Bab 24 :
Nasib Pengangguran

Mula-mula kami datang di Perancis, kami harus memenuhi peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah, per-
tama sebagai kaum asilan, refugie politik. Tugas utama yalah masuk-asrama (
foyer ), untuk belajar bahasa Perancis, selama 6 sampai 8 bulan. Selama di
asrama, kami ditanggung pemerintah, dengan dapat jatah bahan makanan,
lengkap, cukup bahkan bisa berlebihan. Bahan makanan ini bisa dimasak
sendiri, ada dapurnya, bahkan ada tempat penyimpanan makanan, kulkas,
lemari, kompor dan lain-lain. Setiap hari Jumat sore kami antri untuk
menerima bahan makanan buat satu minggu. Bahan makanan ini sudah diper-
hitungkan pasti cukup. Kalau hemat, bahkan bisa berlebihan. Ada
bahan-bahan, beras, minyak, susu, mentega, margarine, yaoghurt, roti,
kentang, segala macam. Sudah itu kami masih dapat uang-saku. Kami bertiga,
dengan dua anakku, terkadang satu minggu dapat antara 250 sampai 350
francs. Dengan uang-saku itu kita harus mengatur sendiri keperluan kita, di
luar jatah makanan sehari-hari. Misalnya mau cukur rambut, beli odol, mau
nonton, naik bis dan kereta, beli pakaian, sepatu dan lainnya. Karena itu
kitapun harus memperhitungkan juga, agar cukup, agar pas. Tak ada istilah
nanti bisa pinjam atau berhutang, tak ada itu, dan takkan terjadi, sebab
pihak asrama dan pemerintah akan menolaknya dengan keras dan disiplin.

Ketika sedang dalam tanggungan pemerintah, di foyer, kehidupan sebenarnya
masih enak, sementara boleh tidak memikirkan yang lain, kecuali harus
berkonsentrasi pada pelajaran bahasa Perancis. Sebenarnya itulah maksud
pemerintah, selama diasramakan, diberi pelajaran bahasa Perancis, adalah
buat persiapan berdikari untuk nantinya dalam mencari pekerjaan, mencari
kehidupan. Mencari pekerjaan dan mencari penghidupan adalah tidak mungkin
kalau tidak bisa berbahasa Perancis! Bagaimana orang, atau kantoran atau
perusahaan, pertokoan akan mau menerima kita kalau kita sendiri tidak bisa
ngomong Perancis. Hidup di Perancis mutlak harus bisa berbahasa Perancis!
Tentu saja, kukira sangat wajar. Dan begitu kami mengakhiri pelajaran
bahasa Perancis selama 6 sampai 8 bulan itu, nah, mulailah perjuangan
mencari pekerjaan dan mencari kehidupan. Tidak bisa lagi dan tidak boleh
tinggal di asrama semula, harus pergi meninggalkan foyer itu. Dan ke mana
dan di mana, terserah saja, harus cari sendiri. Mencari pekerjaan dan
persiapan mencari rumah, atau kamar, apartemen kecil. Dan ketika masa
beginilah baru terasa, betapa tidak enaknya jadi kaum pengangguran. Status
kita begitu keluar foyer, artinya sedang dalam pengangguran.

Pemerintah Perancis sudah tentu tidak akan membiarkan dirikita
terlunta-lunta tidak keruan salama kita benar-benar dalam keadaan mencari
pekerjaan itu. Pemerintah akan siap membantu kita dengan uang saku antara
45 sampai 50 francs satu hari selama satu tahun. Kalau dalam satu tahun
tidak juga kita men-
pat pekerjaan, masih ada kesempatan beberapa bulan lagi, atau uang saku
buat bantuan itu dikurangi sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya habis. Dan
pada biasanya kaum penganggur, teman-temanku, rombongan kami dulu, selalu
ada saja lobang atau lowongan yang bisa "memperpanjang" hidup kami. Juga
kudengar rombongan lainnya, ada saja pekerjaan yang didapatkannya. Apa dan
siapakah rombongan yang kumaksud? Kami para pengungsi dari Asia Tenggara,
Vietnam, Laos, Kamboja dan ada yang dari Afrika dan Asia lainnya seperti
dari Iran, Afganistan, India, Pakistan, dan terakhir "zaman kami itu" sudah
mulai masuk dari Srilangka, Kolombo. Kini, detik ini, bukan main banyaknya
yang dari Kosovo, Albania.

