Bab 12 :
Bertemu Kembali

Aku punya pendapat terhadap sikap dan perilaku hidup mengenai kehidupan
kami berhadapan dengan pihak Ambassade KBRI ini. Jangan takut, jangan
terlalu dihindari. Kita harus meluaskan sayap, mengembangkan sayap, terbang
tinggi bebas. Bergaul dan bermasarakat luas, termasuk dengan orang-orang
Ambassade. Tetapi semua itu atas dasar tetap harus
berhati-hati, waspada, tidak terprovakasi dan tidak masuk-perangkap. Pihak
Ambassade KBRI itu bukan musuh kita, musuh kita adalah sistim rezim militer
fasis Suharto, dengan segala aparatnya. Sedangkan Ambassade KBRI adalah
pelaksana, juga termasuk aparat dari penguasa. Mereka kepanjangan-tangan
penguasa, tetapi bukanlah suatu sistim yang terfokus yang memusat pada
kekuasaan satu tangan : Suharto, yang kini Habibi-Wiranto.

Jadi kembali seperti yang kutuliskan di belakang tadi, harus pandai memilah
dan memilih. Bergaulpun ada seninya tersendiri, tidak asal bergaul dan
bermasarakat saja. Lihat situasi kenali keadaan kongkrit. Sulit?Memang
sulit. Jadi manusia sejenis kami ini memang sulit. Sudah dua generasi kami
mengalami penindasan, kekejaman dan penghinaan seperti ini. Kamipun harus
punya seni-hidup, seni-bergaul, seni-bekerja. Dan ini diajarkan oleh
pengalaman selama lebih 30 tahun ini.

Dengan senjata dan pandangan hidup cara demikianlah kami hidup. Dan
tidak usahlah kuruntut darimana anakku dan keluarga anakku kenal dengan
keluarga Mas Ripto ini. Tetapi pergaulan mereka kuikuti secara
familiair, terkadang akupun turut mendengarkan dan sekali-sekali nyambung
dan nimbrung, tapi semuanya bersifat ringan dan gurauan. Keluarga Ripto ini
pekerja di Ambassade. Ramah dan mau berkomunikasi. Kukira sedikit-sedikit
mereka tahu tentang kami. Paling tidak mereka kan tahu, aku si bapaknya
Ina, anakku itu, kan kerjanyanya di resto. Dan apa serta siapa itu resto
pastilah mereka tahu. Apakah lalu mereka akan "kasak-kusuk" dan "mencari
masukan" dari kami, dari anakku dan sekeluarganya? Sampai sebegitu jauh
tidak ada dan belum ada gejala demikian. Tetapi Ina sudah lama
tahu, bagaimana seharusnya bergaul dengan orang-orang Ambassade itu, tinggal
seni-bergaulnya saja bagaimana membawakannya. Sudah kutuliskan pada entah
INTEL keberapa, cucuku Lulu itupun tidak hanya sekali dua berhadapan dengan
intel yang sesungguhnya ketika dia berumur 10 tahun. Dan
alhamdulillah, tidak apa-apa, semoga saja bisa tahan dan ingat pesan
kakeknya.

Kalau keluarga Mas Ripto ke rumah dengan anaknya yang masih balita
itu, bukan main ramainya. Pada ngobrol, ketawa ngakak, bergurau. Yang namanya
perempuan, istri Mas Ripto dan Ina sama-sama kaum ibu rumahtangga, sama saja
ramai dan ributnya. Dari yang bergurau biasa sampai sedikit nyerempet
gosip. Gosip memang asik kalau dibicarakan dan ditambah berbagai bumbu. Dan
mereka akan lebih asik lagi kalau hanya mereka berdua tanpa suami
masing-masing atau tanpa diriku. Selama ini memang sangat jarang Mas Ripto
hadir bersama istrinya dan Ina ngobrol. Mas Ripto lebih banyak di
kantornya, urusan dinasnya. Mas Ripto salah seorang petugas yang di
athan(atase pertahanan). Terkadangpun sekeluarga anakku datang ke rumah Mas
Ripto. Ini sesudah mereka janji via tilpun agar datang ke rumahnya. Dan Ina
dengan dua cucuku datang ke rumah Mas Ripto. Tentu saja ini urusan
ibu-ibu, kaum perempuan, tanpa suami masing-masing.

Sesampainya di rumah, Ina tertawa lucu, dan senyum-senyum kepada suami dan
kepadaku. Mantuku itu lalu melirik kepadaku. Aku tahu maksudnya, seolah-olah
siapa dulu yang coba menanyakan ada apa sih?

