Bab 8 :
Dialog di pagi-buta

Ketika resto kami baru saja berdiri, akhir tahun 1982 dan pada awal
1983, banyak sekali peristiwa yang bagiku sangat menegangkan dan menakutkan.
Hidup selalu berkutat dengan kengerian. Tidak ada ketenangan. Sudah capek
dan lelah bekerja, katakanlah berjuang buat hidup, buat cari makan, masih juga
dikelilingi segala macam ancaman dan intrig.

Ketika kami masih sibuk mengecat dan memperbaiki kerusakan kecil resto kami
bagian dalamnya, tahu-tahu datang serombongan polisi. Masuk langsung dan
menanyakan mana responsable resto, penanggungjawab resto. Waktu itu
organisasai kami betul-betul belum begitu rapi. Jadi Pak Markam yang kami
anggap sesepuh kami, dan yang memang tertua di antara kami, dan juga dapat
dikatakan orang pertama punya gagasan dalam mendirikan resto, kami tunjuk
saja sebagai penanggungjawab. Polisi menanyakan apakah kami mengadakan
"rapat-gelap" dan mau mengadakan "kekacauan-politik". Pertanyaan dan
"pemeriksaan" polisi itu menjadikan kami malah bertanya-tanya kembali.
Apanya yang rapat-gelap dan apanya yang mau mengadakan kekacauan-politik.
Kami tunjukkan pekerjaan kami, yang ketika itu sedang kami lakukan. Ada
teman-teman yang sedang mengecat, ada yang sedang membersihkan perabot resto
seperti kuali yang beratnya saja lebih 20 kg, ada yang sedang membersihkan
piring-mangkuk. Ada yang sedang membongkar dinding yang sudah tua, rusak, buat
diganti dengan yang agak baru.

Lalu rombongan polisi itu memeriksa ke seluruh bagian ruangan dan kantor
kami yang di atas, di lantai satu. Kami persilahkan mereka melakukan
kewajibannya atas nama negara dan tugasnya. Melihat kami dengan terbuka dan
seadanya, dan menjawab pertanyaan apa saja yang diminta kejelasan, mereka
malah semua berwajah simpatik. Malah suasana menjadi ramai tertawa dan
sedikit gurau. Bahkan pada akhir pemeriksaan, kami diminta agar melaporkan
kepada bagian kepolisian di daerah kami, arrondisement 6 kota Paris, di mana
resto kami tercatat sebagai resto koperasi, bukan resto biasa. Resto
berbentuk koperasi ketika itu paling banyak hanya 3 atau 4 di seluruh kota
Paris di antara ratusan resto yang ada.
Kami sangat heran dengan kedatangan polisi begitu mendadak. Dan lebih heran
lagi setelah mereka memeriksa seluruh bagian ruangan dan perorangan
kami, malah susana jadi ramah dan hangat. Bahkan masih sempat berpesan agar
kalau ada apa-apa harap melaporkan dengan segera. Artinya kalau dari segi
ahasa hukum, yang tadinya bisa dianggap tersangka atau yang dicurigai, lalu
menjadi dapat perlindungan. Dan ini sangat jarang terjadi. Ada apa? Dan
mengapa?

Belakangan setelah kami juga "kasak-kusuk dan cari-cari keterangan" maka
tahulah kami. Dulu itu mereka
mendapat laporan dari ambassade, KBRI, bahwa di resto kami ada gerakan
politik, ada gerakan "rapat-gelap".
Dan mengadakan "rapat-gelap" dan mau mengadakan "kekacauan-politik". Maka
semua kami dengan menarik nafas panjang. . . . . . . . Oooo itu tokh
asal-muasalnya. Itu sih biasa dan akan banyak lagi kami alami, agar setiap
teman, terutama yang "resmi dan ditonjolkan" siap menghadapi segala
kemungkinan.

Tidak semua teman yang bekerja dan pegawai kami yang bisa kami ajukan "ke
depan". Ini demi melindungi teman-teman. Sedangkan yang "resmi dan
ditonjolkan" memang hanya dua orang. Dan dua orang ini karena sudah terlalu
banyak diketahui dan "masuk pelbagai media", jadi kepalang tanggung sudah
basah, berbasah-basahlah. Dan dua orang itu, selain Pak Markam, lalu aku
sendiri.

