Bab 5

Masarakat Indonesia di Paris tidak banyak. Apalagi ketika awal tahun 80-an.
Sebenarnya bukan hanya di
Paris saja, bahkan seluruh Perancis. Kalau dihitung perjiwa, semua orang
Indonesia di seluruh Perancis, dengan bayi dan orang-orang tua
sekaligus, paling banyak 1000-an orang. Pernah kami berpendapat bahwa orang
Indonesia di seluruh Perancis lebih sedikt dari orang Indonesia di kota
kecil di Holland, misalnya saja dibandingkan dengan di Woerden, atau Utrecht.

Kalau dibandingkan dengan Holland, orang Indonesia di Holland itu sudah
bagaikan "kampung Melayu". Di mana-mana kita akan menemui orang
Indonesia. Maksudnya orang yang bisa berbahasa Indonesia, atau asalnya
Indonesia, atau keturunan Indonesia. Soal warganegaranya sudah tentu banyak
yang sudah menjadi warganegara Belanda. Di jalanan, pertokoan, pasar, stasiun
kereta, atau di mana saja kita mudah menemukan orang Indonesia. Bahkan
terkadang tidak hanya kita dengar mereka berbahasa Indonesia, malah
berbahasa Jawa yang berat dan medok, dan terkadang kita lupa bahwa hal ini
terjadi di bagian benua Eropa yang bernama Holland.

Tidak demikian halnya di Paris atau Perancis. Orang Indonesianya sangat
sedikit dan kita akan sangat jarang bertemu dengan orang Indonesia. Sering
kami bercerita bahwa selama Retoran kami berdiri sejak tanggal 14 Desember
1982 di Paris, sampai detik ini tanggal 24 Februari 1999, tamu kami orang
Indonesia sangat jarang. Bahkan terkadang dalam satu minggu tak seorangpun
orang Indonesianya. Tamu kami, yang menjadi client atau pelanggan kami memang
pada umumnya orang bule, orang Eropa atau Amerika, Kanada dan yang lainnya.

Karena itu bisa dipahami kalau kami merasa "sangat haus" bergaul dan
bertemu dengan orang Indonesia. Biar bagaimanapun ada pengaruh sejarah
lama, sejarah-gelap bangsa. Tidak usah kami sembunyikan, bahwa pada suatu
waktu pernah Kedutaan di kota kami mengedarkan surat seruan, atau
himbauan, mungkin juga instruksi, agar janganlah mengunjungi atau makan di
restoran kami, Restoran Indonesia. Karena apa, apa pula pasalnya? Karena resto
kami dianggap resto orang kiri, resto berbau komunis, musuh negara, resto
"kaum pelarian" politik, demikian kata mereka. Kalau tak salah
"seruan, himbauan atau instruksi" itu ketika zamannya Menlunya masih Mochtar
Kusumaatmadja.

Tetapi ya tentu saja seruan dan himbauan itu bagaimana mengontrolnya. Soal
resto, soal makan, kan soal perut dan selera, bukan soal politik atau musuh
negara. Diam-diam tak sedikit yang "melanggar" seruan dan himbauan itu.
Baik dari pegawai atau yang ada sangkut pautnya dengan Ambassad maupun para
warganegara biasa atau misalnya para mahasiswa. Dan mereka tetap saja ada
yang datang sekali-sekali
walaupun sangat jarang. Maka berlakulah tahu sama tahu. Mereka tahu kami dan
kami tahu mereka. Kami ngomong, berkelakar biasa, dan kamipun
bersenda-gurau. Bahkan bukan hanya itu, kamipun tahu juga bahwa yang datang
makan dan yang bersama mereka itu ada juga yang "merangkap pengawas dan
pengamat atau pelapor". Bahasa profesinya yalah intel. Tapi kan siapa tahu
dan bisa menentukan bahwa seseorang itu pasti adalah intel. Seperti halnya
buah duren, siapa tahu isinya di dalam, tebal atau tipis, kuning-tembaga atau
putih-susu. Kata orang, sebelum jadi intel kan magang dulu. Mungkin mula-mula
menjadi pelapor amatiran, lalu jadi informan, lalu meningkat lagi jadi
intel. Dan mungkin lebih tinggi lagi lalu jadi mata-mata, bahasa profesinya :
spion. Spionage istilah bagusnya.

Kami sebagai pihak pengelola resto sesuai dengan fungsinya dan lagi
berfilsafatkan secara universalnya, pembeli dan pelanggan itu adalah
raja, maka kami harus meladeni mereka dengan baik, dengan ramah, dengan
seharusnya menyenangkan pembeli dan pelanggan. Tidak boleh si A harus
diladeni lebih dari si B, karena si A pro kita, sedangkan si B anti kita. Kami
pada umumnya "dipersenjatai" filsafat semacam itu. Secara sarkastisnya, kami
pegawai dan pengelola resto sebenarnya hidupnya tergantung pada isi kantong
pelanggan!! Karena itu harus bekerja dengan baik, ramah dan murah
senyum, meladeni pelanggan dengan hangat. Semua perilaku sedapat mungkin
menyenangkan pelanggan dan pembeli, baik yang lama maupun yang baru.

