Prosa - Seri 5
S A B R I N A - dua

Hotel di mana aku menginap adalah hotel baru berbintang 5, nama hotel itu bila diterjemahkan dengan bahasa Indonesia, artinya ZAMAN BARU, dikenal dengan hotel ANA,- All Nippon Airways, kepunyaan maskapai beberapa penerbangan Jepang yang bergabung menjadi satu. Karena kami ini menjadi satu grup dengan Tuan Luis yang kapitalis Singapur itu, maka kami mendapatkan kamar yang sangat luas, tetapi bergabung menjadi satu, menjadi satu kompleks perkamaran. Kamar induk dengan banyak anak-anak kamar. Setiap kamar punya perlengkapan sendiri seperti halnya kamar-kamar lain itu. Aku sangat menyukai hotel ini karena lokasinya luas, besar dan yang paling penting ada kolam-renangnya. Hotel berbintang 4 dan 5, selalu ada kolam-renangnya. Hotel kami ada 34 lantai, dan kami ada pada lantai 32,- layaknya memang sebuah kantoran.

Tuan Luis memang sudah menjanjikan padaku, bahwa begitu aku pensiun nanti dari restaurant kami RESTAURANT INDONESIA, aku segera bergabung dengannya. Tetapi sekarang sudah bisa memulai pekerjaan, memantau, memperkirakan dan merencanakan apa-apa saja yang menjadi pekerjaanku nantinya. Kukira ini bukan pekerjaan mudah dan gampang. Aku sudah memperkirakan pekerjaan nantinya, akan banyak mondar-mandir antar negara, dan hidupku akan banyak di atas udara, dengan pesawatterbang, sebagaimana yang dikerjakan Tuan Luis sekarang ini. Diapun pernah membayangkan bagaimana nantinya kalau aku sudah bergabung dengannya, begitulah kira-kira pekerjaanku, mengontrol, mengawasi, dan memperlancar pekerjaan Tuan Luis. Yang dia merasa senang denganku, karena kebetulan aku bisa beberapa bahasa, dan lagi, dan ini benar-benar gila dan agak tak masuk akal! Dia ingin menjadikan aku seperti layaknya sebuah maskot. Dia sangat mempercayai mistik dan yang berbau takhyul, bahwa dengan mengajakku bergabung dengannya dia percaya betul bahwa aku ini akan membawa banyak rezeki bagi perdagangannya. Dan untuk itu dia pernah membicarakan soal gaji, salaire, berapapun yang aku minta dia akan penuhi asal saja masih dalam kategori masakakal, termasuk misalnya tiga-empat kali dari gajiku yang sekarang di resto kami sendiri.

Akan halnya Sabrina, dia di hotel, yang kalau kuterjemahkan menjadi PERKASA terletak di kota Beijing-nya, sedangkan aku dipinggiran kota. Hotelnya juga berbintang 5, sebagai perhotelan tempat mangkalnya staf MAS. Kesenangan kami kebetulan banyak samanya, misalnya suka berenang, suka mendengarkan musik, dan suka makan, nyamian.

Dan pada hari perjanjian makan-malam itu, kami menuju sebuah rumah-makan yang dia sudah sangat kenal. Bagiku sebenarnya bukan makannya itu yang penting, tapi melihat dan bertemu dengannya. Ya, Allah, pekikku dalam hati, ketika menjemputnya di Hotel PERKASA itu, cantiknya mak dia! Berbaju merah menyala dan kerudung biru, serta berspan agak ketat, dan baunya wangi tetapi lembut, seperti wanginya bunga magnolia yang pernah kukenal dulu. Cocok pakaian ini dengan tubuhnya yang sintal dan orangnya yang suka olahraga, berenang dan kebugaran sejenis gimnastik pelangsingan tubuh. Berlainan benar denganku, badan agak repot karena gemuk, dan tidak muda lagi, untuk enaknya asal jangan dikatakan tualah!

