Bab 10 :
Di kalangan-dalam

Perkara Djamal yang datang ke resto kami tanpa terlebih dulu menampakkan
batang-hidung, dan pergi begitu saja tanpa menampakkan punggung, pada sekitar
hari-hari itu memang banyak makan-waktu dipersoalkan teman-teman. Ada yang
mengatakan kenapa dibiarkan, kenapa bisa lolos. Untuk menjawab pertanyaan ini
tidak begitu mudah. Harus meyakinkan bahwa tempat ini adalah sebuah
restoran. Restoran itu adalah tempat-kerja, tempat
mencari-makan, mencari-kehidupan, mencari sesuap nasi. Lagipula restoran
adalah tempat umum, terbuka, siapa saja bisa masuk dan duduk dan makan-minum.
Tidak terkecuali apakah seseorang itu
mata-mata, mengkhianat, penjahat, pendeta, pastor, polisi. Siapa saja yang mau
makan, harus kami ladeni sebagaimana mestinya sebuah resto.

Dan bukan tugas resto buat menangkap, memerangkap, menahan dan melakukan
kejahatan. Kalau di sebuah resto dirancang sebuah kejahatan dan akan segera
dilaksanakan pada hari-hari tertentu, bisa saja terjadi. Dan banyak kejadian
demikian. Tetapi bukanlah petugas, pegawai dan pekerja resto, tetapi
orang-orang yang datang makan. Semua itu dilakukan orang luar resto yang
orang resto tidak mungkin mananyakan identitasnya dulu sebelum makan, apakah
dia seorang mata-mata, pengkhianat, atau pastor, pendeta dll. Dan lagi seluruh
pegawai, pekerja, petugas resto harus sama-sama mengawasi dan berkewajiban
memelihara restonya sebagaimana rumahnya sendiri. Ini kami tekankan karena
resto kami adalah sebuah koperasi, sebuah badan kerja-sama para
anggotanya, bukan resto biasa. Jadi berusaha agar resto selalu dalam keadaan
aman, tenteram dan menyenangkan buat orang-orang makan.

Maka beberapa teman itu menjadi mengerti. Sekali-kali harus dicegah adanya
kekacauan, perkelahian, pemukulan, perbuatan kekerasan lainnya. Dan selama
belasan tahun resto kami berdiri, memang belum pernah terjadi hal-hal
demikian. Ada pertengkaran antara pelanggan, mungkin suami-istri, atau yang
sedang pacaran, saling-janji, tapi mereka pada umumnya mengerti. Kalau sudah
naik amper-puncaknya biasanya salah seorang atau kedua-duanya ke luar dan
tak jadi makan, sambil minta maaf kepada kami. Hal begini pernah
terjadi, tetapi sangat jarang.

Tentang perkara Djamal, kami sudah lama tahu dan banyak mendengar tentang
hal itu. Tetapi bagaimanapun keadaan sebenarnya pastilah teman-teman di
Jakarta jauh lebih tahu dari kami. Karena itu bertambah heranlah aku
setelah mengetahui bahwa temanku Ajoeb juga berteman baik dengan
Djamal. Bahkan sangat baik, sering bepergian dengan Djamal. Ke luar kota
lagi, ke Jabar, Jateng, Jatim. Dan bahkan apabila Ajoeb ke luarkota selalu
bersama Djamal dan mengajak Djamal bersama dua temannya lagi. Dan kami
pernah saling bercerita, penangkapan, penahanan, pemenjaraan, justru paling
banyak karena hasil laporan dan hasil tunjuk-hidung dari teman sendiri, dari
kalangan-dalam. Seorang pemimpin baik yang di Jakarta maupun di luar
Jakarta;seperti di Kalimantan dulu itu, semuanya karena hasil laporan teman
sendiri, atau intel yang adalah bekas teman sendiri!! Mula-mula diikuti
dulu, didekati, ditemani, dan dipelajari apa kesukaannya. Kapan dia keluar dan
bepergian, dan dengan siapa. Maka si pemimpin
yang kesukaannya itu makan coklat, harus menyuruh pengawalnya ke kota buat
beli coklat. Dan pengawal itu sudah lama dicium oleh intel, didekati, ditemani
dan bahkan turut sama-sama beli coklat ke kota yang jauh dari pedalaman
Kalimantan. Tentara Abri tinggal ciduk dengan gampangnya. Habislah riwayat
pemimpin yang tadinya sudah mulai dipuja-puji. Ini semua kata laporan
tertulis. Sampai di mana kebenarannya kita tidak tahu.

Nah, bukankah aku punya alasan untuk tidak suka dan tidak senang kalau
temanku yang begitu aku percayai dan hargai seperti Ajoeb itu kok
bertemannya sama si Djamal!! Hal ini tidak pernah selesai dalam
kepalaku. Ketika kutanyakan pada teman lainnya di Jakarta dulu itu, tidak
menjawab sebagaimana yang kuharapkan. Kebanyakan sulit dipercaya dan
dimasukkan dalam penalaran yang jernih. Bahkan ada juga beberapa teman yang
punya sikap seperti diriku, walaupun mereka sama-sama hi-

dup di Jakarta. Yaitu merasa aneh, mengapa Ajoeb selalu berteman dengan
Djamal yang semua teman juga sudah tahu siapa dia dulunya. Dari tukangtunjuk
sampai menjadi langsung tukanggebuk, dan yang digebuk itu adalah temannya
sendiri, bahkan dulunya cukup akrab!!