Bila datang orang Indonesia ke tempat kami atau
bertemu-muka, ngobrol, cerita-cerita, bukan main kami senangnya. Tadi sudah
dikatakan, kami haus akan pergaulan dan pertemuan dengan orang Indonesia
itu. Kalau ada yang mau menginap di rumah kami dan mau menumpang barangkan
beberapa malam, wah, senangnya hati ini. Rasanya suatu penghargaan yang sangat
mahal dan sangat jarang kami dapatkan. Sering teman-teman kami menginap di
tempat kami atau di beberapa tempat teman-teman yang lain. Baik dari
Indonesia maupun yang berdatangan dari Eropa lainnya. Bahkan pernah dari
"ujung dunia" Selandia Baru dan Australia.

Akan lebih dan tambah meriah pembicaran dan kehangatan kalau yang datang
itu lebih spesifik. Maksud spesifik di sini yalah yang bukan biasa. Misalnya
tamu kami yang dari Timor Timur, atau Irian Barat atau
dari "ujung dunia" itu tadi.

Ada beberapa tamu kami dari daerah ini. Seorang yang bernama Lukas, dari
keterangannya, dia berasal dari Timor Timur. Orangnya sangat ramah, kocak dan
pandai cerita. Lebih menarik lagi orang ini pandai menyanyi dan main
gitar. Suaranya bagus. Tapi kulitnya tidak sehitam tamu-tamu kami dari Timtim
lainnya. Bukankah sudah sewajarnya kami dengan hangat menyambut tamu kami
yang berjuang menentang penindasan dan penyiksaan dari rezim militer
Suharto? Lukas banyak bercerita tentang pekerjaan sehari-hari dan
mondar-mandir antara Timtim, Australia, dan ke Eropa ini. Dia juga berhubungan
dengan teman-teman yang disebutkannya, yang juga kami kenal, dan pernah ke
tempat kami. Betapa Lukas ini selalu hangat, gembira, dan pandai bergurau dan
menyenangkan. Rasanya sangat berat ketika berpisah. Dia akan ke Kanada dan
lalu ke Australia untuk masuk ke Timtim lagi. Dia berpos-tetap di
Darwin. Sebuah kota yang sangat dekat dengan Timor dan kantor berita
pemantau di Australia yang khusus mengikuti perkembangan perjuangan rakyat
Timtim di bawah Fretilin.

Sehari dua, sangat terkesan selama Lukas dengan kami. Dan beberapa hari
sesudah itu ada tilpun dari Jerman, dari teman dekat kami.
"Jadi benar bahwa si Suparto di tempat kalian?"
"Siapa Suparto?", tanya kami.
"Akh, kalian, betul-betul kebobolan! Dia yang ngaku namanya Lukas kan!"
"Ya, lalu apanya yang kebobolan?".
"Jadi kalian belum ngerti bahwa dia dari Bakin?!"
"Ha. . . . . . apa?!"
"Ya, orang itu si Suparto, dari Bakin. Orang kiriman Jakarta!
Waduh, waduh, celaka kita", kata suara di sana menyesali kami. Dan kami
terhenyak, kaget, heran, bercampur gemas. Menyesali diri dengan keramahan dan
kehangatan yang mungkin terlalu percaya lalu terbenam-tenggelam dalam
kebodohan.

Kami saling berpandangan, yang satu melihat yang lain, dan beberpa menit
terdiam, terpaku di kursi.

Apakah ini suatu penipuan permaafan di antara kami? Bahwa sebenarnya kalau
diperiksa dengan teliti, bagaimanapun kami sudah melakukan kesalahan.
Kesalahan itu yalah, kurang periksa, kurang teliti, menggampangkan
persoalan, terlalu naif, terlalu percaya. Lalu kalau diperiksa lagi, apa saja
yang kami "bocorkan" kepada Lukas yang si Suparto itu? Sebenarnya tidaklah
sangat berarti, sebab semua yang kami katakan atas pertanyaannya adalah
bersifat umum, di mana semua orang pada pokoknya sudah
tahu, dan ada di media-cetak dan media-elektronik.

Kalau sesudah itu ada teman yang menyatakan "Paris kebobolan", mungkin
terlalu dilebihkan. Apanya yang bobol, memangnya tempat kami ini
markas-besar?Memangnya tempat kami ini penuh
rahasia-gelap-perjuangan, garis-garis politik tertentu? Tidak, tidak
begitu. Tak ada yang bisa didapatkan si Lukas buat laporan penting ke pusat
pekerjaannya. Dan lagi apa sih gerakan kami ini? Paling-paling yang paling
kami utamakan yalah buat bertahan-hidup, buat menancapkan kaki dan pantat
dulu, agar bisa berkedudukan-tempat yang tetap. Ini penting agar bisa
bertahan lama dalam kehidupan.

Setelah kami cek lagi dengan banyak teman lain, di Holland dan tempat
lainnya, memang benar Lukas yang si Suparto itu adalah kiriman
Bakin. Bagaimanapun kami harus berhati-hati dan teliti;waspada, dan ternyata
dalam pergaulan hidup ini tidak cukup hanya dengan ramah-tamah, hangat dan
terbuka saja. Hidup ini terus berkelanjutan dengan selukbeluk yang selalu
harus sealiran dan seikutan dengan irama alir-mengalirnya jalur kehidupan
yang mengglobal, mendunia, apalagi zaman informasi dan ferormasi ini.

24 Februari 99

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.