Bab 3

Kalau kuusut sampai ke akar-akarnya, mengapa aku begitu getol mau pulang dan
pulang itu yang paling pokok mau ke Belitung, kampunghalaman dan
tempatkelahiranku. Yang paling pokok dan utama memang aku mau ziarah, nyekar
ke makam orangtuaku. Kami telah terpisah sejak tahun 1961. Tahun 1993 kami
untuk pertama kali pulang ke Indonesia, tapi hanya di Jawa saja, tidak ke
Belitung, padahal yang paling pokok sebenarnya ingin ziarah dan nyekar
itu. Waktu itu kami dinasehati oleh keluarga dan teman-teman di Jakarta agar
sementara ini janganlah ke Belitung dulu. Tentu saja pada mula pertama
terasa sangat dongkol dan marah. Tetapi lama-lama terasa bahwa pendapat
keluarga dan teman-teman itu adalah sepantasnya dipertimbangkan baik-baik
dan dengan seksama, perhitungkan segala akibatnya.

Kata abangku yang di Depok, "kau sih tidak apa-apa, habis ziarah terus pulang
ke Paris, dan lagi kau kan orang asing. Tetapi keluarga dan teman-teman itu
bagaimana. Pastilah mereka akan didatangi dan ditanya segala rupa. Bisa-bisa
mereka dipecat dari pekerjaannya, atau di PHK-kan secara halus. Nah, kalau
harus ngelapor ke koramil setiap minggu atau setiap bulan atau siapa tahu
diperas dengan cara lain, atau langsung saja masuk penjara?! Padahal hanya
gara-gara ketemu biasa saja, antara keluarga dan teman. Bisa menyangkut
tuduhan tidakbersih-lingkungan, tidakbersih-diri. Tahu kan kau kasus Paman
Johari?!", katanya.

Dan aku baru ingat Paman Johari dulu dengan bangganya bercerita bahwa dia
itu satu kelas di HIS dengan abangku Amat. Dia mengatakan dan cerita ke
mana-mana bahwa si Amat itu satu kelas dan teman baiknya ketika tahun 1935
- 1936 di HIS. Ketika peristiwa itu terjadi tahun 1965, Paman Johari tinggal
diciduk saja. Dan gara-gara hanya cerita begitu saja, Paman Johari sempat
ngendon di dalam tahanan militer selama 8 tahun. Salahnya tak ada, hanya
cerita begitu saja. Dan apakah aliran politiknya? Juga tak ada, orang biasa
saja, walaupun pangkat-pekerjaannya wakil-camat di kampung Membalong, jauh
terpuruk di sudut Pulau Belitung itu. Tidak pernah ikut politik, tidak
menganut aliran partai manapun. Tapi tokh kena 8 tahun hanya kenal dan
berkawan dengan si Amat, yang pada menjelang peristiwa sempat jadi menteri
walaupun menteri pupuk-bawang.

Nah, kami menuruti semua nasehat keluarga dan teman-teman itu. Mereka
pastilah lebih banyak tahu daripada kami, sedangkan kami boleh dikatakan tak
tahu apa-apa mengenai tanahair dan kampunghalaman.

Tahun 1996 barulah tercapai keinginanku untuk ziarah ke makam orangtua, Ibu
dan Ayahku. Aku berangkat ke Tanjungpandan Belitung hanya berdua dengan
cucuku Lulu yang baru berumur 10 tahun. Lulu berbahasa Indonesia cukup baik.
Sudah sejak lama Lulu mulai belajar bahasa Indonesia, dan kalau dia ngomong
bahasa Indonesia, samasekali tak kentara bahwa dia orang asing yang lidahnya
tak ada ubahnya dengan lidah anak-anak Perancis. Padahal kelahiran dan
pendidikannya sepenuhnya di Paris. Tapi permintaan dan harapanku sangat
diperhatikannya. "Lulu, kalau mau jadi cucu kakek yang baik dan pintar, harus
pandai bahasa Indonesia ya, dan bisa ikut kakek ke Jakarta dan mana-mana".
Rupanya pesanku itu tertanam benar di hatinya. Dan karena itu pula Lulu jauh
lebih banyak perjalanannya daripada ibunya sendiri. Sebab dia selalu dengan
kakeknya. Lulu pernah ke Bali, ke Lombok dan ke Belitung ini, tapi ibunya
hanya sampai Bali saja.

