Bab 11 :
Inilah Isi Perut Kami

Ada pengetahuan yang universal, tetapi sebenarnya banyak juga orang belum
tahu. Bahwa ditinjau dan diamat-amati, setiap Kedutaan Besar, Ambassade, dari
mana saja, siapa saja, negara mana saja, sebenarnya adalah
pusat-mata-mata, spionage secara resmi tetapi disamarkan begitu rupa. Setiap
Ambassade berwewenang dan berkewajiban meletakkan kerangka demikian demi
untuk pertahanan negaranya. Persoalannya terletak, bila seseorang
tertangkap, tertangkap basah, ketahuan tiba-tiba, maka akan jadi urusan
besar. Bisa di personna-gratakan, diusir oleh negara yang menangkap, dan
hubungan antar negara bisa rusak, bisa putus hubungan sementara, putus
hubungan diplomatik. Dan hal begini cukup banyak terjadi. Ketika dunia masih
dan sedang berada dalam puncak-puncaknya perang-dingin, peristiwa begini
sering terjadi. Dan masing-masing negara, baik negara yang mengusir dan
negara yang terusir anggota Amabssade-nya, selalu berkelit, bertahan, dan
perang-argumentasi. Ketika zaman perang-dingin dulu itu hampir setiap tahun
terjadi hal-hal demikian, entah itu di AS, Eropa, Afrika, Timur-Tengah, ataupun
di bagian Asia dan negara di mana saja.

Ambassade dari negara-negara tersebut tidak hanya ada yang
"kasak-kusuk" giat mencari "masukan" dari bangsa dan negera lain, negara
tuan-rumahnya sendiri, tetapi juga antar Ambassade yang ada di negara
itu. Dan tidak cuma itu, Ambassade si A akan juga "kasak-kusuk" giat mencari
"masukan" dari warganegaranya sendiri, warganegara si A yang ada di negara
itu.

Misalnya saja, Ambassade Uni Sovyet(dulu) di sesuatu negara juga mencari
masukan dari warganegaranya sendiri yang ada di negara itu, atau bahkan
negara lain yang bertemu di negara itu. Mudahnya menggambarkan, secara
begini, dan ini kongkrit. Setiap Ambassade RI atau KBRI di negara mana
saja, akan mencari masukan dari warganegaranya sendiri yang ada di negara
itu. Apalagi ketika terjadi peristiwa-nasional tahun 1965 itu. Bukankah
banyak warganegara Indonesia yang tidak bisa pulang, tidak berani
pulang, atau karena paspornya dicabut? Karena hubungan politik, karena
dianggap dan tersangkut dan dituduh terlibat pada peristiwa-nasional , maka
warganegara Indonesia banyak sekali yang nyangkut, terdampar di berbagai
negara, umumnya di negara-negara yang dulunya dinamai negara-sosialis. Dan
warganegara yang pada akhirnya menjadi pelarian-politik inilah yang menjadi
sasaran empuk setiap Ambassade di setiap negara di luarnegeri.

Nah, beginilah kami, termasuk kategori ini. Pada INTEL nomor sekian, sudah
kuceritakan, ada seruan, himbauan dari Ambassade di ibukota negara di mana
kami bertempattinggal, agar orang Indonesia jangan atau tidak boleh datang
makan ke Restoran Indonesia yang baru kami dirikan. Kalau tak salah himbauan
dan edaran ini dimulai ketika zamannya Menteri Luarnegeri Mochtar
Kusumaatmadja.

Apa saja yang dilakukan oleh pihak Ambassade kepada kami, tentu saja dapat
dibenarkan dari segi kepentingan mereka. Tetapi dari segi kepentingan
kami, juga demikian, harus terus bertahan, berhati-hati, waspada, jangan sampai
terpancing masuk perangkap. Jadi dua pihak ini masing-masing berhadapan
secara diametral bertentangan, siap menyerang dan bertahan dalam pengertian
"kasak-kusuk" dan mencari "masukan" tadi itu.