Akibat semua ini, ada akibat lain yang menimpa kami berdua, timbulnya
berbagai intrig dan ancaman. Dan kami siap dan harus siap menghadapi semua
itu. Tentu saja disamping kesiapan dengan segala selukbeluknya, ada rasa
takut, rasa ngeri. Kalau dipikir-pikir, orang mau hidup cari makan saja kok
susahnya. Keluarga sudah 60 persen
dibunuhi, dipenjara, disiksa, dihina, dipermalukan, dan kini tedampar di negeri
asing;masih saja tetap ada yang menguntit.

Baru saja pulang dari resto ketika berdinas malam, dan sampai di rumah sudah
lewat jam 24. °°Tahu-tahu ada tilpun, baru mau diangkat lalu diputus oleh
pihak sana. Baru mulai terlelap tidur, jam 02.00, ada lagi tilpun. Bunyi
tilpun malam larut begini, pastilah bukan hal baik.
"Hallo, dengar baik-baik ya. Allahhu Akbar, Allahhu Akbar. Kami dari Komando
Jihad. Kamu akan kami ambil, siap pisah dengan kamu punya keluarga dan
restoran itu!".
Lalu tilpun dimatikan mendadak. Nah, kini mulailah pergulatan intrig dan
ancaman itu. Hari dan pagi itu aku tak bisa tidur. Pikiran tidak tenang. Tentu
saja takut dan ngeri. Nama Komando Jihad saja sudah bisa membuat bulu roma
berdiri. Komando Jihad, semua juga tahu, sejenis gerakan pembunuhan, gerakan
terorisme. Kalau di Timur Tengah gerakan ini berkeliaran, dan pekerjaannya
memang "menyelesaikan orang per orang" untuk dikirim ke balikpapan atau
sukabumi. Dan mengapa ada rasa takut begini? Karena gerakan ini bukan
dengan terang-terangan dan jelas, tapi gelap dan sembunyi-sembunyi, tahu-tahu
dorr, atau ples dengan tusukan, atau tubrukan kendaraan atau ada orang yang
menolakkan ke tengah rel jalan kereta ketika kereta persis mau lewat. Kita
tidak tahu di mana musuh berada, kapan, ketika sedang apa dan mengapa. Semua
serba gelap. Inilah yang membuat rasa takut dan ngeri.

Dua tiga hari sesudah itu ada lagi tilpun begituan. Mau
dimatikan, jangan-jangan nanti ada yang memang mau menilpun secara baik, atau
ada tilpun dari Jakarta, atau tempat lain, dari Belanda, Jerman dan
lainnya. Dan hal ini pernah terjadi juga, jadi kuputuskan biarkan tilpun
tidak usah dimatikan. Hanya sudah tentu sangat terganggu. Isi tilpunnya
masih tetap sama. Ancaman.

"Hallo, hallo. . . . . . kami dari Komando Jihad. Allahu Akbar, Allahhu Akbar. Besok
lusa kamu harus kami ki-
rim ke neraka. Kami sudah tahu arah perjalanan kamu. Kami sudah tahu
gerak-gerik kamu", - dan plok tilpun diletakkan tiba-tiba.

Kulaporkan semua kejadian ini kepada Pascal, direktur resto kami. Dan Pascal
meyakinkanku agar jangan terlalu takut. Kalau kita takut, dia akan lebih
berani dan kurangajar. Kalau kita takut artinya dia sudah setengah sukses
dan berhasil menjalankan intrignya. Kupikir benar juga kata Pascal itu. Dan
teringat aku ketika bagaimana Pascal "mencairkan" ancaman beberapa jagoan
yang datang ke resto kami mengajak "kerja-sama" dulu itu(di INTEL 7).

Namun bagaimanapun tetap saja ada rasa takut dan ngeri itu. Tadinya ada
maksudku membawa golok, lalu kampak, lalu pisau saja, lalu gas-airmata
berbentuk tabung. Semua ini dalam rangka membela diri. Tetapi lama
kupikir, dan akhirnya tak satupun yang kubawa. Yang kubawa hanyalah keyakinan
diri dan doa, minta kepada Tuhan, agar aku dilindungi. Aku dengan jujur cari
makan, cari kehidupan, keberadaanku di tanah asing ini justru melarikan diri
dari tangkapan dan penyiksaan. Aku seorang pelarian politik, mengapa pula
harus diintrig diancam dan mau dibunuh.

