Ada pengetahuan yang universal, tetapi sebenarnya banyak juga orang belum
  tahu. Bahwa ditinjau dan diamat-amati, setiap Kedutaan Besar, Ambassade, dari
  mana saja, siapa saja, negara mana saja, sebenarnya adalah
  pusat-mata-mata, spionage secara resmi tetapi disamarkan begitu rupa. Setiap
  Ambassade berwewenang dan berkewajiban meletakkan kerangka demikian demi
  untuk pertahanan negaranya. Persoalannya terletak, bila seseorang
  tertangkap, tertangkap basah, ketahuan tiba-tiba, maka akan jadi urusan
  besar. Bisa di personna-gratakan, diusir oleh negara yang menangkap, dan
  hubungan antar negara bisa rusak, bisa putus hubungan sementara, putus
  hubungan diplomatik. Dan hal begini cukup banyak terjadi. Ketika dunia masih
  dan sedang berada dalam puncak-puncaknya perang-dingin, peristiwa begini
  sering terjadi. Dan masing-masing negara, baik negara yang mengusir dan
  negara yang terusir anggota Amabssade-nya, selalu berkelit, bertahan, dan
  perang-argumentasi. Ketika zaman perang-dingin dulu itu hampir setiap tahun
  terjadi hal-hal demikian, entah itu di AS, Eropa, Afrika, Timur-Tengah, ataupun
  di bagian Asia dan negara di mana saja. 
 Ambassade dari negara-negara tersebut tidak hanya ada yang
  "kasak-kusuk" giat mencari "masukan" dari bangsa dan negera 
  lain, negara
  tuan-rumahnya sendiri, tetapi juga antar Ambassade yang ada di negara
  itu. Dan tidak cuma itu, Ambassade si A akan juga "kasak-kusuk" giat 
  mencari
  "masukan" dari warganegaranya sendiri, warganegara si A yang ada di 
  negara
  itu. 
Misalnya saja, Ambassade Uni Sovyet(dulu) di sesuatu negara juga mencari
  masukan dari warganegaranya sendiri yang ada di negara itu, atau bahkan
  negara lain yang bertemu di negara itu. Mudahnya menggambarkan, secara
  begini, dan ini kongkrit. Setiap Ambassade RI atau KBRI di negara mana
  saja, akan mencari masukan dari warganegaranya sendiri yang ada di negara
  itu. Apalagi ketika terjadi peristiwa-nasional tahun 1965 itu. Bukankah
  banyak warganegara Indonesia yang tidak bisa pulang, tidak berani
  pulang, atau karena paspornya dicabut? Karena hubungan politik, karena
  dianggap dan tersangkut dan dituduh terlibat pada peristiwa-nasional , maka
  warganegara Indonesia banyak sekali yang nyangkut, terdampar di berbagai
  negara, umumnya di negara-negara yang dulunya dinamai negara-sosialis. Dan
  warganegara yang pada akhirnya menjadi pelarian-politik inilah yang menjadi
  sasaran empuk setiap Ambassade di setiap negara di luarnegeri. 
Nah, beginilah kami, termasuk kategori ini. Pada INTEL nomor sekian, sudah
  kuceritakan, ada seruan, himbauan dari Ambassade di ibukota negara di mana
  kami bertempattinggal, agar orang Indonesia jangan atau tidak boleh datang
  makan ke Restoran Indonesia yang baru kami dirikan. Kalau tak salah himbauan
  dan edaran ini dimulai ketika zamannya Menteri Luarnegeri Mochtar
  Kusumaatmadja. 
 Apa saja yang dilakukan oleh pihak Ambassade kepada kami, tentu saja dapat
  dibenarkan dari segi kepentingan mereka. Tetapi dari segi kepentingan
  kami, juga demikian, harus terus bertahan, berhati-hati, waspada, jangan sampai
  terpancing masuk perangkap. Jadi dua pihak ini masing-masing berhadapan
  secara diametral bertentangan, siap menyerang dan bertahan dalam pengertian
  "kasak-kusuk" dan mencari "masukan" tadi itu. 
Mereka juga akan memata-matai kami di manapun kami berada, dalam setiap
  posisi apapun, bahkan secara diam-diam datang dan makan di resto
  kami, menyusup, menyelinap. Mereka mengira kami tidak tahu, dan siapa tahu ada
  juga di antara kami yang memang tidak tahu, tetapi mata kami kan harus
  banyak!!
  Kata filsahat Sun-tze, akhli perang strategi Cina, "musuh berperang cara
  musuh, kita berperang cara kita, dan kenalilah musuh, kenalilah diri
  kita, seratus kali berperang seratus kali menang". Sudah tentu filsafat 
  ini
  hanyalah ajaran filsafat kongkrit dalam peperangan. Kami samasekali tidak
  pernah menganggap Ambassade itu adalah suatu sasaran-perang, mungkin
  merekalah yang menganggap kami demikian. Kami hanya pada tahap, agar
  berhati-hati, agar selalu waspada, tidak terpancing, tidak terprovakasi, tidak
  masuk perangkap. Karena apa? Karena pihak mereka memang mau memancing, mau
  memerangkap, mau dapat masukan, mau memata-matai kami. Hal begini sudah
  banyak ditulis orang luar. Antaranya ditulis oleh DR. Arief Budiman, yang kami
  anggap dengan maksud baik semata-mata. Ada lagi tulisan yang kata orang
  seorang wartawan-senior, Rosihan Anwar. Semua kami sudah tentu membaca dan
  mempelajarinya secara seksama. Normal kan, setiap ada usaha dan aksi akan
  selalu ada reaksi, ada pro dan kontra. Jangankan hal begitu agak
  rumit, teman-teman kami sendiri ada yang sampai kini tidak berani datang ke
  resto kami. Kuatir atau katanya harus hati-hatilah, bisa-bisa nanti dia
  dipecat dari pekerjaannya atau tak dapat subsidi atau tidak diperhatikan
  pemerintahnya, dengan tidak mengangkatnya lagi jadi anu, jadi anu. 
  
