Bab 16 :
Resah dan Panorama Beijing

Ketika pihak tuan-rumah, Radio Beijing sudah memutuskan bahwa
kontrak-kerjaku tidak akan diperpan-jang lagi, dan akupun memutuskan harus
ke luar Tiongkok, nah, masa-masa itulah, yang paling menye-
dihkan, resah-gelisah, dan kalau tidak kuat, bisa berakibat fatal.
Untunglah selama ini, sepanjang hidupku, aku selalu dituntun oleh pikiran,
dan bukan oleh perasaan. Pikiran, nalar yang bersih-jernih, untungnya
selalu mendominasi hidupku, dan semogalah, aku berdoa dan berharap agar
seterusnyalah begitu. Bagaimana tidak. Isteriku baru saja meninggal. Aku
kehilangan isteri, dua putriku yang sedang beranjak dewasa kehilangan
ibunya. Jadinya aku harus merangkap jadi ayah dan jadi ibu sekaligus buat
anak-
anakku. Kalau sampai aku berbuat apa saja yang tak baik bagi pandangan
mereka, maka bukankah aku
gagal sebagai ayah dan ibunya sekaligus? Tidak jadi panutan, tidak mampu
jadi contoh bagi anak-anaknya
sendiri. Aku harus bisa menguasai diri, harus bisa mengendalikan diri. Dan
itu sangat tidak mudah. Misalnya saja, mungkin ini yang kuceritakan ini,
adalah sebagian hal-perkara diri dan pribadiku yang sangat sulit kuatasi.
Ketika dulu isteriku meninggal dan ketika upacara pemakamannya, aku tetap
bisa mengenda-
likan diri. Tidak menangis, tidak menampakkan airmuka-keruh dan kusut di
depan orang-orang yang sedang menyatakan berduka-cita dan belasungkawa.
Termasuk kepada kedua anakku, dan inipun sangat
perlu kutunjukkan kepada mereka agar tabah menghadapi kenyataan kesedihan
hidup ini. Tampaknya di luar sepertinya aku ini kuat?!

Tetapi ada rahasia yang mau kubuka kepada kalian. Ketika aku sendirian di
kamar-kerjaku, di kamar-tidurku, betapa sedihnya hati ini dan aku menangis,
menangis dan menangis. Kubiarkan diriku begitu, biarlah agar bisa sedikit
hilang rasa duka ini, - dan tokh tak ada seorangpun yang tahu dan
melihatku-,
ini pikirku ketika itu. Betapa akan beratnya kehidupan kami bertiga, karena
kami akan menempuh hidup
yang samasekali baru yang samasekali belum kami kenal. Kami akan
meninggalkan Tiongkok. Tetapi ketika itu belum tahu mau ke mana, dan hal
inipun menambah beban pikiran, cobalah pikir, harus pergi dari Tiongkok
tetapi belum tahu mau ke mana?! Kan gila namanya! Lama berbulan-bulan
barulah tahu, bahwa kami akan ke Paris yang tadinya, sejak dulunya, tak
pernah secuilpun ingat dan ada maksud mau ke Paris sana. Artinya kami harus
mulai dari O, nol lagi, dari samasekali tiada dan harus di-ada-kan.

Sambil menunggu persiapan keberangkatan, aku menjalani kota Beijing yang
segera akan kutinggalkan, setelah kami berdiam di Cina selama 18 tahun! Aku
tak tahu mau ke mana dan mau apa dengan berjalan mengelilingi kota Beijing
dan sekitarnya ini. Semula aku naik bis, naik-turun bis, tukar bis-troli,
metro, pokoknya membunuh waktu. Ini biasanya kulakukan ketika sore hari.
Sebab, nah inilah baiknya pihak tuan-rumah, Radio Beijing, masih
memperkenanku bekerja setengah hari, sampai ketika aku mau be-
rangkat meninggalkan Beijing, dan aku tetap mendapat gaji walaupun juga
hanya setengahnya dari dulu.
Sangat wajar sebab bekerjanyapun hanya setengah hari.

Ketika sore hari itulah aku bersepeda mengeliling Beijing. Semula menuju
lapangan Tien An-men. Lapa-
ngan ini sangat luas. Kukira lebih luas dari Lapangan Merah di Moskow.
Kalau ada rapat-umum, bisa menampung sampai satu juta orang, bahkan bisa
lebih. Di sekitar lapangan ini, ada Gedung Balai Rakyat, yang besar dan
megahnya luar-biasa. Satu tiangnya saja, tidak bisa dipeluk oleh dua orang
sekaligus, mungkin tiga empat orang barulah bisa. Dan kalau resepsi negara
karena Hari Raya Nasional 1 Oktober, ada bangket, jamuan-makan, sekali
mengundang tamu sampai 3000 - 5000 tamu, duduk makan bersama dengan
diiringi musik yang anggota pemain musiknya sampai 300 orang. Semua ini
pernah kualami ketika aku masih "menjadi tamu asing yang dihormati" dulu
itu. Dalam Gedung Raksasa itu ada sebuah panggung pertunjukan, yang bisa
menampilkan koor-besar sejumlah 3000 penyanyi sekaligus!

