Bab 6

Aku punya teman akrab, namanya Mahmud. Sepanjang kehidupanku, bergaul dengan
teman yang dirasakan paling akrab, memang hanyalah dengan Mahmud ini. Dari
sejak kecil, sejak di SD kami sudah selalu bersama-sama. Dan ketika
melanjutkan sekolah ke Jakarta dari kampung kami Belitung, juga kami berdua.
Hanya berdua yang pada pokoknya belum pernah ke mana-mana, masih sangat
kampungan. Waktu itu tahun 1948.

Sesampainya di Jakarta kami hidup di sebuah kamar yang tidak besar. Tetapi
penghuninya kalau lengkap berdatangan, bisa sampai 6 sampai 7 orang.
Abangku, Mahmud ini, lalu Chairil, terkadang Pai, atau Rivai Apin dan beberapa
teman yang kebetulan menginap tak tetap.

Dari sejak SD aku sudah suka membaca buku atau majalah yang ada sangkut
pautnya dengan sastra dan budaya. Dan pertama kali mengarang ketika di SD
kelas 5, waktu umur menjelang 13. Kelas 5-nya "sudah tua", sebab terhenti
waktu Jepang beberapa tahun tak sekolah. Rasanya bukan main melambung
tingginya ketika karangan kita pertama kali dimuat. Padahal aku masih ingat
betul ketika itu, aku mengirimkan karangan itu ditulis dengan pena kuno. Dan
ya kok mau-maunya redaktur majalah WAKTU yang di Medan itu
memuatnya. Padahal tulisan tanganku bukan main jeleknya. Ketika itu mana
pula ada mesintik, dan kalaupun ada, manapula bisa!

Teman sekamar kami yang bernama Chairil ini memang agak aneh orangnya.
Badannya kurus, matanya merah, pembawaannya kasar, kalau ketawa ngakak keras
sekali. Rambutnya tak pernah disisir rapi, berpakaian sangat sederhana. Tetapi
daya bacanya luar biasa. Dia teman abangku. Diam-diam Chairil ini sering juga
memperhatikan dan mengawasiku. Dan kami jadi berkenalan lebih akrab, walaupun
ketika itu aku baru kelas satu SMP. Dia tahu bahwa aku suka bikin puisi
atau cerita. Dan makin tertariklah dia setelah membaca beberapa sajakku. Dan
ada yang bahkan diambilnya untuk ditunjukkan pada temannya yang katanya
bernama Jassin, yang pada akhirnya tahu juga aku, bahwa ternyata Chairil
inilah yang dikatakan orang Chairil Anwar pelopor Angkatan 45 itu. Dan
Jassin yang gemuk-padat dan pendek itulah yang digelari Gayus
Siagian, seorang Paus Sastra itu, HB Jassin. Akhirnya aku banyak mengenal
orang-orang ini yang selalu ke rumah kami. Temanku yang akrab Mahmud tetap
bersama kami.

Suatu kali pernah datang seorang serdadu Belanda membawa sten, senjata
lengkapnya. Ngeri juga kami dibuatnya. Tapi dia ini termasuk temannya Chairil
dan abangku. Ketika itu belum populer sebutan intel, tapi lebih menarik
sebutan informan, dan nefis(Netherlands Expeditionary Forces Intelligence
Service), badan mata-mata Belanda. Tapi semua teman-temannya pada ramah dan
serdadu itupun ramah dan kelihatannya tak ada wajah ketakutan atau merasa
asing. Mereka seperti berteman sudah lama. Belakangan barulah kami tahu bahwa
serdadu itu adalah "serdadu baik", yang sampai kinipun masih ada dan
terkenal dengan perjuangan hak-hak azasi manusianya-, dialah JC Princen. -
Kami kenal dan datang ke tempat kami, yang ketika itu kami masih belum
meninggalkan dunia kanak-kanaknya. Semua kejadian dan peristiwa ini kami
berdua Mahmud mengalaminya sama-sama. Semua peristiwa ini terjadi pada tahun
1948 dan 1949, sebelum meninggalnya Chairil tahun itu juga.