Kalau ke luar rumah, selalu saja sebentar-sebentar melihat ke belakang. Ada
seseorang yang agak melihat lama kepada kita, lalu dicurigai, jangan-jangan
dialah Komando Jihad. Begitu turun dari metro atau naik
metro, bis, kereta, selalu waspada, curiga. Seakan-akan selalu ada orang
mengikuti diri kita. Dan kita samasekali tidak tenang. Yang kukuatirkan kalau
terus takut begini lama-lama akan menyerang saraf, lalu senewen dan
gila. Padahal belum tentu apa yang menamakan dirinya itu Komando Jihad itu
benar-benar ada dan mau melaksanakan apa yang dikatakannya. Tetapi cara
berpikir begini biasanya belum mendominasi, yang mengental yalah rasa takut
dan ngeri. Pascal sudah memberikan senjata berpikir, dan juga Pascal
pastilah ada juga kekuatiran kalau benar-benar anak-buahnya dimusnahkan
secara teror.

Suatu malam ada lagi tilpun itu.
"Hei si kafir, si komunis, dengar ini. Kami dari Komando Jihad. Kamu akan kami
ambil pada hari Sabtu besok. Akan kami bungkus dalam karung, diikat lalu
dihanyutkan ke laut. Dengar?!"
"Hallo, hallo, saya dengar kamu, selalu dengar kamu. Tapi kini saya mau
bicara. Kamu jangan jadi pengecut ya!"
"Kurangajar, tahi-babi si komunis kamu ini. Berani bilang pengecut!".
"Kalau tidak mau dibilang pengecut, dengar saya bicara. Kamu hanya mau bicara
tapi tidak mau dengar
orang lain bicara, ini kan pengecut!". Lama terdiam tapi tilpun tetap
online. Aku berusaha benar agar dalam setiap kataku harus diucapkan mantap
dan harus tenang dan berani. Okh, inilah pengalamanku, bila seseorang
rasa-takutnya mungkin sudah melewati batas, lalu berubah menjadi
beraninyaluarbiasa, mungkin juga nekad dan mau habis-habisan.

"Saya tahu benar siapa kamu. Kamu juga harus tahu, jangan dikira orang yang
mau kamu jadikan korban selalu dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Orang
yang dalam keadaan siap perang, siap tempur, selalu punya banyak jalan. Jadi
ketahuilah, siapa tahu sebelum kamu membunuh saya, kamu dulu yang saya
dahului. Mungkin tidak melalui tangan saya. Tapi yang sudah pasti saya sangat
banyak teman, dari berbagai bangsa. Okey, teruskanlah kamu mengancam. Tapi
ketahuilah, kamu punya seruan Allahu Akbar berkali-kali itu tidak akan
direstui Allah! Allah itu selalu akan melindungi orang yang benar dan
jujur. Dan sebelum kamu menetakkan senjata kamu kepada saya, berpikirlah
panjang. Karena kamu sudah mulai, maka pertempuran ini harus selesai! Mata
kamu mungkin tidak sebanyak mata saya, teman-teman saya. Kini kamu saya
hadapi secara jantan. Karena kamu sudah mulai, saya bikin harus sampai!
Mengerti kamu?!".

Sekarang saya siap mendengarkan lagi ocehan ancamannya. Saya diamkan dia
mau bilang apa. Tetapi heran dan heran, lalu tilpun di pihak sana
diletakkan. Dan aku tidak lagi mendengarkan ancamannya itu. Aku yang terakhir
meletakkan tilpun. Sekarang aku bingung. Darimana aku dapat kekuatan
itu?Darimana aku dapat keberanian mengucapkan kata-kata tersebut? Dan aku
mulai ada rasa harga-diri, sebagai orang yang diancam terus-terusan sudah
waktunya menegakkan kepala. Segala resikonya memang harus
ditanggung, bukankah keberanian itu juga memerlukan pengorbanan. Puluhan
keluargaku dipancung, dipenjara, disiksa, dihina, dipermalukan. Ratusan dan
ribuan teman-temanku mengalami ini semua. Lalu aku? Takut? Hilang takut
timbul berani. Daripada mati ketakutan akan jauh lebih baik mati karena
berlawan, jangan lagi mau dihina dan dipermalukan. Hanya inilah keberanianku
mengucapkan kata-kata itu. Dan sejak hari terakhir "kami berdialog" di
pagi-buta itu, menjelang subuh, tilpun sejenis demikian sudah tidak terdengar
lagi. -

28 Februari 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.