Prosa - Seri 6
S A B R I N A - tiga ( selesai )

Sekembalinya dari Beijing ke Paris, pikiranku menjadi begitu banyak cabangnya. Tentang pekerjaan mendatang, menanggulangi tugas yang diembankan Tuan Luis, dan pekerjaan yang sekarang di resto kami sendiri, lalu, dan ini cukup makan pikiran : masalah Sabrina, yang sedang nyangkut berat. Lalu apakah sudah pasti walaupun sudah sah pensiun, terus menggabungkan diri dengan Tuan Luis? Meninggalkan teman-teman yang selama ini selalu senafas, sepekerjaan, bahkan meninggalkan resto yang dirisendiri salah seorang pendiri-dasarnya? Kalau dikaji dengan pikiran jernih, sebenarnya belum cukup kuat untuk mengatakan ya atau tidak secara tegas dan lugas. Masih tetap dalam kebimbangan.

Salah satu peperangan dalam pikiran yalah : mengapa harus pindah ke pekerjaan Tuan Luis? Jelas pekerjaan Tuan Luis adalah semata-mata keuntungan kapitalis, perorangan, tak ada bau-bau sosialisnya. Sedangkan kami adalah sebuah koperasi, berdasarkan sosial-kultural, dan jauh dari kapitalisme, penuh dengan semangat setiakawan dan solidaritas. Dulu mencarinya mati-matian dan habis-habisan, lalu sekarang mau ditinggal? Meninggalkan banyak teman-teman yang dulu satu kandang, satu nasib dan satu perasaan? Pikirkanlah benar-benar sebelum mengambil keputusan terakhir, begitu kataku pada dirisendiri. Belum lagi yang kupikirkan sekarang masalah perasaan dengan Sabrina. Hubungan yang pernah begitu erat - mesra, apakah akan diteruskan atau mau diputus? Baiklah seandainya mau diputus, bagaimana cara memutuskannya? Sedangkan dari pihak Sabrina sendiri menyerahkan padaku, bagaimana sebaiknya menurut bapak, katanya dulu itu sebelum kami berpisah.

Perang perasaan, perang emosi pada diri sendiri memang adalah perang yang sangat dahsyat buat diri. Dan kalau sudah terpental begini lalu ke mana larinya? Menyendiri, berdoa, memohon kepada Tuhan, dengan serius dan khusuk minta bantuan kepada Tuhan, menyerahkan diri.

Ada beberapa perubahan. Anakku yang kedua, akan segera menikah tahun ini, 1995. Calon suaminya tinggal di Holland. Dia akan menikah setelah menjanda selama 7 tahun, dengan anak satu : Loulou. Dan sudah bertunangan secara resmi, tinggal hari pernikahan di Balai Kota dan memestakannya di Paris dan di Amsterdam. Jadi artinya begitu banyak yang makan pikiran sehari-hari. Sebelum itu kami sudah saling mengenal dan ternyata masih ada hubungan keluarga dipihak bapak dari calon suaminya dengan ponakanku dari pihak ibunya. Dan karena kehidupan serba campuran begini, maka di rumah kami menggunakan beberapa bahasa sekaligus, sebab anakku belum mengertri bahasa Belanda, sedangkan mertuanya tidak mengerti bahasa Prancis, lalu pakai bahasa Inggris. Dan cucuku berbahasa Prancis dengan ibunya, dan berbahasa Indonesia denganku. Dan dua anakku selalu menggunakan bahasa Cina, karena anakku yang kedua lahirnya di Beijing, dan lagi kami di Beijing hampir 20 tahun.

Ketika sedang sibuk memikirkan dan mempersiapkan sekitar pernikahan dan pesta itulah datangnya surat panjang Sabrina. Isi pokoknya dia mau datang ke Paris dan "kalau boleh serte bapak tak keberatan, saye bersame due lagi teman saye, mau ke Paris dan menumpang di rumah bapak. Itupun kalau bapak berkenan dan tak menyulitkan. Dan kite bicarekan secara tuntas dan bagaimane berakhirnye hubungan kite ini, yang dulu bapak juge pernah katekan kepade saye. Semoge bapak berkenan, dan saye menunggu jawaban bapak", demikian singkatnya isi surat itu. Sebelum surat ini, kami memang selalu berhubungan surat-menyurat, bahkan tilpun. Selalu dia mengatakan padaku, lebih baik hemat uang, jangan menilpun tapi kirim surat saja, tokh hanya makan waktu menunggu 5 sampai 7 hari saja.

Dalam hatiku, nah, kalau begitu akhirnya, semoga saja hubungan yang pernah begitu dekat dan intim, dan saling berkaitan, dapatlah memecahkan masalah bagaimana sebaiknya. Semoga ada jalan, demikian pikirku. Dan pada bulan April tengah musimsemi, musimbunga kata orang, Sabrina dan dua temannya datang dan menginap di rumah kami. Bayangkan, karena pernikahan Nita - Gassy, juga pada bulan April berkenaan pula dengan Hari Kartini itu, betapa ramainya rumah kami. Ada keluarga yang datang dari Selandia-Baru memang khusus buat itu, dan kedua mertua anakku, jadi besanku, juga di rumah kami. Maka sekira belasan orang di rumah kami yang tak luas itu.

Sabrina datang dengan dua temannya, Alice dan Lee Fong, dua-duanya stewardess MAS, masih muda-muda bahkan lebih muda dari Sabrina, baru 23 dan 27 tahun. Kedatangan wanita-wanita muda dari Malaysia ini membuat suasana sangat menyenangkan, ramai dengan tertawa. Dan lebih-lebih kami merasa sangat gembira bahwa mereka mau turut meramaikan pesta perkawinan ini selama di Paris dan di Amsterdam, jadi mereka dalam satu minggu penuh itu akan selalu bersama kami. Dan aku dan kami berdua Sabrina selalu mengambil kesempatan buat bagaimana secara berdua merundingkan yang dulu pernah mau kami tuntaskan. Sukurlah orang rumah kami dan keluarga kami pada tahu dan mengerti tentang hubungan kami. Bahkan mengerti bahwa pertemuan kali ini buat menuntaskan bagaimanalah sebaiknya hubungan itu.

