Prosa - Seri 4
S A B R I N A - Satu

Bagaimana sebenarnya mulainya perkenalanku dengan Sabrina, begitu cepat, begitu kilat, tapi juga tak lama lalu tamat. Berkali-kali kuminta agar Siao Chen sekretarisnya Tuan Luis mengurus kepulanganku ke Paris, mengurus tiket pesawat MAS via Kualalumpur buat ke Paris. Tetapi belum juga dikerjakannya. Kulihat Siao Chen itu namanya saja sebagai sekretaris, tapi sungguh tak mirip. Masaksih seorang sekretaris bekerja siang-malam dengan Tuan Luis, yang lalu menginap di hotel yang sama, dan bahkan satu kamar dengan Tuan Luis-nya sendiri?! Barangkali merangkap sekretaris luar-dalam. Dan setelah kutanyakan sana-sini, memang begitulah kedaannya. Gadis-muda di Beijing ini perlu pekerjaan, perlu matapencaharian, lalu ketemu Tuan Luis, dijadikanlah sekretaris yang merangkap, begitulah! Dan lagi Siao Chen cukup manis, lincah, ramah dan muda, baru 20 tahun umurnya.

Kedatanganku ke Beijing atas undangan Tuan Luis. Karena dalam suatu pembicaraan, dia ini akan membangun sebuah hotel bertingkat-belasan di kota Beijing. Dan hotel itu akan diperlengkapi dengan restaurant, dan restaurant itulah yang katanya mau diserahkannya padaku buat mengelolanya, me-management-nya. Lalu Tuan Luis juga menjanjikan agar akupun turut berpartisipasi dengan perusahaannya, misalnya mengurus hubungan dagangnya dan proyeknya yang ada di Thailand, Singapur, Paris, Hongkong dan Jepang.

Apa yang dimintanya, memang telah kukerjakan selama di Beijing ini, antaranya mengumpulkan teman-teman yang bisa diajak kerjasama dalam mengelola restauran itu. Kami adakan pertemuan, antaranya dengan banyak temanku yang dulu atau bahkan masih aktive di Radio Beijing dan bekas murid-muridku yang kini sudah pada punya anak yang telah beranjak dewasa. Dan setelah pekerjaan itu rampung kukerjakan seperti apa menurut kehendak Tuan Luis, aku harus pulang ke Paris. Dan kuminta agar Siao Chen mengurus tiket kepulanganku dari Beijing ke Paris via Kualalumpur. Berkali-kali kutagih, apakah sudah diurus? Ternyata belum juga. Dan aku sangat dongkol pada Siao Chen. Rupanya kalau orang sedang dongkol, Siao Chen yang sebenarnya cantik dalam sehari-harinya itu, lalu di mataku berubah menjadi jelek! Dan aku dengan perasaan masih dongkol menilpun ke kantor MAS jauh di tengah kota.

Di Beijing, tentu saja kalau mau mudah berhubungan sebaiknya menggunakan bahasa Tionghoa Beijing. Dan aku dalam hal ini tidak begitu banyak kesulitan buat berbahasa Beijing, sebab hampir 20 tahun tinggal di Beijing. "Jadi bagaimana apakah bisa di-conform buat berangkat hari Minggu depan?" kataku kepada wanita yang sedang berbicara itu. "Sebaiknya, kalau dalam satu hari ini, kami tidak menilpun, Tuan datang ke kantor, buat konformasi terakhirnya, sebab saya juga harus banyak menilpun siapa saja yang kira-kira ada yang mengundurkan diri", katanya di seberang sana.

Aku tidak bertanya dan tidak memperdulikan lagi Siao Chen sekretaris luar-dalam itu. Pikiranku sudah mau pulang saja ke Paris. Dan aku ingat pekerjaanku sendiri di restauran kami, sudah terasa lama meninggalkan resto dan teman-temanku. Dan keesokan harinya aku mendatangi kantor Mas di tengah kota Beijing, jauh tempatnya dari hotel kami, yang agak di luarkota dekat Kebun Binatang dan menuju ke Universitas Beijing dan Istana Musimpanas.

Di kantor itu yang tidak besar, tapi menyenangkan, bagus hiasannya, tidak seperti hiasan di kantor orang-orang Beijing asli. Ada empat orang yang bekerja di ruangan depan, semuanya wanita, muda-muda. Salah seorang yang menghadapiku adalah seorang yang berwajah lain, lebih cantik dari yang lain, dan berpakaian Malaysia, seperti kebanyakan stewardess Malaysian Airways. Dan dia mengurus tiketku termasuk penginapan di Kualalumpur. Aku percaya sangat, wanita muda ini bukan orang Tiongkok asli. Dan setelah kutanyakan apakah bisa berbahasa Melayu atau Indonesia? Ternyata dia bisa berbahasa Melayu, dan kami akhirnya berbahasa Melayu yang tadinya bahkan sejak di hotel melalui tilpun, selalu campuran bahasa Beijing dan bahasa Inggris.

Gadis ini sangat ramah, dan setelah kami saling menggunakan bahasa Melayu, keramahannya melebihi sebelumnya, dan dia banyak tertawa gembira, karena mungkin bisa berbahasa Melayu itu. Bahasa Melayu-ku tentu saja tidak sebaik dia, tetapi dulu ketika aku masih mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Beijing pada tahun 1964, aku pernah diminta bantuan mengisi kekosongan guru berbahasa Melayu. Terpaksalah aku harus banyak belajar lagi memperdalam bahasa Melayu. Memang tidak begitu sulit, sebab dasar bahasa daerah kami di Belitung sudah berdasarkan bahasa Melayu Riau, jadi tinggal memperlancarkannya saja. Dan buku-buku di perpustakaan Institut Bahasa Asing Beijing turut membantu bibliographiku.