Ada syarat lainnya untuk dapat terus bantuan uang-saku itu. Dulu
ditetapkan, satu bulan satu kali, kita harus antri buat mencatatkan dan
menandatangani suatu surat perjanjian yang isinya memang benar-benar kita
dalam usaha mencari pekerjaan. Kami haru mencatatkan dan menandatangani
surat itu di kantor ANPE, Agence Nationale Pour Emploi. Kantor ini sangat
terkenal di kalangan kami kaum pengangguran, termasuk di kalangan orang
Perancis sendiri. Sebab betapa banyaknya kaum pengangguran Perancis. Ketika
kami baru datang dulu, angka pengangguran masih sekitar satu sampai dua
juta orang. Kini, Perancis memiliki angka pengangguran lebih dari 3 juta
orang! Sebab siapapun yang bekerja dengan sistim kontrakan, selama sekian
tahun atau sekian bulan, sesudah itu statusnya sama dengan kami dulu
itu, sama-sama pengangguran. Sudah tentu dapat uangnya tidak sama, karena
kami memang belum pernah dapat pekerjaan. Sedangkan orang-orang lain itu,
karena kontraknya sudah habis, atau sedang dalam mencari pekerjaan baru.
Lain statusnya, antara kaum pengangguran yang memang belum pernah dapat
pekerjaan dengan kaum pengangguran yang sudah punya pengalaman-kerja.

Ketika kami antri buat, istilahnya pointage, tandatangan-pengecekan, di
kantor ANPE itu, orangnya sangat ramai, bisa puluhan orang, dan antrinya
sangat panjang. Bisa berjam-jam, dan biasanya makan-waktu satu hari suntuk.
Ketika itulah sangat terasa, tidak enak, ada rasa memelas, agak terhina
rasanya. Apalagi sambil kita antri buat pointage, orang sibuk dengan mobil,
motor, bis, sepeda, buat menuju pekerjaan di kantornya masing-masing,
sedangkan kami hanya buat sebuah tandatangan pengecekan saja. Ada
teman-teman di antara kami yang merasakan, betapa kita ini sepertinya
bagaikan parasit, benalu, yang hidupnya di dahan pohon orang lain, dan
orang lain itu, adalah yang kami lihat sibuk menuju kantornya masing-masing
itu. Ada rasa malu, bahkan malu sangat, tetapi mau apa! Ada perasaan
terhina, rasanya hidup dari belas-kasihan orang, walaupun melalui kantor
yang bernama ANPE. Hierarchi administrasi mekanisme pekerjaannya, dari ANPE
ini dossiernya akan dikirimkan ke kantor Assedic, dan kantor inilah yang
akan mengirimkan uangnya kepada kita. Sebenarnya perasaan ini, setelah
bertahun-tahun dan kami semua sudah dapat pekerjaan, tak perlu ada, tak
perlu jadi beban benar. Kami samasekali tak merasakan bahwa kaum
pengangguran sekarang ini, yang sama dengan kami dulu itu, adalah bagaikan
parasit dan benalu. Kami membayar pajak buat semua keperluan apa yang
dibebankan pemerintah, termasuk buat kesejahteraan kemanusiaan pada
umumnya, artinya termasuk buat kaum pengangguran itu. Tetapi tidak ada
perasaan kami menganggap mereka yang sedang menganggur itu adalah bagaikan
parasit dan benalu, yang menunggu belas-kasihan orang. Perasaan yang kami
pendam dan rasa-beban dulu itu, mungkin hanya perasaan betapa tidak enaknya
jadi kaum pengangguran itu.
Itu saja soalnya mungkin. Maklumlah, perasaan orang yang sedang menganggur,
penuh dengan berbagai macam rasa yang tak enak, yang menyedihkan.