Sesudah makan-malam, kami menuju hotelnya, dan duduk-duduk mendengarkan musik-hidup yang selalu ada di dekat bar yang luas itu. Ini sebuah hotel internasional, yang bersuasana juga internasional. Dan Tiongkok untuk itu bukan main pandainya dengan gaya meniru yang serba Barat. Ada yang bagiku sangat repot tinggal di Beijing ini, sangat sulit mau ngopi! Tak ada seperti cafe-cafe seperti di Paris atau kota-kota lainnya di Eropa. Kalau mau ngopi harus mencari hotel dan restoran serta bar di hotel yang skalanya internasional. "Kite duduk-duduk saje di suasane musikallah ya Pak", katanya. Dan lalu dia menuju kamar, ada yang mau diambilnya rupanya. Dan sebelum itu dia mengatakan padaku, dengan minta maaf banyak-banyak sebab aku belum diizinkanya masuk kamar hotelnya. Dan aku bukannya malah bersedih dan kecewa, tetapi malah sangat menghormatinya, betapa dia tahunya hargadiri. Sikapnya ini malah kuhargai dengan sangat.

Dia memperlihatkan foto-foto selama di Kuching dan Beijing ini. Dia bercerita dan aku menjadi pendengar yang baik. Ternyata dia adalah seorang yang sedang ditinggalkan suaminya, dalam urusan perceraian. Dan ketika bercerita itu dia tampak sangat murung dan dari kelopak mata yang memang besar dan hitam itu keluarlah beberapa butiran mutiara-putih yang bernama airmata. "Bapak tahu kan, adat kami, adat kite bangse melayu ini, saye yang begini mude, akan segere menjadi jande, dapatlah bapak bayangkan. Umur baru duepuluh sembilan, menikah sudah empat tahun, tahu-tahu saje die tinggalkan awak sendiri!" Aku masih tetap mendengarkan dengan baik dan tekun. Kuberanikan diriku, kuambil saputangan yang memang kepunyaannya di atas meja itu, kukeluarkan dari tas-wanitanya. Dan dibiarkan aku berbuat dengan perasaan yang dalam yang ada padaku. Airmata yang hampur jatuh mengalir itu kuhapus, dan betapa senangnya hati ini, masih tetap dibiarkannya aku. Tadinya kukira dia akan menolak dan akan merasa malu dan segan, ternyata tidak.

Mungkin kataku pada diriku ketika suasana sudah sepenuhnya sadar, makin mabuklah aku ketika itu. Tapi adalah benar, aku merasakan ada apa-apa dengan perkenalan cara kilat ini. Aku menjadi sangat merasa kasihan padanya, ada rasa yang kutekankan pada diriku, agar kalau memang punya rasa kasihan, kasihanilah sebagai bapak mengasihani anak. Dan sangat berat aku mengakui, bahwa umurnya dan umurku terpaut 30 tahun! Dan seperti biasa penyakit yang selalu kuderita, mengapa aku ini selalu punya soal-soal dengan wanita muda, anak-anak muda yang umurnya selalu di bawah umur anakku! Dan anehnya dan sakitnya, pikiran dan perasaan itu selalu datangnya kalau sudah ketelanjuran, terkadang sudah jauh.

Ketika aku minta diri buat pulang, malam sudah larut benar. Sudah mendekati pagi karena sudah lewat jam 24.°°. Lagi-lagi aku berbuat viveriperi coloso, nyerempet bahaya, ketika mau pulang itu, yang walaupun taksi sudah menungguku, berani-beraninya aku masih mampu berkata,- "Rin, bolehkah aku menciummu, dikedua belah pipimu saja, sebagaimana kami layaknya di Perancis?", kataku dengan nekat barangkali ketika itu. "Tentu saja, pak, bapak teman saye yang sangat baek, yang mustahil saye dapat lupekan dalam hidup ini. Bapak sangat perhatikan saye dan saye sangat senang bersame bapak malam ini", katanya dengan lancar dan tampak bersemangat. Dan aku mencium keduabelah pipi yang montok itu. Terasa wangi parfumnya yang sangat soft, halus dan mesra. Aku percaya ciuman itu mungkin tidak begitu jujur, tapi aku sudah berusaha buat jujur. Belum bisa ternyata.

Dan kesokan harinya, lagi keesokannya lagi, kami mengulangi pertemuan kami. Sabrina sangat gembira dan "malangnya" nasibku, apa saja yang aku mau lakukan terhadapnya, mengapa dia biarkan? Mengapa dia mau saja? Mengapa? Tak lama lagi aku harus kembali ke Paris. Ada perasaanku berkata dengan dua sayap, sudahilah perkenalan ini, jangan sampai terlalu berhanyut-hanyut, dan terlalu sulit buat mengurai benang-kusut itu. Ada lagi sayap lainnya, semoga saja kesempatan ini adalah yang terakhir buatku "main api". Benarlah kata orang, main api akan dekat terbakar, main pisau akan dekat luka, dan kini, aku ini sedang main apa?

