Bab 9 :
Di kalangan-dalam

Pada pertengahan tahun 80-an, baru beberapa tahun saja resto kami
berdiri, dan ketika aku bertugas service di sal, kulihat seseorang sudah
duduk di meja A 1, di pojok sendirian. Sedikit heran, jam-buka masih agak
lama, tetapi pelanggan yang satu ini sudah duduk sambil merokok. Aku tidak
tahu kapan dia masuk dan lalu duduk mengambil tempat, sedangkan dia tahu
bahwa resto belum buka. Resto kami buka pada jam 19, 30, dia datang mungkin
jam 19. °°.

Bisa saja terjadi, ketika dia datang tadi aku sedang di lantai 1, di kantor
membenahi kertas-taplak dan tissue. Memang selalu ada teman bertugas di bar
ketika jam-jam menjelang buka. Begitu aku masuk seorang teman di bar
mengatakan :
"Mon, itu ada teman mau ketemu kau", katanya sambil menunjuk ke meja A 1. Dan
ketika itulah aku melihatnya dan dia sambil tersenyum. Aku mendatanginya dan
duduk berhadapan. Orang ini kelihatannya ramah dan senyum sambil
mengulurkan tangannya dan kami bersalaman. Dia pegang tanganku erat. Aku
memperhatikannya agak lama. Dia tetap senyum dan seperti mau bertanya.
"Belum ingat benar, kan. Coba terka siapa saya. Lama sekali ya kita tidak
bertemu", sambil menjentikkan api rokoknya ke dalam asbak.
Agak dalam dan jauh aku mengingat. Lama-lama barulah aku ingat
samar-samar. Dan dia ngomong buat
memancing ingatanku.
"Ya, baru aku tahu, dan rasanya tak salah duga", kataku.
Lalu dia mencoretkan dua huruf di atas kertas taplak-meja itu. Tertulis MD.
"Ya, benar dan tepat", kataku sambil sekali lagi menyalaminya dan kami
berpelukan hangat, karena sudah hampir seperempat abad tidak bertemu. Dialah
Mohamad Djamal, temanku di Jakarta pada tahun awal 60-an. Dan juga pernah
satu kelas dengan isteriku alm, ketika masih sama-sama kursus belajar
tentang seni-budaya. Lalu kenangan demi kenangan melintas dan terkumpul.
Yang lama maupun yang baru. Yang lama rasanya cukup indah. Tetapi yang baru?
Yang baru beberapa tahun ini saja kuketahui?
Sambil berpikir dalam hati kami tetap ngobrol, ngalor-ngidul. Pertanyaan demi
pertanyaan. Tapi rasanya dari dia lebih banyak diajukan daripada aku
mengajukan terhadapnya.

Kutinggalkan dia sebentar. Dan aku pergi mendapatkan teman lain, sebab
tampaknya teman lain belum ada yang kenal padanya. Kubisikkan pada
teman-teman yang bertugas hari itu-, itulah dianya si Djamal itu. Semua teman
sudah tahu tentangnya, tetapi belum tahu siapa orangnya. Dan kini orang itu
ada dalam sarangnya orang-orang resto. Aku berpesan-dalam dan sangat agar
hati-hati dan tenang, menguasai diri dan tidak terprovokasi. Sebenarnya pesan
ini paling tepat harus ditujukan pada diriku sendiri. Jam-service sudah tak
lama lagi. Kami berusaha ramah dan sebagaimana menyambut tamu, selalu harus
senyum dan hangat.

Beberapa teman mendatanginya dan turut ngobrol. Aku harus siap-siap
service. Bagi teman yang tidak bertugas hari itu, bisa ngobrol panjang-lebar
dengannya. Dalam obrolan kami berdua tadi, dia banyak menanyakan tentang
keluargaku. Meninggalnya isteriku pada tahun 1980 di Beijing dia tahu
semua, lalu tentang anakku yang pernah belajar balet-opera dan pernah
mementaskan opera petikan Aida di sebuah gereja, juga dia tahu. Maka tambah
beratlah persangkaanku bahwa dia memang benar petugas buat yang satu itu.
Dan tambah bingung aku dibuatnya, secara tiba-tiba malam itu juga dia mau
menginap di rumahku. Kukatakan jangan malam ini, tapi malam besok
boleh, karena aku harus punya persiapan, jangan mendadak begitu. Kelihatannya
dia tidak begitu senang.

Karena aku harus segera menghadapi kedatangan pelanggan lain, tamu-tamu kami
yang setia selalu makan di "warung" kami ini, maka aku tak dapat ngobrol
terus-menerus dengannya. Tetapi di selang-seling sana-sini, aku turut
nyambung atau tanya yang perlu saja. Dia menanyakan mengapa kami tak ada
yang mau pulang ke Indonesia. Kami katakan sekarang ini belum mungkin. Dia
katakan lagi, kenapa tidak mungkin, dia siap menjadi penghubung buat mencari
sponsor penanggungjawab kepulangan kami, bahkan dia sendiri siap
menguruskannya. Pada pokoknya semua teman menguasai masalah pulang
ini. Dapat kami pastikan sebenarnya kami lebih tahu dari dia kalau soal
pulang. Sebab masalah ini adalah masalah
jiwa, hidup-matinya kami dan keluarga kami.
"Ya, saya siap buat itu. Menghubungi pejabat atau instansi tertentu. Saya
sendiri siap membantu, asal teman-teman benar-benar mau pulang", katanya
menekankan dirinya-sendiri.
"Begini, Mal", kataku nyeletuk.
"Soal pulang bukanlah soal gampang. Tidak ada satupun orang atau pejabat
yang bisa menjamin keamanan kami buat pulang tanpa persoalan. Bahkan
wakil-presiden Adam Malik-pun tidak bisa dan tidak mampu menjamin seseorang
di antara kami buat pulang. Dan ini pengalaman yang pernah dialami
seseorang. Dan kami sudah melihat buktinya", kataku.
"Jadi siapa menurutmu"?
"Soal pulang adalah persoalan militer! Semua persoalan tidak mungkin beres
dan bisa berjalan lancar kalau tidak melalui Bakin atau Kopkamtib. Pihak
militerlah yang paling berkuasa dan paling menentukan semua persoalan di
Indonesia, termasuk kepulangan pelarian politik, dan apalagi bagi pelarian
politik. Kurang apa seorang wakil-presiden seperti Adam-Malik dan tokh dia
samasekali tidak berkuasa apa-apa. Jelas sekarang ini tidak mungkin kami
pulang dengan aman dan lancar. Samasekali tidak ada jaminan", kataku
menjelaskan.