Mereka juga akan memata-matai kami di manapun kami berada, dalam setiap
posisi apapun, bahkan secara diam-diam datang dan makan di resto
kami, menyusup, menyelinap. Mereka mengira kami tidak tahu, dan siapa tahu ada
juga di antara kami yang memang tidak tahu, tetapi mata kami kan harus
banyak!!
Kata filsahat Sun-tze, akhli perang strategi Cina, "musuh berperang cara
musuh, kita berperang cara kita, dan kenalilah musuh, kenalilah diri
kita, seratus kali berperang seratus kali menang". Sudah tentu filsafat ini
hanyalah ajaran filsafat kongkrit dalam peperangan. Kami samasekali tidak
pernah menganggap Ambassade itu adalah suatu sasaran-perang, mungkin
merekalah yang menganggap kami demikian. Kami hanya pada tahap, agar
berhati-hati, agar selalu waspada, tidak terpancing, tidak terprovakasi, tidak
masuk perangkap. Karena apa? Karena pihak mereka memang mau memancing, mau
memerangkap, mau dapat masukan, mau memata-matai kami. Hal begini sudah
banyak ditulis orang luar. Antaranya ditulis oleh DR. Arief Budiman, yang kami
anggap dengan maksud baik semata-mata. Ada lagi tulisan yang kata orang
seorang wartawan-senior, Rosihan Anwar. Semua kami sudah tentu membaca dan
mempelajarinya secara seksama. Normal kan, setiap ada usaha dan aksi akan
selalu ada reaksi, ada pro dan kontra. Jangankan hal begitu agak
rumit, teman-teman kami sendiri ada yang sampai kini tidak berani datang ke
resto kami. Kuatir atau katanya harus hati-hatilah, bisa-bisa nanti dia
dipecat dari pekerjaannya atau tak dapat subsidi atau tidak diperhatikan
pemerintahnya, dengan tidak mengangkatnya lagi jadi anu, jadi anu.

Sikap kami kepada semua hal-hal begini, harus secara bernas
memerincinya. Tidak semua membenci kami, juga harus berhati-hati kepada yang
kelihatannya sangat ramah-tamah, semua itu ada seninya, seni melihat dan
meneliti, memilah dan memilih. Pekerjaan begini sudah tentu bukannya mudah
dan gampang melakukannya. Kami sendiri juga sering kebobolan-, lihat INTEL
sebelumnya. Tapi satu hal yang ada pada diri kami. Kami tidak pernah
menganggap pihak Ambassade yang memusuhi kami itu juga kami perlakukan
sebagi musuh. Yang kami lakukan agar berhati-hati, waspada, jangan sampai
terpancing masuk perangkap, karena pihak sana memang ada usaha ke arah
itu. Jadi ada dua pihak, yang satu mau ofensif yang lainnya harus
defensif, itu saja dari dulu. Dan pernah kami pikir, hal begini pada zaman
reformasi ini, apakah masih tetap terus dilakukan, di mana kita masing-masing
pada siap. Yang lain mau ofensif, yang satunya selalu siap defensif, lalu
kapan berakhirnya? Sedangkan zaman sudah mulai berubah. Namun kami harus
tahu langkah, tahu gerak, tahu keadaan dan situasi kongkrit. Tidak boleh
bergerak yang bersifat asal-saja. Semua harus diperhitungkan!

Dari dulu kami tidak pernah melakukan hal-hal politik kongkrit di resto
kami. Kalau mau melakukan politik kongkrit, harap tidak di resto, harap di
luar resto, harap tidak membawa nama resto!Semua harus dilakukan atas nama
pribadi masing-masing. Gerakan atau aktivitas kebudayaan memang kami
lakukan, seperti mengadakan tari-Bali, bahkan kami bertemu dengan tokoh
penyair Indonesia seperti WS. Rendra yang semua teman di resto hapal
puisinya yang tiga baris yang sangat menyentuh hati itu.
Katanya : "Aku datang
Aku makan
Dan aku senang", - Itu saja baris-barisnya, dan bagus kan?
Dengan penulis dan penggagas filem yangs sangat anti-PKI-pun pernah
datang, Ariefin dengan mbak Yayang itu, dan kami bisa saja saling
ngobrol. Yang sangat lucu, aku pernah ngobrol dengan penulis yang menuliskan
bahwa aku sudah lama meninggal tahun 1980, dan dia minta maaf
padaku. Kukatakan tak apa-apa, malah itu baik, dan kami beramah-tamah.

Sebenarnya yang kami musuhi itu kan sistim bukan orang per orang, walaupun
pada akhirnya sistim itu kan ya orang juga yang melaksanakannya. Tapi
bukankah setiap sesuatu itu tidak pasti terus langgeng, suatu waktu akan
berubah juga, akan ada perubahan, yang tidak mungkin berubah itu yalah
perubahan itu sendiri. Siapa sih yang bisa menyangka Suharto akan jatuh
begitu cepat, yang tadinya dianggap begitu kuat, begitu hebat?!

Kami juga ada kepercayaan, orang-orang yang dulu suka "kasak-kusuk" mencari
"masukan" yang ditujukan kepada kami, masaksih tak akan berubah, masaksih
masih terus berkepala-batu, sedangkan zaman sudah berubah?! Siapa tahu malah
ada di antara mereka yang kena-PHK dan ditarik dari Ambassade, berhubung
sekarang ini RI-ABRI-ORBA sangat kurang dana. Berapa banyak sudah
pegawai, staf lokal ditarik harus pulang ke Indonesia?! Apakah kami
bertepuk-gembira dan bergendang-paha??
Tidak, mereka kan mencari penghidupan seperti kami juga. Ingat yang kami
musuhi dan benci itu adalah sistim, bukan per orang per pegawai, dan per
pribadinya. Lalu jadinya bagaimana? Apa selanjutnya ini?

2 Maret 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.