Dan aku sudah mulai diizinkannya masuk kamarnya. Nah, habislah batas-batas yang dulu masih ada. Berdosakah aku? Kalau kukatakan ya, lalu ada pemaafan buat diriku terhadapnya, lalu kenapa dia mau saja yang aku kehendaki darinya? Mengapa dia biarkan aku berlarut-larut dengannya, yang padahal kemungkinan besar di antara kami dua-duanya akan tenggelam dalam lautan duka dan yang serba tak mungkin itu? Sudah kukatakan padanya, berapa umurku kini, tapi dia tidak ambil perduli, lalu siapa yang salah? Mungkin memang kami berdua, mungkin yang paling besar kesalahannya yalah diriku, kenapa membiarkan diri begitu jauh hanyut dan begitu dalam tenggelamnya.

Kalau dulu sebelum terjadi hal-hal ini betapa inginnya aku segera pulang ke Paris. Tetapi kini, rasanya lho cepat amat harus pulang ke Paris! Perasaanku bagaikan pernah kualami puluhan tahun yang lalu. Kalau dulu melang wajar, tapi kini di mana letak kewajarannya? Perbuatanku sepertinya sengaja membelenggu diriku sendiri. Sabrina-pun tampaknya juga mengalami hal-hal yang seperti kualami, bagaimana tidak, kalau kami sudah saling berserah dan berpasrah. Tetapi begitu ada secerah pikiran jernih, lalu dua-dua kami selalu bertanyakan pada diri sendiri, akan mungkinkah cara perkenalan begini dan pendekatan jiwa dan hati begini dapat diteruskan? Atau mungkinkah hanya pada taraf saling berkencan saja? Kukatakan pada Sabrina, bagaimanalah perasaanku sekarang dengan pergaulan intim begini, dan ternyata dia dengan menarik nafas panjang, juga punya perasaan itu. Kami tidak tahu bagaimana akhirnya perkenalan dan kedekatan serta keintiman kami dalam beberapa hari ini. Dan Sabrina tidak mau memikirkan perihal itu. Jadi apa yang harus kita pikirkan bersama, kataku suatu kali. "Tak tahulah saye. Mungkin memang kesalahan ade pade saye, tapi juga bapakpun terkire punye pule kedosaan itu, mungkinkah begitu pak?", katanya dalam tilpun sesudah kami sama-sama di hotel tempat kami tinggal.

Tak tahulah aku. Mauku segeralah meninggalkan Beijing ini. Ada pikiran, bagaimana nantinya kalau aku sudah berpos di Beijing, dan lalu sudah memegang pekerjaan yang dipercayakan Tuan Luis ini? Sangat banyak yang menjadi pikiranku yang berbelit, kusut, sulit diurai. Dan salahku, mengapa dulu mau saja berbuat yang tidak diperhitungkan akibat belakangnya? Memang kami masih sama-sama orang bebas, masing-masing tak punya ikatan. Tetapi bukanlah hal itu benar yang menjadi persoalan. Persoalan pokok, dapatkah dan mungkinkah perkenalan - pendekatan ini diteruskan? Dengan pertautan umur yang begitu besar? Mungkinkah akan dapat diteruskan, atau sudah gilakah kalau masih mau juga meneruskannya?

Dan aku benar-benar pada masa itu begitu banyak pikiran suntuk. Lalu kenapa dulu itu berani-beraninya dan nekad-nekadnya berlaku bagaikan anak-anak muda?! Terkadang ada pikiran, sudahlah, jangan banyak dipikirkan, bagaimana sajalah nantinya, semoga Tuhan memberikan jalan. Barangkali juga Tuhan akan mengatakan, " kok kamu nggak kapok-kapoknya, selalu begitu sih. Ini kan bukan pertama kalinya kamu alami setelah isterimu meninggal", barangkali begitu Tuhan mengatakan, dan kemungkinan besar hanya akulah yang ada pikiran begitu, karena dosa sudah ada di punggung, di bahu, di pikulan,-

Paris 27 Oktober 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.