Prosa - Seri 2
FLORA

Di kelas ini terdiri dari banyak bangsa. Ada yang dari Maroko, Turki, Albania, Indonesia, Cheko, Tunisia, dan beberapa lagi. Kebanyakan wanita. Ada yang masih muda belia, ada yang sudah berumahtangga dengan dua atau tiga anak. Mereka belajar Bahasa Belanda. Semua orang memahami, mau tinggal di sesuatu negara orang lain, seharusnyalah bisa dan menguasai bahasa setempat. Dan mereka sudah belajar selama tiga bulan, empat kali dalam seminggu. Sekarang guru mau tahu, sampai di mana penguasaan bahasa yang mereka dapatkan. Dan kini pelajaran mengarang yang temanya cukup sederhana, mudah dikerjakan, dan gampang mengingatnya, yaitu Tentang Keluargaku.

Gampang saja, aku punya ibu dan bapak, atau saudara, atau adik,kakak,abang. Dan juga aku punya isteri atau suami, atau anak. Anakku ada dua, satu yang laki-laki dan satunya lagi perempuan, dan sebagainya dan sebagainya. Tema yang para siswanya seakan setuju semua, sebab memang mudah dan sangat sederhana. Di antara siswa ada yang dengan rasa agak sedikit meremehkan, sebab terlalu gampangnya menurut mereka. Ada yang cukup satu lembar kertas saja, sudah tercakup semua yang hendak dikatakan. Tak banyak harus menggunakan gramatika atau tatabahasa yang kebanyakan orang tidak begitu suka.

Ada yang sungguh cepat selesai, dan dengan tertawa dan senyum ke luar ruangan kelas, tetapi menunggu temannya yang belum selesai. Ketika mereka baru mula-mula masuk dulu, menggunakan berbagai macam bahasa. Yang dari Maroko berbahasa Perancis dengan yang dari Perancis, seperti halnya si Nita itu dengan Azizah. Yang dari Cheko berbahasa Inggeris dengan yang dari Turki, seperti Eva dan Hindun itu. Tapi oleh gurunya diminta agar mereka selalu menggunakan bahasa Belanda, biarpun seberapa bisanya saja dulu. Dan kini pada umumnya mereka sudah menggunakan bahasa Belanda, tak terdengar lagi bahasa Inggris dan Perancis, atau Turki.

Ada yang menjadi perhatian guru dan siswa, kenapa Flora begitu lama. Dan tampaknya dia belum mulai-mulai menulis. Dia tampaknya murung dan sangat sedih. Teman-temannya semua tahu, Flora adalah siswa yang pandai, bahasa Belandanya cukup baik, lalu kenapa tidak menulis. Kenapa tidak mengarang, padahal pengetahuan bahasanya cukup dapat diandalkan. Flora sudah hampir setahun tinggal di Belanda di Almere Buiten. Beberapa temannya secara solider menunggu Flora sampai selesai, dan semua heran, mengapa Flora belum juga memulai menulis karangan itu, yang padahal begitu gampangnya buat dia. Dan terlebih lagi teman-teman siswa itu menjadi heran, dan kebingungan, Flora bukannya malah mempercepat agar selesai dengan pelajaran mengarang ini. Karena jampelajaran hampir selesai, malah tampaknya dia menangis. Kenapa? Sakitkah dia? Gurunya juga kebingungan. Dan jam pelajaran mengarang selesai sudah, tak sebarispun yang ditulis Flora, malah dia menangis yang tampaknya sangat menyedihkan.

Gurunya mengajak beberapa siswa berunding buat mengantarkan Flora pulang dan mengajuk hatinya, kenapa menangis, kenapa begitu bersedih. Gurunya minta agar Eva dan Nita yang dari Cheko dan Indonesia, yang baru pindah dari Perancis, membujuk Flora agar menghilangkan kesedihannya. Guru minta agar besok datang lagi bersama Flora, dan juga semua siswa sudah dapat mengetahui hasil ujian mengarang hari ini. Semua siswa tentu saja tidak dimintapun akan merasa sangat senang, sebab besok mereka akan tahu, ada apa dibalik kesedihan dan tangisan Flora yang tampaknya begitu berat.