"Apa sih lucunya. Tidak lucu kalau hanya ketawa sendirian, tanpa kami tahu
ada apa sih", kataku memancing.
"Bu Ripto mbak Ningsih itu cerita, bahwa suaminya, dulu, jauh sebelum sekarang
ini, pernah mendapat tugas mengikuti sekeluarga dari Eropa ini. Sampai ke
Bali segala. Dia ikuti sekeluarga itu. Biasa mengintip dan memata-matai apa
saja gerak-gerik turis yang dari Eropa itu, apa saja dan ke mana saja
hubungan selanjutnya. " katanya. Dan aku seakan tak sabaran mendengarnya.
"Kau tanya tidak dari Eropa mananya?"
"Aku memang sengaja tidak dan belum menanyakannya. Aku bersifat mendengarkan
saja dulu", kata Ina. Dan aku kembali tersadar, ternyata terkadang Ina jauh
lebih sabar dan diplomatis daripadaku sendiri.
"Dia terus cerita. Keluarga yang diikutinya itu adalah seorang Ibu muda lalu
seorang agak tua, entah itu suaminya dan entah itu bapaknya, lalu seorang
anak kecil. Mas Ripto terus saja mengikuti keluarga itu katanya sampai ke
Kuta dari Karangasem. Lucu kan? Jadi papa tak usah lagi tanya ini itu. Kan
sudah jelas semuanya".
Aku mulai mengerti mengapa Ina tertawa lucu dan terheran-heran. Sekarang
akulah yang jadi penasaran mau tanya banyak kepada Ina.
"Tidak kau tanya, kapan itu?".
"Semua dia yang cerita, ketika itu tiga tahun yang lalu".
"Tiga tahun yang lalu kan tahun 1993. Itu artinya ketika kita di Bali. Dan
ya kalau begitu cocok dan memang kita", kataku sambil senyum-senyum geli
juga. Kok bisa ketemu begitu. Kata orang, hah, terkadang dunia ini sempit dan
kecil, ada-ada saja kalau mau bertemu hal-hal aneh.

Pergaulan terus saja antara kaum ibu itu. Saling berkunjung, ngobrol dan tak
ada hal-hal yang mencurigakan atau pertanyaan yang bersifat "masukan" dan
"kasak-kusuk" tadi. Suatu kali terdengar juga bahwa orang-orang dan pegawai
Ambassade RI di seluruh dunia ada bahkan banyak yang akan ditarik
pulang. Ini semua dalam rangka menghemat dana, tak ada uang buat membayar
gaji dan ongkos perbelanjaan KBRI. Ada beberapa KBRI sudah mulai
memulangkan pegawainya. Ada pegawai yang masih bertahan walapun sudah resmi
ditarik. Ada juga yang mengambil cara berbagi-sama gaji yang dijumlahkan
bersama lalu berbagi adil. Ini cara baru dan ada unsur solidaritas. Artinya
biarlah gaji kecil, tapi janganlah ditarik pulang, janganlah ada pemecatan.
Katanya sementara memang bisa bertahan, tetapi kalau sudah beberapa
bulan, tidak mungkin bisa diteruskan.

Ketika keluarga Mas Ripto berkunjung ke rumah, kebetulan Mas Ripto sendiri
turut, dan kami semua ada di rumah. Dalam saat-saat begitu, mereka yang
kuanggap anak-anak muda, keluarga muda, biarlah mereka ngobrol sesamanya, dan
aku hanya sebentar menghadirinya, lalu undur ke kamar. Melihat keluarga
lengkap begini, bahkan kini sudah tambah satu jiwa, si kecil, si liliput Berry
yang sangat sulit untuk besar, Mas Ripto memperhatikan secara mendalam dan
teliti. Satu persatu, sehingga istrinya terheran, dan menarik nafas panjang.
"Sudah besar sekali gadis kecil dulu itu", katanya dengan pandangan-dalam
melihat cucuku Lulu. Istrinya terheran-heran, lalu segera nyeletuk.
"Memangnya kenal kapan?"
"Lho katanya sampeyan sudah cerita tentang yang dulu itu", kata Mas Ripto
kepada istrinya. Tambah heranlah Mbak Ningsih. Segera saja Ina, anakku
mengerti semua perkara ini.
"Sudahlah mbak Ning, Mas Ripto sudah kenal sejak 1993 di Bali itu, yang kau
ceritakan itu. Hanya kami yang belum kenal seperti Mas Ripto mengenal kami.
Kan yang kau ceritakan itu kami semua, hanya belum ada Berry, sebab memang
belum lahir, Berry kan baru tahun 1996", kata Ina. Mendengar semua ini, aku
keluar menemui mereka.
"Nah, ini yang kaukatakan yang agak tua itu, bukan suamiku tapi papaku", kata
Ina.
"Ya Allah mbak Ina, kok sampeyan waktu itu nggak ngomong apa-apa
padaku. Hanya diam saja membisu dan mesem-mesem saja", kata Ningsih sambil
memeluk dan merangkul anakku Ina. Dan aku datang mendekati Mas Ripto dan
menjabat tangannya erat. Dia tersenjum dan dengan erat menjabat tanganku.

Ternyata mereka juga sekalian mau mengabarkan tentang kepulangan mereka
berhubung juga terkena penarikan pegawai. Jadi sekalian berpamitan. Ternyata
harus bertemu dulu sebelum berpisah. Ada-ada saja kejadian di dunia ini.

2 Maret 99

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.