Kutanyakan nama gadis itu. Katanya Sabrina, tapi nama lengkapnya Sabrina Chai. Pastilah keturunan Tionghoa, apalagi sepertiga penduduk Malaysia adalah keturunan Tionghoa. Setelah aku menuju pulang ke hotelku, banyak sekali pikiranku yang masih nyangkut ke Sabrina tadi itu. Bagaimana ketika aku membuka dompetku buat mengeluarkan carte-blue, kartu-kredit buat membayar tiket, terlihat olehnya foto seorang wanita. Sabrina melihat dan dengan enak saja lalu minta diperlihatkan. "Akh cantik amat gadis kecil ini", kata Sabrina. "Ini adalah cucuku yang pertama, umurnya 7 tahun, namanya Loulou", kataku. "Pastilah ibunya cantik sangat ya?!" "Mungkin suatu waktu Enchik akan bertemu, siapa tahu kan?" "Ya, siapa tahu", kata Sabrina. Beberapa temannya yang di kantor ini pada berkerumun mengedarkan foto Loulou, dan kantor itu seakan-akan sudah jadi rumah biasa, bukan kantor yang sangat sibuk. Terasa nyaman suasananya. Dan kami agar tidak terlalu egois, lalu menggunakan bahasa Tionghoa lagi.

Ternyata Sabrina datang ke Beijing adalah buat meng-up-grading tenaga-tenaga MAS lainnya, agar bisa berdikari, tanpa bantuan orang-orang dari Malaysia sendiri. Jadi Sabrina hanya dipekerjakan sekian bulan, untuk mendidik tenaga muda, terutama dalam masalah ticketting dan marketing. Sudah itu dia harus kembali ke kantor asalnya di Kuching - Sarawak.

Setelah aku sampai di hotelku, ada rasa kegelisahan. Terasa enak dan bersemangat balik muda setelah bertemu Sabrina tadi itu. Dalam hati, coba nanti kutilpun dari hotel. Lalu kamu mau apa, tanyaku pada diri sendiri. Begitulah aku, selalu bisa berdialog dengan diriku sendiri. Terkadang diriku selalu ada dua, yang satu bisa kusebutkan perasaan, yang lainnya bisa kusebutkan pikiran. Dua-dua ini kalau ada masalah agak pelik, akan selalu berdialog, dan sukurlah selama ini pihak pikiran yang menang. Tapi menghadapi persoalan Sabrina ini, aku tidak atau belum memastikan siapa yang akan menang.

Satu hal yang Sabrina tahu, tak ada yang kusembunyikan selama percakapan kami tadi. Bahwa aku bertugas di Beijing buat apa, semua kuceritakan dengan seadanya saja, lalu bahwa aku sudah punya cucu yang umurnya sudah 7 tahun.

Dan kegelisahanku tampaknya tak bisa kupendam, lalu kuangkat tilpun, kutanyakan dulu apakah aku boleh bicara dengannya agak sedikit leluasa, bukan dalam urusan dinas. Mendengar permohonanku itu, malah dia tertawa. "Bapak ndak cakap ape, katekanlah, saye dengar baek-baek, kebetulan pule kini tak ade orang yang sedang mengurus kerje", katanya terdengar tertawa kecil dan amat ramahnya. Agak gemetar juga aku dibuatnya, tapi kuusahakan setenang mungkin, agar bisa berbicara dengan wajar dan normal. "Yang penting sebenarnya tak adelah. Hanya kalau Sabrina ade waktu, apalah sudi mau menemani saye makan malam, ya, hanye itu yang saye mau katekan", kataku agak menenangkan diri. "Oh, kebetulan saye tak ade program lain dalam duetige hari ini. Nah, saya siaplah menemani bapak. Di mane bapak punye maksud mau makan, ke situlah kite pergi", katanya dengan logat kentalnya. Dan aku jadi sedikit bingung, aku hanya mau me- ngajak makan bersama, dan ketika dia serius mau, lalu aku tak siap mau diajak ke mana. "Sabrinalah yang menentukan, kan Sabrina lebih tahu Beijing, apalagi di tengah kotanya, saye tak begitu pandai mencari tempat. Sudah amat jauh berubah dari belasan tahun yang lalu itu", kataku. "Baiklah, saya punye usul, tapi bapak boleh tolaklah kalau tak merase setuju, begitu ye", katanya dengan suara yang menurutku sangat lembutnya, sangat mesranya.

Dan dia mengusulkan agar di kota saja, agar juga tak jauh dari tempat tinggalnya. Dan aku setuju. Akh, dia sudah maupun aku sudah senang, dan rasanya lama sekali menunggu waktu itu. Penyakit dunia, waktu itu sangat terasa lama bila ditunggu, tetapi sangat cepat berlalu ketika kita sedang asyik bekerja atau dalam rasa kesenangan. Dan penyakit dunia yang lain, kalau dirikita sedang dalam keadaan jatuh-, tak dapat kusebutkan, agak malu rasanya-, semua itu terasa indah terasa romantis yang padahal kalau dalam keadaan "sadar", sebenarnya ya biasa-biasa sajalah adanya.

Paris 27 Oktober 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.