Kami berdua mendarat di pelabuhan-udara Buluhtumbang. Seperti yang sudah
kuceritakan pada INTEL 2, tak seorangpun di antara keluarga dan teman-teman
kami yang menawari bermalam di rumahnya. Mereka menyambut kami dengan waswas
dan ada terbayang rasa takutnya yang bergayut-nyata di setiap wajah
mereka. Tetapi segera aku menetralisir suasana agar mereka bebas dan
berusaha menghilangkan atau mengurangi rasa takutnya. Agar mereka juga
tenang dan tak bertanya-tanya dalam hati, kukatakan kami akan menginap di
hotel Melati, dan memang sudah kami pesan ketika mau berangkat dari
Jakarta. Sudah itu barulah tampak-nyata bahwa mereka merasa senang dan
bebas, dan suasana menghangat lagi. Mereka ramai-ramai mengantarkan kami ke
hotel itu. Ternyata kalau di hotel, suatu tempat yang resmi dan sah, mereka
berani berkunjung dan bertamu. Dan kami tetap bisa akrab dan saling
beramah-tamahan. Malah ada di antaranya mau dan sedia mengikuti kami sampai
ke makam orangtua, dan membawakan perlengkapan buat ke pemakaman, seperti air
dalam ceret, rangkaian-bunga dll-nya.

Di hotel Melati itu ternyata sudah ada penghuninya. Kami di nomor
1, sebelahnya nomor 3 dan sudah ada penghuninya. Penghuninya ini seorang yang
sudah berumur antara 30-an. Hotel itru sebenarnya samasekali bukan
hotel, tetapi bekas perumahan biasa. Aku masih ingat benar, ketika kami kecil
dan pada masa kanak-kanaknya, sering bermain di sekitar pantai situ. Pantai
Tanjungpendam dekat Airsaga. Perumahan pegawai GMB, orang-orang
Belanda. Rumahnya besar-besar, bagus-bagus dan bersih-bersih. Termasuk rumah
yang kini menjadi hotel ini. Tetapi begitu berubah menjadi kepunyaan "si
melayu" ini lalu menjadi kotor, dekil dan tak terpelihara. Kapan terjadi
semua ini? Ketika Perusahaan Pertambangan Timah Belitung(PPTB)menghadapi
kebangkrutan, maka perumahan yang tadinya dihuni pegawai stafnya, lalu
dijadikan hotel. Dan sejak itulah perumahan yang dulu begitu apik-resik lalu
menjadi kotor dan tidak terawat.

Hotel itu hanya punya 6 kamar buat disewakan bagi pengunjung, turis. Tapi
kamarnya itu sangat besar.
Tetangga kamar kami yang nomor 3 itu ternyata katanya adalah satpam. Dan
pernah suatu kali ketika kami mendadak datang, dia sedang duduk menonton
tele di ruangan umum sendirian. Cepat-cepat dia mengenakan baju yang tadinya
hanya kaos-oblong. Dan sekilas masih sempat aku melihat gagang revolvernya
di pinggang. Dia menegur kami dengan sangat ramahtamah. Orangnya suka
bergaul dan bercerita dan juga suka banyak bertanya.

Aku sering berdua dengannya sambil ngobrol nonton tele. Dia ngobrol;bahwa
dia kedudukannya di Palembang, datang ke Belitung ada sedikit urusan bisnis
dengan keluarganya. Mungkin dia tidak begitu senang kalau aku tak begitu
banyak menjawab pertanyaannya, hanya sekedarnya saja. Tapi agak sedikit
mencurigakan karena kalau dia sendirian dan ada Lulu yang juga sama-sama
duduk di ruangan itu, lalu sedikit demi sedikit dia juga mengajak Lulu
berbahasa Perancis. Dan bahasa Perancisnya bisa dimengerti, artinya bukan
asal-asalan saja.