Kelihatan Djamal agak terdiam. Mungkin dia tidak mengira bahwa kami
sebenarnya cukup paham me-
ngenai masalah pulang dan masalah kami sendiri. Dalam pada itu teman lain
menambahkan bagaimana besar dan kuatnya serta mencengkamnya kekuasaan
militer di Indonesia. Suasana jadi berbalik. Tadinya dia yang merasakan
kira-kira bisa memberikan penerangan dan penjelasan serta harapan buat
pulang. Tetapi pada akhirnya dialah yang mendapatkan penjelasan lebih
terperinci mengenai masalah pulang.

Tampak sekali bahwa Djamal mendapatkan pengetahuan tentang kami sangat
minim. Dan tahu-tahu pada bincang-berbincang tadi itu, seakan dia
mendapatkan "kursus gratis" dari beberapa teman. Belum lagi dia tahu banyak
bahwa kami sudah lama tahu siapa dia, apa kerjanya selama ini. Bahkan dari
keterangan beberapa teman yang dulu " di dalam", Djamal disamping
tukangtunjuk, juga langsung menjadi tukanggebuk. Dan ini banyak dialami
teman-teman sendiri. Banyak teman-teman heran, mengapa Djamal masih tetap
selamat sampai kini.

Sambil bekerja, aku terus berpikir, aneh sangat aneh Djamal ini. Baru pada
hari pertama pertemuan yang belum lagi satu jam, sudah mengharapkan agar
diajak menginap di rumah. Mana mungkin. Ini kan serangan mendadak. Dan kerja
kaum yang begituan memang selalu mendadak, agar kita tak punya
persiapan, agar dia bisa menangkap-basah kita. Ada apa di rumah kita, ada apa
dengan diri kita, apa dan di mana saja hubungan dan "jaringan serta sel"
kita. Semua mereka mau tahu. Ini sangat penting bagi mereka. Sebab dari hasil
laporan itulah usaha pekerjaan mencari-makan, mencari sesuap-nasi bagi
mereka. Mereka bisa makan, tapi kita di tahan dan dapat gebukan, lalu di
penjara untuk tidak kembali dan tidak pernah di ajukan ke pengadilan.

Ketika aku sedang sibuk karena pelanggan sudah mulai berdatangan, dan
beberapa teman juga terpaksa harus turuntangan, maka beberapa menit Djamal
ditinggalkan dengan pesan, tunggu sebentar nanti obrolan dilanjutkan, tokh
ada teman-teman lain yang sebenarnya sedang libur. Tapi betapa kami
terkejut dan terheran-heran, kami lihat di kursi-meja A 1 sudah tak ada lagi
Djamal. Kami tidak tahu kapan persisnya dia keluar dan samasekali tak pula
pamitan dan minta-diri atau permisi. Kami tunggu barangkan beberapa menit
atau satu dua jam malah! Namun Djamal tak datang, tak muncul. Sampai keesokan
harinya juga tak muncul dan tak ada beritanya. Dia menghilang begitu
saja. Dia datang dengan tiba-tiba tanpa memberitahukan sebelumnya, dan dia
menghilang tanpa permisi dan pamitan. Kami semua berpikir dengan berbagai
macam persangkaan. Tapi ada satu hal yang kami sama-sama berpendapat
satu, bahwa Djamal samasekali tidak mengira bahwa kami sebenarnya sudah lama
tahu tentang dirinya. Dan Djamal samasekali tidak mengira bahwa
"pengetahuan" kami tentang "selukbeluk" pulang cukup memadai dan
menguasai. Dan "misi" Djamal kelihatannya gagal dan ketahuan arah
gerak-jurusnya kalau diibaratkan jurus-silat.

Dan sejak kejadian itulah yang banyak diketahui teman-teman di
Eropa, mengapa membiarkan Djamal lolos. Dan aku yang paling banyak mendapat
pertanyaan, bagaimana cerita yang sesungguhnya, bagaimana hubungan
kait-mengaitnya dengan Djamal, apa tali-temalinya. Semua ini kupahami, karena
begitulah benci-geramnya teman-teman mendengar dan mengetahui Djamal yang
jadi tukangtunjuk dan tukanggebuk itu. Dan aku juga harus menjelaskan bahwa
tak ada masalah mengapa Djamal dibiarkan lolos. Lalu harus
diapakan, memangnya kita ini tukangtangkap dan tukangtahan seperti pekerjaan
Djamal itu? Jangan sampai beralih pekerjaan. Djamal itu hanyalah sebutir
pasir yang mungkin sangat halusnya di antara batu-batu kerikil dan batu
gunung yang harus kita lapangkan buat membangun persawahan dan perkebunan
kita nantinya.

1 Maret 99

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.