampang kalau "mau diambil, diciduk" dan "gampang diawasi, gampang dikontrol". Dengan demikian yang dianggap "terdakwa" itu selalu saja harus jadi urusan jawatan, kantoran, dan orang-orang lain.

Di sini pemerintah dapat bermain dengan dua-mata-pisau, yang satu memang sebagai hukuman, dan yang kedua, agar orang-orang lainpun tahu bahwa "si terdakwa" tadi selalu saja jadi urusan orang banyak, yang pada akhirnya orang banyak mulai menanamkan rasa benci, rasa antipati, karena selalu membawa rasa takut pada orang lain. Lalu ada rasa selalu ingin manjauhi orang itu, dan pada akhirnya orang itu lama-lama akan terisolasi jauh dari pergaulan. Hal ini dialami orang-orang kiri itu ketika masih jaya-jayanya kekuasaan Orba/Abri/TNI

Bagaimana presiden keempat ini, Gus Dur? Paling banyak yang berpendapat, bahwa Gus Dur sih jauh lebih baik daripada presiden kedua dan ketiga, dan tak ada sama-samanya. Gus Dur sangat memperhatikan sejarah-lama yang gelap itu. Sehingga olehnya dikirim seorang menteri dengan stafnya langsung datang ke Eropa, terutama Holland, agar menjajagi, menemui para orang-orang kiri itu buat mendiskusikan kepulangan mereka.

Tentu saja orang-orang itu menyambut hangat adanya maksud uluran tangan dari pemerintah buat "mengurus kepulangan mereka". Maka bersambutlah reaksi dalam negeri dengan reaksi luarnegeri. Yang sedang di luarnegeri merasa mendapat angin segar buat ada harapan bisa pulang mudik yang selama puluhan tahun "terbuang dan kelayaban" di tanah pengasingan. Tetapi reaksi dalam negeri juga cukup keras dan lantang buat bagaimana cara mencegahnya. Nah, bertemulah dengan satu undang-undang dan satu Instruksi tadi itu. Agar undang-undang itu tidak perlu dicabut, jangan sampai dicabut. Bahaya komunisme tetap ada, tetap laten, dan jaga-jagalah mereka jangan sampai ada kebangkitan baru!

Reaksi dalam negeri dengan luarnegeri ini malah yang paling banyak mempersoalkannya adalah dari dalam negeri sendiri, yang pro dan kontranya justru sama-sama berada dalam negeri, sedangkan persoalannya ada di luar negeri. Maka bicaralah Ketua-ketua Partai, Ketua MPR, Organisasi Massa dan para mantan Jenderal, dan Jenderal yang masih aktif. Ada yang membagi secara global, yang kontra adalah kaum Islam yang keras, dan kanan, dan petinggi AD yang juga kanan bangat. Bahkan ada maksud-maksud tertentu sampai merasa perlu buat membuat pasukan seperti bentuk banser dulu itu, yang bisa "digunakan serta siap-pakai buat meng-apa-apakan orang-orang itu".

Melihat semua gejala ini, orang-orang yang memang sudah sangat peka akan ancaman dan siksaan batin begitu, sudah lama merasakan, himbauan akan kepulangan dulu itu, hanyalah kehendak sebagian orang-orang yang memang berkehendak baik dan jujur. Ya, Gus Dur sih memang baik dan jujur, tetapi bawahannya itu lalu bagaimana? Tokh Gus Dur takkan mungkin terus-terusan mengawasi bawahannya, marah-marah terus kepada bawahannya, secara ketat memerintah ini itu dan lalu langsung mengawasinya. Masih terlalu banyak pekerjaan Gus Dur yang lain.

Lagi pula menteri yang dulu itu diutus Gus Dur, Pak Yusril sendiri malah berpendapat lain dan agaknya bertentangan dengan niat semula yang dikerjakannya di Holland dengan yang belakangan ini, sebab beliau juga termasuk orang yang samasekali tidak setuju undang-undang dan Instruksi itu dicabut! Padahal undang-undang dan Instruksi itulah yang paling pokok menjadi penghalang buat menormalisasi kepulangan orang-orang yang selama ini disebut "kelayaban" itu. Dan tentu saja orang-orang itu merasa mandeg, macet, mampet buat pulang. Sebab pulang dengan rasa ketakutan, ancaman dan kebencian saudara-saudaranya di dalam negeri, tentu saja akan mengurungkan niatnya.

Oleh banyak sebab, yang tadinya sudah pulang dan sudah berada di Indonesia, tahu-tahu saja kembali lagi ke "tanah pengasingannya", tidak jadi atau belum jadi buat menetap terus. Dan secara main angka, dari yang katanya ratusan "kaum kelayaban" di Eropa ini, belum ada 5 persennya yang siap sedia melaksanakan buat pulang menetup terus di tanahair. Mereka tetap masih lihat-lihat dulu, lihat-lihat keadaan kongkritnya bagaimana. Sebab jangan sampai kehidupan semulanya cukup baik-baik, lalu pada akhirnya setelah pulang lalu menyusahkan orang lain, keluarganya, teman dan sahabatnya dan sudah tentu dirinya sendiri. Belum lagi menghadapi teror yang tak tampak, ancaman, pemerasan, dan dari "orang-orang yang berpakaian putih-putih" yang katanya siap jihad itu. Masih begitu banyak penghalang, masih begitu banyak rasa takut, rasa kebencian, yang dulu begitu dalam dan berakar kuat yang ditanamkan Suharto - Orba - Abri/TNI ke dalam tubuh bangsa ini.

Suara-suara jernih dan jelas-jemelas sih tetap saja ada di mana-mana. Seperti suara "kalau paham komunis dilarang, kenapa paham kapitalis tetap saja bergentayangan bebas" yang padahal katanya sama-sama tidak baiknya. Suara-suara dan kehendak baik dan jujur tetap saja ada, dan hidup dan akan tetap hidup. Tetapi orang-orang yang menjadi persoalan pokok itupun juga mau hidup, hidup yang terjamin. Jangan sampai mereka hidup secara normal di "tanah pengasingan" lalu begitu pulang sudah ada yang menampung: penjara-baru, penyiksaan-baru dan ancaman-baru. Karenanya mereka sejak jauh-jauh hari sudah seharusnya mempunyai perhitungan cermat, bukan dengan perasaan emosi sentimental, tetapi dengan penalaran jernih dan menjangkau jauh.

Paris, 7 April 2000,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.