Ketika kami selalu berdua baik sedang di rumah maupun ketika bepergian berdua selama di Paris, kedua teman Sabrina dan anak-anakku samasekali tidak menaruh sak-wasangka atau dengan perasaan tidak senang. Alice dan Lee Fong selalu punya teman, anakku maupun cucuku, mereka samasekali tak mengalami kesulitan berbahasa, sebab anak-anakku cukup baik bahasa Inggrisnya, dan semua mereka bisa berbahasa Beijing - Mandarin.

" Rasanya tidak bisa lain, Rin, antara kita memang sudah seharusnya tidak meneruskan hubungan kita secara di Beijing dulu itu. Tidak mungkin, menurut saya tidak wajar. Umur kita terpaut begitu besar, kau masih begitu muda dan saya sudah begitu berumur. Anggaplah ketika di Beijing itu suatu intermezzo, yang kita mungkin sama-sama kehausan karena kesepian, karena kerinduan, dan bukan mustahil karena ada rasa keisengan. Karena itu kita lebih banyak pakai perasaan dan emosi bukannya dengan pikiran yang jernih. Kesalahan ada dan terletak pada saya", kataku ketika kami berdua duduk di sebuah bangku di sebuah taman. Sabrina sambil meremas dedaunan hijau, merunduk, dan dengan berat berpikir agak lama. "Yah, pak, sayepun berpikir kearah itu. Soal kesalahan tidak hanye bapak, sayepun turut bersalah, dan benarlah seperti kate bapak, mungkin kite keduenye dalam bujukan setan-hantu agar berbuat seperti yang pernah kite lakukan itu. Tapi itupun tak saye anggap dose benarlah, sebab bukankah kite berdue samesame orang tak berikatan, dan same-same saling membutuhkan. Sudah tentu setelah kite same-same merase hubungan itu tak akan selamat sejahtere kalau kite teruskan, make baiklah kite balik semule, ya, kan pak", katanya padaku. Dan ada perasaanku padaku, sukurlah, mendekati penyelesaian yang baik.

Tiga hari rombongan Sabrina di rumah kami, lalu kami sama-sama ke Amsterdam dan selama di Amstredam mereka juga selalu bersama kami. Pada suatu pesta di Amsterdam, banyak sekali teman-teman yang baru bertemu setelah belasan tahun tak bertemu. Dan sudah banyak pula mulut-mulut usil yang kuanggap baik, bukannya dengan maksud jahat, yang menyatakan " itu tuh katanya yang jadi pacarnya si simon", dan aku diam saja, tokh mereka tak tahu yang kami sudah mendekati habis - kikis cintaku terbang seperti kata Amir Hamzah raja penyair itu.

Pengakhiran hubungan ini sempat menjadi perdebatan antara dua anakku, Wita dan Nita. Wita beranggapan kenapa aku suka benar menguber; mengejar wanita muda belia, kan malu sudah tua-tua, katanya. Dan Nita agak membela, soalnya siapa yang mengejar siapa, kan bukannya papa yang cari-cari dan nguber sampai ke Malaysia, bukankah malah mereka yang datang baik-baik lalu menginap di rumah kita? Lagi pula saya sangat kenal papa, dia itu bukan orangnya yang tukang nguber, tapi nasibnya saja yang membikin dia sering mengalami begituan semua. Dan aku tidak berkata dan mengatakan apapun. Dari semua perbuatanku, mereka akan menilai bapaknya itu siapa dan bagaimana, seperti apa adanyalah, tak usah dibedaki, tak usah dihias-dandani.

Dua tahun sesudah itu, surat Sabrina tiba dengan permintaan, pertama tolong turut memikirkan, kedua tolong merestui. Ada dua calon yang sedang "berperang" merebut hati Sabrina di Malaysia, Sarawak. Yang pertama bahannya begini, yang kedua bahannya begitu. Dan dalam surat menyurat antara kami berdua, sudah kuketahui kualitas masing-masing pemuda itu. Dan aku menyarankan agar kawinlah dengan orang yang benar-benar serius dan sudah menunjukkan kesungguhannya mencintai dirimu,- inilah yang pokok. Lihatlah luar-dalamnya, galilah sampai dalam dan melebar agar dapat terlihat isi aslinya. Dan Sabrina ternyata memilih yang sama dengan pilihanku.

Tahun lalu bulan November, mereka menikah di Kuching. Bersama kedua mempelai, turut berfoto kedua orang tua masing-masing. Dan Sabrina mengakhiri suratnya " bapak yang sangat saye sayangi, kalau bapak ade peluang datang ke Kuching, saye bersame Roy suami saye siap sediekan bapak bilik tersendiri, bapak bebas di rumah kami, seberape lame bapak kehendaki. Juga keluarge kite lainnye seperti Nita - Gassy dan Loulou. Terimalah salam takzim kami berdue, dan mohon restu dan doa bapak", katanya.

Dan akupun menarik nafas panjang. Berakhir juga cerita percintaan kilat yang begitu cepat tamat ini. Dan pada akhirnya aku memang akan sungguh-sungguh berusaha agar bagaimanapun hubungan ini menjadi hubungan keluarga yang malah sudah sangat dekat, tetapi samasekali bukan lagi dengan cara dulu itu,-

Paris 28 Oktober 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.