Dalam sebuah percakapan pernah Ajoeb mengatakan padaku. Setiap
badan, setiap organisasi bahkan LSM manapun, selalu disusupi intel. Atau
paling tidak intel akan masuk dengan berbagai jalan dan usaha.
"Ketahuilah, Mon", kata Ajoeb suatu kali.
"Kita ini, kami ini selalu bekerja di tengah intel, dikerubuti intel. Karena
itu bagaimana jadinya? Harus kita balik suasana itu, ajak dia, ajak
mereka. Sehingga mereka turut serta dalam usaha kita walaupun mungkin hanya
di pinggir-pinggirnya saja. Dan harus pandai bekerja berseni-halus dan
tinggi. Kalau tidak memang pasti kebobolan. Kita tokh tahu mereka membutuhkan
kita, untuk agar langgeng pekerjaan mereka, agar mereka tetap bisa hidup
dengan gaji yang hanya berapa rupiah sih, perlu melaporkan pekerjaan kita
kepada atasannya. Ini kan dalam usaha mereka cari makan. Nah, kita kan juga
perlu mereka. Kalau perlu mereka kita jadikan pengawal kita, agar kita
sendiri aman dan mereka dapat jaminan bahwa mereka memang dipercayai si
anu, si anu. Dan atasan mereka tidak ada alasan untuk memecat mereka. Jadi
sekali pukul ada dua tujuan dan hasil. Dia atau mereka bisa dengan aman
cari makan, pekerjaan terjamin, tidak mudah dipecat, sedangkan kita mendapat
pengawalan dari mereka. Kau tahu, Mon, kita ini saling membutuhkan. Hanya
batas-batasnya itu harus jelas dan sama-sama tahulah".

Sedikit aku mengerti, tetapi belum jelas benar. Masih tetap mengganjel dalam
pikiranku. Dalam pada itu Ajoeb juga banyak menceritakan padaku, bagaimana
seorang teman yang dijadikan tukanggebuk dalam penahanan dan
penjara, bisik-bisik pada teman yang bakal digebuknya itu, agar merasa
pura-pura sangat sakit ketika digebuknya. Dan teman yang menggebuk itu
berusaha agar kelihatannya bukan main kerasnya dalam menggebuk tahanan
tersebut. Sandiwara begini harus dengan teliti dilakukan, kalau tidak
dua-duanya akan menjadi korban, atau bahkan lebih banyak lagi karena
ketahuan selama ini sandiwara itu sudah lama dimainkan.

Lalu aku mengerti lebih banyak, tapi tetap masih ada ganjelan, mengapa harus
terjadi semua ini.
"Kalau begitu yang ke rumah sampeyan itu, ada dong intelnya, atau paling
tidak kakitangan intel yang akan meneruskan laporannya", kataku bertanya
kedungu-dunguan.
"Lah ya, harus punya persiapan itu. Betul kau. Pasti ada susupan intel yang
pernah datang ke rumah ini, bahkan mungkin ada yang turut
diskusi", katanya. Maka semakin rumitlah yang menjadi tumpekan pikiran dalam
kepalaku.
"Mereka memerlukan kita. Tapi harus dibuat juga, karena kita juga suatu waktu
perlu mereka, maka kerjasama yang tak pernah tertulis dan tercatat itu, perlu
mereka ketahui. Jadinya kita masing-masing ada tugas dan keperluan serta
kepentingannya. Sekarang bagaimana kita mencegahnya, sedangkan pekerjaan kita
begini banyak dan begini luasnya, dan mereka begitu banyak jumlahnya. Sudah
tak tahu lagi kita yang mana intel yang baik dan yang jahat. Harus diingat
tidak semua intel itu jahat. Ada yang memang benar-benar cari makan mau
hidup, tetapi tak ada jalan lain kecuali menjadi informan atau intel. Soalnya
yang ada dan harus ada pada kita, seni bekerja di tengah banyaknya kaum
intel itu", kata Ajoeb meyakinkan diriku.

Dan dalam pada itu kulihat dan kutanyakan, bahkan sudah pula bertemu dengan
beberapa teman yang santer pernah dikatakan "mengkhianat" sebagai
"tukangtunjuk dan tukanggebuk" tapi masih tetap saja bertegur-sapa dan bisa
saling ngobrol sesama teman lainnya. Dalam hatiku, kok bisa ya, kok tidak ada
dan
tidak terjadi misalnya pembalasan dendam. Bukankah tadinya selama ini ada di
antara mereka yang sudah begitu banyak dirugikan dan menjadi korban laporan
intel itu, tapi begitu sama-sama dibebaskan lalu malah bisa berlaku seperti
tak pernah terjadi apa-apa.

Cobalah bayangkan, Ajoeb itu malah kalau mau pergi ke luar-kota mesti
mengajak Djamal dan teman lainnya, yang semua teman juga tahu, siapa si
Djamal itu. Dan kata Ajoeb, justru kalau bepergian dengan Djamal malah
aman, lancar-lancar saja. Disamping itu Ajoebpun menekankan, bagaimanapun
yang namanya intel itu tetaplah barang yang harus diwaspadai, harus
berhati-hati. Tidak semua orang bisa bekerja dengan berseni, pandai mebawakan
langgamnya yang tersendiri dan khusus. Mungkin kekhususan ini dipunyai Ajoeb
tetapi tidak dipunyai teman lain, apalagi aku ini, taklah!

1 Maret 99

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.