Suatu kali ketika Lulu duduk di ruangan-umum kebetulan hanya berdua dengan
sang Oom itu, aku sedang dalam kamar. Tetapi jelas juga terdengar padaku
pembicaraan mereka. Terkadang bahasa Perancis terkadang bahasa Indonesia.
"Dari mana tadi Lulu" katanya.
"Dengan keluarga diajak ke rumahnya sambil naik motor".
"Lulu berdua saja dengan kakek datang ke mari?".
"Ya"
"Kenapa Mama Lulu sama Papanya tidak ikut?"
"Sebab adik saya masih terlalu kecil, baru tiga bulan umurnya".
"Apa kerja Papa di sana"?
"Sebagai guide buat turis dan tamu-tamu".
"Tamu-tamu dari mana saja?"
"Ya macam-macam. Dari Malaysia, Jepang, juga dari Indonesia, tergantung
tamunya".
Lalu hening, dan agak lama pada berdiaman. Lalu mulai lagi.
"Siapa nama Papa Lulu dan juga nama kakek aslinya?"
Lulu diam saja dan lama tidak menjawab. Rupanya diulang oleh Sang Oom Satpam
itu. Tampak Lulu tidak begitu senang.
"Oom kok banyak tanya ini tanya itu ya. Nama Papa saya tidak akan saya
bilang sama Oom. Nama kakek
saya pasti Oom juga sudah tahu, tiap hari ngobrol dengan dia sambil
nonton, kenapa tidak tanya langsung kepada dia", kata Lulu dengan tidak lagi
ramah. Dan Lulu segera meninggalkan tempat itu menuju kamar. Aku yang sedari
tadi turut nguping percakapan mereka, di sebelah pintu melihat Lulu masuk
dan mengacungkan tanganku dengan jempol kepada Lulu. Memang Lulu sudah mulai
banyak mengerti, segera kutangkap dia kuciumi dengan sangat sayangnya. Lulu
tenggelam dalam pelukanku dan berbisik dekat telingaku : "Saya tidak suka
sama Oom itu, terlalu banyak tanya yang nggak perlu". "Justru karena dia
merasa sangat perlu, Lulu. Tahu kan kamu maksud kakek yang sering kakek
ceritakan padamu di Paris ketika kita akan berangkat dulu itu?!", kataku. Dan
Lulu menganggukkan kepalanya. Ternyata dia makin lama makin mengerti siapa
ibu-bapanya dan kakeknya serta keluarga lainnya.

Pada hari ketiga aku ketemu direktur hotel itu. Minta ampun, ternyata dia
adalah temanku adik kelas di bawahku, Sentot. Dan ternyata Sentot sudah tahu
akan kedatanganku, dari paspor yang tertera pada daftar penghuni. Sejak aku
masih di Jakarta dia sudah tahu akan kedatanganku. Tapi berhubung dia banyak
urusan, maklumlah menyangkut bisnis pariwisata. Tetapi sudah tentu Sentot
yang pebisnis ini tidak pakai pistol seperti Oom yang katanya satpam tadi
itu.

Aku sangat senang ketemu Sentot yang dulu sama-sama di SD tahun 1947. Kami
lama ngobrol ngalor-ngidul dan diselingi gosip-gosipan serta sedikit cabul.
Dan ketika kutanyakan siapa penghuni nomor 3 itu sebenarnya. Sentot lama
memandangi diriku. Dalam sekali pandangannya. Dan hanya berkata, "sudahlah
kalau sudah tahu dan ada perasaan yang kau rasakan itu, hati-hati saja. Aku
bisa melindungimu hanya sekedarnya saja, tapi dirimu sendiri dituntut keras
agar berhati-hati. Tapi sukurlah kalau sudah tahu, sehingga tak perlu lagi
kuberitahukan secara resmi", kata Sentot. Dan aku menjabat tangannya dengan
keras dan lama. Ternyata dan selalu kita akan mendapati orang-orang baik di
antara banyak orang-orang jelek dan yang mau jahat pada kita. Dan lagi-lagi
ketika di Jakarta kuulangi lagi ceritaku ini pada teman akrabku
Joebaar. Lagi-lagi dia berkata "nah makin lama kau akan makin pandai, membawa
diri dan membawakan gaya serta perilakumu. Kau tahu, hidup kita ini menuntut
diri kita harus selalu meneliti, hati-hati dan waspada. Ini memang tidak
normal, zaman normal itu kan zamannya Belanda dulu itu, gitu kan kata orang
banyak", kata Ajoeb meledekku.

20 Februari 99

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.