Bayangkan, sudah berusaha mencari pekerjaan di mana-mana dan ke mana-mana,
tetapi tak ada lowongan, tak ada celah-celah pekerjaan yang bisa menerima
kita. Setiap hari mendatangi perkantoran, pertokoan, restoran, buat mencari
pekerjaan, tetapi pekerjaan itu sendiri tak ada, tak tersedia. Dan betapa
banyaknya orang mencari pekerjaan, pada bersaingan. Dan kami bukanlah
anak-anak muda lagi. Ketika kami sibuk dan tegang mencari pekerjaan, umur
kami sudah berkepala 4 bahkan 5, yang artinya beberapa tahun saja bisa
kerja lalu terus pensiun! Karena umurnya memang sudah sore! Kami harus
mencari pekerjaan ini juga antaranya buat mendapatkan cap dari kantor atau
pertokoan tersebut, bahwa memang benar kami pernah datang buat melamar
pekerjaan. Dan cap ini akan kami perlihatkan dan tunjukkan kepada kantor
ANPE ketika kami pointage nanti setiap bulannya. Ini gunanya cap itu. ANPE
mau tahu
apa benar-benar dirikita mencari pekerjaan. Tanda bukti bahwa kita
sungguh-sungguh mencari pekerjaan. Dan kalau badan sudah lelah-letih, mau
minum, mau makan di luaranpun harus pikir-pikir, sebab uang di saku harus
dihemat, harus ada remnya, jangan sampai kebobolan. Dan ketika itu rasa
sedihnya timbul lagi. Melihat minuman, melihat makanan yang begitu menarik,
begitu memikat selera, dalam diri begini haus dan lapar, tetapi kita harus
ingat, kita ini sedang menganggur, hemat-hematlah, hari masih panjang dan
jauh. Nasib kita belum tahu lagi, akan ke mana dan bagaimana. Hari depan
belum dan tidak bisa dipastikan, tidak tahu akan bagaimana.

Rasa begini memang sangat menyedihkan. Ada mobil pengangkut sop dan minuman
panas, dibagikan secara gratis kepada orang-orang miskin dan kaum
pengangguran, kaum gelandangan. Pernah aku mencoba antri buat menerima sop
panas yang sekiranya pastilah enak, asap bau aromanya tersebar ke
mana-mana, memikat hidung. Dan rasanya bukan main malunya, sebab mereka
menolakku, karena aku tak punya kartu sans domisile, ada kartu buat kaum
miskin-papa. Aku hanya punya kartu pengangguran, tapi "belum" punya kartu
tanpa kediaman, gelandangan. Jadi aku belum punya syarat buat antri sop
panas yang baunya sangat memikat itu. Ternyata kalau begitu masih ada orang
yang statusnya lebih miskin dariku sendiri. Jadi, janganlah hanya melihat
ke atas saja, mungkin perlu sekali-sekali melihat ke bawah. Sebab mungkin
dirikita terkadang masih agak atasan dari orang yang lebih bawahan.

Melihat isi pertokoan makanan yang sedap-sedap, melihat berjenis minuman
segar, di mana dirikita sedang haus dan lapar, tetapi tidak punya uang buat
semua itu, betapa rasa tersiksanya. Menelan liur selera yang tak terpenuhi!
Dan ya puji Tuhan, sukurlah, tak sampai 4 bulan menganggur penuh, baru
bulan ketiga menerima sumbangan uang-saku pengangguran, kami sudah
mendapatkan lokasi sebuah restoran yang akan memberi kehidupan kepada kami
bersama. Itulah sebabnya pemerintah merasa "terbantu" dengan berdirinya
resto kami yang bisa menghidupi kami sendiri, nyawa beberapa orang. Dan
karena kami belum sampai "setengahnya" menggunakan "hak-kami" sebagai
penerima bantuan pengangguran, maka pemerintah "menyumbangkan" penyediaan
semulanya buat satu tahun itu, dilimpahkan buat modal berdirinya resto
kami. Dari situ kami punya modal sedikit sebagai sekedar tambahan buat
berdirinya resto kami. Memang betapa tidak enaknya jadi kaum pengangguran,
tetapi enak tidak enak bukan tergantung pada kita saja, lebih-lebih kepada
pemerintah setiap negara, bisa tidaknya, sanggup tidaknya menyediakan
lowongan pekerjaan buat warganegaranya masing-masing. Dan tampaknya
persoalan ini menyeluruh di bagian dunia ini, setiap negara mempunyai
persoalan yang sangat sulit dipecahkan, yaitu bagaimana kemampuan
pemerintah dalam menyediakan kesempatan kerja bagi warganegaranya. Dan
orang-orang di mana saja, tambah panjang antriannya buat mencari lowongan
kerja, buat kehidupannya, buat dirinya dan keluarganya.-

Paris 26 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.