Keesokan harinya semua siswa disamping gembira mengetahui hasil ujiannya yang pada umumnya baik dan ada yang sangat baik, juga mau tahu benar mengapa dan apa yang terjadi dengan Flora. Dan bagaimana halnya dengan Flora yang tidak mengikuti ujian mengarang itu. Para siswa bagaikan berkumpul seakan bersidang, bukan lagi seperti biasanya duduk tertib di bangku dengan gaya murid-murid SD - SMP. Sekali ini Flora tampak lebih segar dari kemaren, tapi tetap saja tampak wajahnya yang belum normal seperti biasanya. Flora menceritakan keadaan dirinya, yang sebenarnya cerita itulah yang seharusnya menjadi karangannya.

" Saya tidak tahu siapa ibu saya. Saya tidak tahu siapa ayah saya. Saya disebutkan adalah anak-negara oleh negara dan pemerintah saya di Albania. Sejak berumur beberapa hari saya sudah masuk penitipan Rumah Sakit buat anak-anak-negara. Penitipan ini adalah Rumah Sakit yang tugasnya menampung bayi-bayi dan anak-anak yang tidak dikehendaki orangtuanya, atau yang tidak jelas dan orangtuanya tidak mau mengakui dan memelihara anak itu. Tentu saja saya samasekali tidak tahu, adakah saudara saya yang lainnya. Lalu bagaimana saya akan menuliskan karangan itu. Semuanya bagi saya serba gelap, tidak tahu, dari mana mau ke mana, untuk apa, mau mengapa. Saya ada di tengah teman-teman dan guru, itu saja", kata Flora. Dan dia terisak sedih lagi, dan siswa lainnya ada yang juga menitikkan airmata. Airmata sedih, dan airmata setiakawan. Di tengah cerita Flora itu, beberapa temannya memeluk Flora dengan sangat eratnya, menciuminya dengan sangat rasa kekeluargaannya. Kerubungan dalam kelas terhadap Flora menjadikan kelas itu penuh dengan rasa kesedihan, setiakawan dan keakraban.

Sejak itulah malah Flora merasa mengalami hidup baru. Semua temannya sangat baik kepadanya, yang tadinya ada terasa ragu-ragu, apakah akan diceritakannya semua hal-ihwalnya kepada temannya itu. Tetapi atas pendapat Nita dan Eva temannya yang sangat baik itu, dan juga beberapa teman lainnya, sebaiknyalah Flora menceritakan semua ini. Dan ternyata semua temannya berbuat lebih baik dan lebih dekat lagi kepada Flora. Dan sejak itulah Flora merasakan ternyata banyak saudara-saudaranya dari berbagai bangsa dan berbagai asal kelahiran dan berbagai agama. Dan gurunya mevrouw Bouman juga sangat baik kepadanya. Dulu sebelum kejadian ini, tak ada perasaan yang menonjol sedih yang dirasakan Flora, tetapi setelah ada ujian mengarang yang bertemakan kekeluargaan itu, tercukillah kesedihannya. Sakit dan sangat sedihnya. Tetapi setelah diceritakannya keadaan dirinya malah berbalik, dia merasa begitu banyak saudara-saudaranya. Dulu dia belum dapat bergaul rapat seperti sekarang ini. Kini rumah siapapun teman-temannya sekelas, dia bebas datang ke rumahnya, dan dia disambut hangat oleh semua temannya.

Dan dia merasakan, tidak usahlah lagi begitu bersedih hati seperti dulu itu, tokh sudah banyak temannya yang rela menjadi saudaranya sendiri, keluarganya sendiri. Dan semua teman sekelasnya itu benar-benar sudah begitu baik hati terhadap aku yang anak-negara ini, yang padahal negaraku itu malah tidak memperdulikan akan daku,- begitu Flora berpikir.-

Paris 16 Oktober 1999,-

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.