Prosa - Seri 7
Pelajaran Agama

Sabtu malam, Nita-Gas, suami-istri ada undangan untuk bersama merayakan upacara pernikahan temannya yang orang Turki. Mereka memang bermaksud untuk menghadirinya. Belum pernah tahu bagaimana adat dan upacara serta perayaan pesta pernikahan temannya orang Turki. Yang serba sedikit diketahuinya yalah, pada biasanya perayaan dan pesta itu cukup besar dan penuh dengan makanan mewah yang kira-kira sangat cocok dengan selera mereka. Dan mereka-pun "siap" dengan bayangan makanan penuh kelezatan dan yang sangat memancing selera.

Karena pesta itu diadakan pada jam-makan malam, maka barulah jam 19.°° upacara dimulai. Sedangkan biasanya di Belanda, makan-malam sudah bisa dimulai pada jam 18.°° atau sebelumnya. Karena masih cukup waktu untuk menanti sampai jam tersebut, mereka mau mampir ke rumah temannya yang akrab, Magda. Keluarga Magda adalah keluarga Indonesia yang sudah belasan tahun menetap di Belanda. Pergaulan antara keluarga Nita dan Magda ini cukup dekat. Dan mereka mengenalnya secara akrab, bukan lagi basa-basi antara tamu yang masih memegang keresmian dan protokol. Nita dan sekeluarganya sudah biasa makan-minum di rumah keluarga Magda, sebaliknya Magda dan keluarganya tidaklah merasa asing bila di rumah keluarga Nita. Juga termasuk anak-anaknya, bergaul secara baik dan saling mendorong dalam pelajaran dan sekolahnya. Misalnya saja, anak Magda yang sulung sedang mau ujian Bahasa Perancis, dan Laura anaknya Nita, sedia membantu dalam mata pelajaran Bahasa Perancis, karena buat Laura Bahasa Perancis adalah bahasa-ibunya.

Ketika mereka mampir di rumah Magda, seperti biasa keluarga Magda dengan hangat menyambut Nita-Gas, dan minta agar mereka makan dulu. Adalah bagaikan pantangan dan tabu datang ke rumah Magda tanpa makan dulu. Dan Nita dan Gas, suaminya, melihat bagaimana penuh hidangan makanan yang lezat-lezat yang tersaji di meja-makan. Sabtu-malam memang biasanya banyak teman-teman keluarga Magda yang datang bertamu, dan pada biasanya mereka selalu menyajikan makanan yang cukup banyak, sebab para tamunya biasanya selalu saja ada. Melihat keadaan ini ada juga rasa tergodanya, baik pada Nita maupun pada Gas. Apalagi makanan kesenangan mereka seperti lado-tempe, sambal-udang-petai, dan sayur-asam dan banyak lagi yang menarik.

Tapi karena tekad mereka sudah bulat akan makan-pesta di pesta pernikahan teman Turki ini, maka mereka "bertahan" untuk tidak makan di rumah Magda. Magda sedikit membujuk, biar makanlah sedikit dulu, nanti kan makan lagi di pesta itu. Namun "bujukan" itu mereka tolak halus dan sopan. Magda tidak "memaksa" karena mengerti kira-kira apa yang ada dalam pikiran temannya ini. Mereka bahkan menjanjikan kalau tidak sangat malam, merekapun tetap akan kembali ke rumah Magda lagi, sebab sudah biasa antara mereka kalau sedang gilanya mau ngobrol, maka barulah menjelang pagi baru pulang.

Mereka menuju ke rumah teman Turki itu. Dari agak kejauhan sudah tampak para tamu sangat banyaknya, tampaknya meriah dan mewah agaknya. Kursi tempat duduk sudah sulit mencari yang agak enak, semua sudah ditempati. Jadi duduklah seadanya saja, asal masih ada kursi kosong, sudahlah, duduki saja. Dan mereka saling berkenalan dengan teman-teman barunya, juga bertemu dengan teman-teman lamanya. Hidangan kecil, makanan nyamian memang ada tetapi tidaklah sangat beragam, kelihatannya sederhana saja. Dan mereka berdua tampak menyisir dan menyusurkan matanya ke banyak arah, melihat dan "mencari" apa kira-kira sudah akan segera makanan diangkat dan dihidangkan. Bayangan mereka pastilah akan sangat mewah dan penuh kelezatan. Tunggu punya tunggu, belum ada tanda-tanda makanan yang penuh membayang di pikirannya akan segera disajikan. Tampaknya tamu lainpun, sama saja kelakuannya, menunggu dan menunggu.

Lama-lama yang keluar adalah roti panggang gaya Trurki, seperti pizza Itali, tetapi dengan gaya Turki, besar, bulat. Di dalam pizza ini sudah lengkap dengan campuran dagingnya, tentu saja kalau tidak kambing adalah sapi, atau ikan dengan segala saladnya. Dan berbagai saus lainnya, lalu kacang-kacangan sebagai pelengkapnya. Lalu minuman, lalu ya hanya itulah. Tidak terbayang yang lainnya, dan hanya ada dalam bayangan pikirannya saja semua kemewahan dan kelazatan itu. Tak ada dalam kenyataan. Hidangan ini tampaknya menjadi "pertanyaan" juga bagi banyak tamu lainnya, hanya tidak diungkapkan, tapi saling merasakan, sebab mereka para tamu itu hanya berkata dengan mata, bukan dengan mulut. Atau dengan bibir tapi tak ada suara, agak memiringkan bibir, tanda tidak puas.