Oleh sebab banyak hal dan peristiwa selanjutnya, maka kami berpisah dengan
Mahmud. Rupanya perpisahan ini sangat membekas pada kami berdua dan terutama
padaku. Sangat terasa aku punya andil dosa sangat besar pada Mahmud ini. Aku
pernah juga merasakan dosaku terhadap Mahmud ini bukan main pada akhirnya
membuat Mahmud sangat menderita. Dari pergaulan kami yang
bertahun-tahun, sudah barangtentu ada saling keterpengaruhan, saling
kedekatan. Mahmud condong ke gerakan revolusioner, dan karena dia sudah
sarjana dan bergerak dalam bidang kesarjanaan, maka dia menjadi anggota
HSI(Himpunan Sarjana Indonesia), - sudah tentu aku sangat gembira mendengar
kabar ini. Ini hanya kabar, mengapa kukatakan kabar, karena aku sudah pindah
ke Beijing pada tahun 1963. Itulah yang kusebutkan perpisahan tadi. Mengapa
aku merasa berdosa kepada Mahmud?

Ada terasa padaku bahwa Mahmud yang pada akhirnya "terbawa-bawa" ke gerakan
kiri ini, bukankah karena saling pengaruh dan kedekatan antara kami selama
itu? Banyak diskusi, berdebat, bahkan bertengkar, tukar pengalaman, informasi
dan saling belajar memecahkan persoalan secara
dialektika, dialektis-materialis. Dan bukankah Mahmud pada akhirnya masuk
gerakan kiri? Yang kukatakan ada "terasa dosa" itu yalah, baru saja Mahmud
mau berkecimpung dalam gerakan, tahu-tahu terjadilah
peristiwa-sejarah-nasional itu. Dan Mahmud tinggal diciduk. Dia kena duabelas
tahun ngendon di beberapa penjara dan rumahtahanan di Jakarta. Ketika kami
ketemu tahun 1993, kami pada cerita dan Mahmud sempat cerita
padaku, sebenarnya betapa dia inginnya ke Pulau Buru itu bersama begitu
banyak temannya. Tetapi sudah tentu soal pindah-memindah tapol bukan urusan
mau atau tidak mau, suka atau tidak suka.

Pada bagian lain sudah kuceritakan tentang Paman Johari. Inilah abang
Mahmud. Kena 8 tahun karena ke mana-mana bercerita dengan senang dan
bangganya bahwa dia juga adalah temannya Bang Amat, satu sekolah bahkan satu
kelas. Ketika peristiwa itu, Paman Johari kena 8 tahun hanya karena dan
semata-mata cerita itu saja, bukan ikut politik, bukan punya partai dan ikut
partai tertentu. Mendengar cerita Mahmud dan Paman Johari ini, rasanya hati
ini bagaikan diiris-iris. Luar biasa siksaan dan penderitaan yang mereka
alami.

Begitu dekatnya dan akrabnya aku dengan Mahmud, nama itu
kuabadikan, kucantumkan sebagai nama samaranku dalam karangan. Untung aku
punya catatan tentang nama samaran. Aku pernah dan punya nama samaran
sebanyak 25 buah. Di antaranya yang paling sering kupakai yalah nama Mahmud
ini. Pada suatu majalalah Belanda Feiten en Meningen, sebuah puisiku yang
bergandengan dengan Mas Willy, Rendra, kami berdua mengisi ruangan sastranya.
Belasan tahun, sesudah itu, aku ketemu Mas Wil, dan kuceritakan tentang
ini. Mas Wil, berkata : "lho kenapa kau pakai nama samaran, ngapain nama
samaran!",
katanya.
"Kalau pakai nama betul lalu siapa yang mau dan berani memuat. Kau tokh tahu
aku ini siapa, dianggap kayak penjahat atau punya penyakit menular yang
sangat berbahaya saja". Lalu dia diam dan agak lama barulah mengerti.

Punya nama samaran yang begitu banyak, kalau tak dicatat maka akan mudah
lupa, atau bahkan mungkin tidak akan ingat nama-nama itu. Memang yang paling
banyak kugunakan selama di perantauan itu adalah nama Mahmud(sorry, inipun
juga masih disamarkan!!).