  Sikap kami kepada semua hal-hal begini, harus secara bernas
  memerincinya. Tidak semua membenci kami, juga harus berhati-hati kepada yang
  kelihatannya sangat ramah-tamah, semua itu ada seninya, seni melihat dan
  meneliti, memilah dan memilih. Pekerjaan begini sudah tentu bukannya mudah
  dan gampang melakukannya. Kami sendiri juga sering kebobolan-, lihat INTEL
  sebelumnya. Tapi satu hal yang ada pada diri kami. Kami tidak pernah
  menganggap pihak Ambassade yang memusuhi kami itu juga kami perlakukan
  sebagi musuh. Yang kami lakukan agar berhati-hati, waspada, jangan sampai
  terpancing masuk perangkap, karena pihak sana memang ada usaha ke arah
  itu. Jadi ada dua pihak, yang satu mau ofensif yang lainnya harus
  defensif, itu saja dari dulu. Dan pernah kami pikir, hal begini pada zaman
  reformasi ini, apakah masih tetap terus dilakukan, di mana kita masing-masing
  pada siap. Yang lain mau ofensif, yang satunya selalu siap defensif, lalu
  kapan berakhirnya? Sedangkan zaman sudah mulai berubah. Namun kami harus
  tahu langkah, tahu gerak, tahu keadaan dan situasi kongkrit. Tidak boleh
  bergerak yang bersifat asal-saja. Semua harus diperhitungkan!
Dari dulu kami tidak pernah melakukan hal-hal politik kongkrit di resto
  kami. Kalau mau melakukan politik kongkrit, harap tidak di resto, harap di
  luar resto, harap tidak membawa nama resto!Semua harus dilakukan atas nama
  pribadi masing-masing. Gerakan atau aktivitas kebudayaan memang kami
  lakukan, seperti mengadakan tari-Bali, bahkan kami bertemu dengan tokoh
  penyair Indonesia seperti WS. Rendra yang semua teman di resto hapal
  puisinya yang tiga baris yang sangat menyentuh hati itu. 
  Katanya : "Aku datang
  Aku makan
  Dan aku senang", - Itu saja baris-barisnya, dan bagus kan?
  Dengan penulis dan penggagas filem yangs sangat anti-PKI-pun pernah
  datang, Ariefin dengan mbak Yayang itu, dan kami bisa saja saling
  ngobrol. Yang sangat lucu, aku pernah ngobrol dengan penulis yang menuliskan
  bahwa aku sudah lama meninggal tahun 1980, dan dia minta maaf
  padaku. Kukatakan tak apa-apa, malah itu baik, dan kami beramah-tamah. 
Sebenarnya yang kami musuhi itu kan sistim bukan orang per orang, walaupun
  pada akhirnya sistim itu kan ya orang juga yang melaksanakannya. Tapi
  bukankah setiap sesuatu itu tidak pasti terus langgeng, suatu waktu akan
  berubah juga, akan ada perubahan, yang tidak mungkin berubah itu yalah
  perubahan itu sendiri. Siapa sih yang bisa menyangka Suharto akan jatuh
  begitu cepat, yang tadinya dianggap begitu kuat, begitu hebat?!
Kami juga ada kepercayaan, orang-orang yang dulu suka "kasak-kusuk" 
  mencari
  "masukan" yang ditujukan kepada kami, masaksih tak akan berubah, masaksih
  masih terus berkepala-batu, sedangkan zaman sudah berubah?! Siapa tahu malah
  ada di antara mereka yang kena-PHK dan ditarik dari Ambassade, berhubung
  sekarang ini RI-ABRI-ORBA sangat kurang dana. Berapa banyak sudah
  pegawai, staf lokal ditarik harus pulang ke Indonesia?! Apakah kami
  bertepuk-gembira dan bergendang-paha??
  Tidak, mereka kan mencari penghidupan seperti kami juga. Ingat yang kami
  musuhi dan benci itu adalah sistim, bukan per orang per pegawai, dan per
  pribadinya. Lalu jadinya bagaimana? Apa selanjutnya ini?
2 Maret 1999
 
 
  
  © Sobron Aidit. 
  All rights reserved.
  Hak cipta dilindungi Undang-undang.