Rasa ketidakpuasan ini ternyata bermuara jadi satu. Kenapa? Setelah mereka pulang, Nita dan Gas masih sempatnya mampir di sebuah restaurant, memesan makanan. Dan hampir tak dapat dipercaya, ada beberapa tamu yang bertemu dalam pesta tadi itu, juga sedang memesan makanan. Dan mereka lagi-lagi saling memainkan mata dan bibirnya, tapi tak ada suaranya. Kelihatannya sudah sama tak perlu bicara lagilah, tokh, dengan mampirnya di restaurant itu sudah cukup banyak kata-kata yang mau diungkapkan.

Betullah sudah. Nita dan Gas tetap mampir ke rumah Magda. Dan mereka dengan jenaka menceritakan kejadian tadi itu. Tapi Magda dengan sangat menyesal, menyatakan bahwa makanan sore tadi itu, sebagian besar sudah pada dibawa beberapa temannya buat oleh-oleh orang di rumah. Ini kebiasaan Magda, selalu membawakan berkah dan oleh-oleh makanan, yang dikemasnya dalam plastik khusus untuk itu. Termasuk biasanya juga buat Nita-Gas buat anak-anaknya di rumah. Tapi Nita dan Gas betul-betul bukan mau balik ke rumah Magda lalu mau makan lagi, bukan, tapi hanya ingin ngobrol dan cerita-cerita malam minggu. Nita dan Gas betul-betul sangat minta maaf kalau menyusahkan dan merepotkan Magda.

Lagi pula malam itu tidak boleh terlalu berpanjang-panjang, sebab keesokan harinya mereka ada acara di gereja, ada missa di kotanya, Almere. Magda dan Nita adalah anggota koor gereja, sebagai penyanyi dan juga pemain orgel. Nita yang dulunya hanya mengenal piano, kini harus memainkan orgel buat gereja. Kerjasama mereka sangat baik, juga pergaulan antara kekeluargaan mereka juga sangat baik. Sebab anggota koor dan musik itu sebagian besar adalah keluarga Magda, iparnya, abangnya, dan keluarga lainnya, kecuali Nita pendatang baru.

Pagi itu missa dan pelajaran agama dimulai pada jam 14.°°. Banyak orang-orang atau jemaat yang datang, biasanya juga berkeluarga, termasuk anak-anak. Tapi ada ruangan buat anak-anak agar jangan terlalu mengganggu ketertiban upacara. Sambil berkhotbah, lalu diselingi nyanyian puja-puji, dan lalu alunan suara orgel yang dimainkan Nita. Ada suara pendeta yang menyebutkan permisalan,- "Saudara-saudara, ada masanya Tuhan datang ke rumah saudara, bisa melalui orang lain, dan Dia mengetok pintu rumah saudara. Tetapi saudara ragu-ragu apakah pintu akan dibukakan? Dan saudara mendua hatinya, siapa sih yang mengetok pintu itu? Jangan-jangan orang jahat, dan saudara sengaja berlambat-lambat sebab masih membutuhkan pikiran keraguan tadi. Apakah akan dibukakan pintu itu? Saudara-saudara, Tuhan datang kepada saudara selalu dengan maksud baik, bukan mau berbuat yang tidak-tidak kepada saudara-saudara. Paling sedikit Dia mau memberitahukan sesuatu yang sangat berguna bagi saudara. Dan begitu saudara sudah yakin, sebaiknya dibukakan saja pintu itu. Tetapi begitu saudara bukakan pintu itu, Tuhan sudah pergi, Dia mungkin sudah terlalu lama menunggu saudara, dan karena saudara juga terlalu berlambat-lambat dan dengan hati mendua. Sayang, sayang sekali, Tuhan datang, Tuhan mengetok pintu, tapi saudara tidak membukakan pintu. Begitu saudara membuka pintu, Tuhan-pun sudah pergi, mungkin sudah agak lama. Mungkin saudara menyesal, kenapa tadi itu saya tidak membukakan pintu. Kalau saya tahu yang menegtok itu adalah suara Tuhan atau orang utusan Tuhan, pastilah saya akan bukakan. Begitu saudara berpikir, tapi itu sudah terlambat saudara. Dan saudara mungkin lama menyesalnya, tapi itulah pelajaran bagi kita semua. Menyesal itu selalu datangnya terlambat dan kemudian", kata Pak pendeta.

Nita dan Magda berdiri berdekatan. Dan mereka saling memandang, lalu bercubitan. Ada yang mereka rasakan, seakan-akan pernah kejadian itu mereka alami, terutama bagi Nita, dan Magda, bukankah dia sudah mengetok pintu rumah Nita agar tadi malam itu makan sajalah di rumahnya. Tapi dengan "bertekad bulat" mereka tetap saja mau makan di rumah pesta teman Turkinya itu. Dan lalu tak ada apapun yang tadinya tergambar pada ruangan pikirannya. Teringat ini kedua teman sejawat itu semakin menguatkan pegangan tangannya bercubitan dan berkikian tertawa merasa sangat lucunya. Terasa "kayaknya nyindir ya", kata mereka setelah upacara selesai. Mereka tidak perduli apakah perumpamaan itu tepat atau hanya mirip-mirip saja, tetapi ada kesamaannya, hanya ada kelainan peristiwa terjadinya, dan hal-ihwalnya, tapi tetap saja ada ke-paralel-annya.-

Paris 27 November 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.