Setiap aku pulang mudik ke tanahair, katakanlah ke Jakarta, aku selalu
menemui teman akrabku Mahmud. Dan kami kalau masing-masing sempat, selalu
berdua, dan mangkalnya di rumah Joebaar. Ngobrol, diskusi, tanya-jawab dan
saling cerita. Bisa dipahami, betapa aku merasa sangat kehilangan setelah
Ajoeb meninggal, sangat terpukul, menyedihkan.

Ada keherananku yang lama sekali kupendam. Dalam pada itu mengapa teman
akrabku Mahmud ini tak pernah mengajakku ke rumahnya. Padahal kami sangat
dekat dan akrab. Sangat aneh kalau orang lain tahu
bahwa antara aku dan Mahmud yang begitu dekat dan akrab tetapi Mahmud tak
pernah mengajakku bertandang ke rumahnya. Kalau kami bertemu selalu di
rumah penumpanganku, di rumah ponakanku yang sebenarnya tak jauh dari rumah
Mahmud, masih sama-sama Jakarta Timur.

Karena keterpaksaan ketika aku menjemput Mahmud di rumahnya ketika bermobil
dengan ponakanku, tahu juga aku rumahnya yang dekat komplek IKIP. Tapi ketika
itu Mahmud tak menwarkan agar singgah, mampir dulu. Kelihatannya dia sengaja
agak menghindar buat mengajakku mampir di rumahnya. Setelah dia menceritakan
tentang semua ini, karena kutanyakan terusterang, mengapa dia tidak pernah
mengajakku ke rumahnya. Bukan main luas dan besarnya penderitaan Mahmud
ini. Belum lama ini dia dipecat dari tempat pekerjaannya yang dulunya
sebagai dosen di universitas Untag. Karena tidak bersih lingkungan, karena
dia pernah jadi tapol selama belasan tahun. Istrinya juga dosen di
IKIP, tetapi sudah tentu tidak tenang juga, karena bukankah dia adalah istri
seorang bekas tapol? Tetapi juga ada kemungkinan karena "bantuan dan
pertolongan atau berkat" dua adiknya, yaitu ipar Mahmud. Lalu ada apa
hubungannya?

Suatu ketika Mahmud pernah cerita.
"Jadi tahulah kau sekarang kalau aku tidak menawarimu datang berkunjung ke
rumahku kan? Dua iparku itu bekerja di bagian intel, yang kerjanya kan kau
tahu sendiri. Memang sampai kini tidak atau belum membahayakan, tapi kan
siapa tahu selanjutnya akan lain. Atau karena terdesak bisa saja menjual
secara ketengen informasi asal-asalan, atau laporan palsu".
"Tapi kalaupun dia mau mengintelimu, lalu apanya lagi sih. Kau kan bekas
tapol belasan tahun di penjara, lalu istrimu itu adalah kakaknya sendiri
kan!".
"Ya itu dari segi lain. Justru yang kukuatirkan adalah kau, bukan aku. Aku
jelas golongannya, memang nyata bekas tapol, dan istriku adalah kakak
kandungnya. Tetapi sebenarnya dalam hal-hal tertentu kalau sudah terdesak
dan terpaksa, mana ada kandungan kata keluarga, sedarah dan sekandung segala
macam. Kan kau tahu RI ini, sudah tak tentu arah, selalu mungkin, selalu bisa
terjadi", kata Mahmud. Dan sekali ini ada keanehan. Aku yang dulu takut-takut
saja pada intel ini, merasa ciut di depan intel, malah kini rasanya mau
sekali bertemu dan ngobrol dengannya. Dulu malah intel yang lebih lihay dan
cukup bahaya ketika kami dikatakan "kebobolan" itu. (lihat INTEL 5).

Tetapi aku tidak mendesak Mahmud bahwa aku mau datang dan berkunjung ke
rumahnya hanya mau bertemu dan ngobrol dengan dua intel yang iparnya
sendiri itu. Sudahlah jangan pula diperpanjang penderitaan Mahmud yang
memang sudah sangat panjang dan lama ini. Sudah cukuplah kau membikin
menderita Mahmud, kataku sendiri menasehati diri. Dosamu kan sudah cukup
besar, mengapa pula mau bikin dosa baru!, kataku lagi. Berharap dan berdoalah
agar Mahmud selalu tenang, aman dan hidup sejahtera.

25 Februari 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.