Tiongkok selalu besar, gede dan hebat serta gila-gilaan. Tetapi apa
kekurangannya? Dia sangat tertutup, sangat menutup-diri, dan seakan-akan
memang mengisolasi diri. Semua besar, bukan main, bahkan dalam soal
negatifpun besar! Misalnya saja, tidak banyak orang tahu, bahwa korban
bencana alam karena gempa-bumi yanga paling banyak di dunia, juga di
Tiongkok, di Thangsan. Korbannya menelan hampir satu juta jiwa! Ini terjadi
tahun 1976, - Sangat sulit dipercaya, dan juga karena tak ada di koran,
apalagi koran asing, koran luar-negeri.

Di samping-samping Lapangan Tien An-men, selain Gedung Balai Rakyat itu,
adalagi Gedung Musium

Sejarah, lalu di bagian belakangnya ada Taman Cungsan, taman yang sangat
besarnya, kalau di Paris seperti Jardin Luxembourg. Lalu ada istana Gogong,
Istana Kota Terlarang, yang bukan main antik, besar dan tradisionalnya. Dan
semua yang kusebutkan, cukup sering aku masuk dan melihatnya. Sangat nikmat
memandangnya dekat-dekat, mengamatinya, mempelajari sejarahnya, dan
mendengarkan cerita-cerita sesungguhnya maupun yang ada fiktifnya agar
tambah menarik. Semua ini kujalani sendirian, bersendiri saja, tapi anehnya
memang aku sangat membutuhkan kesendirian begini.

Dan aku dari sana lalu mengedari Beijing dari berbagai sudut, jauh dan jauh
sekali yang aku sendiri tak tahu lagi ke mana dan di mana. Pokoknya
bersepeda menelusuri jalan yang mulus datar itu. Ada kesamaan tanah
Holland, Belanda dengan dataran Beijing ini, tanahnya datar, rata tak ada
tanjakan, enak dan mulus bila bersepeda. Bedanya dengan Holland, datarnya
Holland selalu di bawah laut! Dataran rendah dan lobang - hole lalu
Holland. Dan bila sudah jauh dari kota, pemandangan berubah menjadi
pemandangan pedesaan, ladang gandum, kebun sayuran, kesibukan para petani
menebah padi, gandum, dan panenan kentang, bawang dan lainnya. Sangat asik
melihatnya dari pinggiran jalan. Bersepeda begini biasanya berjam-jam, lupa
mau ke mana dan ada di mana. Pernah satu hari, senja sudah mau petang, aku
tak tahu lagi ada di bagian mana dari kota Beijing. Tak ada lagi tanda yang
berhuruf latin, dan tak ada tanda plang nama papan penunjuk. Aku sudah
kehilangan arah. Hari sudah mau petang, tetapi aku tidak tahu
di mana arah tempat tinggalku. Kutanyakan pada penduduk, di mana letak
Radio Beijing. Orang itu menjawab :
" Wah masih jauh sekali. Saya kira lebih dari 30 km lagi. Arah Istana Musim
Panas saja masih harus dile-wati dulu", katanya.
"Lalu di mana arah Istana Musim Panas itu sendiri", kataku.
"Nah, ambil jalan menuju Utara, lalu nanti kalau ada persimpangan-empat itu
belok ke Timurnya, nah, sudah tinggal beberapa km lagi", katanya.
Ini orang Beijing seperti orang Jawa saja! Kalau sudah pakai sebelah Timur,
Barat, Selatan, maka mati-
kutulah aku. Mana aku tahu arah mata-angin Selatan, Barat, Utara segala!
Orang Jawa di metro bawah-tanahpun dia akan tahu mana arah Selatan, Utara,
dan lainnya. Aku tidak.

Jadi ternyata aku ini sesat, nyasar. Dan jauhnya bukan main. Istana Musim
Panas saja sudah sangat jauh dari kota. Dan Radio Beijing letaknya di
bagian kota. Istana Musim Panas jauhnya dari tempat kami hampir 25 km, dan
aku harus mencari sasaran tempat itu dulu, barulah tahu arah ke mana bagian
kotanya. Hari itu ternyata aku sudah bersepeda hampir 70 km, dan malam
barulah aku sampai di rumah.

Mengapa begini? Memang asik dan enak bersepeda di Beijing. Tetapi mungkin
saja karena aku dalam keadaan cukup stres, bercampur frustrasi, menghindari
keruwetan dan kerumitan kehidupan. Ruwet dan rumit samasekali bukan dalam
urusan kebendaan dan materi, tetapi kejiwaan, kalbu, hati-nurani. Kami
sungguh belum tahu akan nasib dan haridepan kami. Mau pulang ke tanahair,
tidak mungkin! Lalu mau ke mana? Sanak tidak, kadang tidak, keluargapun tak
ada di tempat yang akan didatangi itu. Semua serba asing, semua serba belum
dikenal. Betul-betul harus dimulai dari nol lagi. Perginya kami dari
Tiongkok samasekali bukan dalam keadaan normal. Baru saja ditimpa
kesedihan, kemalangan. Dan kesedihan serta kemalangan itu tidak hanya dari
satu segi saja, tapi bersegi banyak. Sudah kehilangan isteri, kontrak-kerja
diputus, PHK secara sopan, sudah tak ada kerjaan lagi, lalu harus pergi
yang entah ke mana. Tuan-rumah samasekali tidak mengusir, tetapi kita harus
tahu dirilah. Tuan-rumah mau berhubungan dengan RI pemerintah Indonesia,
berusahalah jangan sampai jadi "batu-sandungan" hubungan itu. Inilah yang
juga ada dalam pikiranku. Di mana-mana, di tanah mana saja, bagi kami yah
semua itu hanyalah tanah-pengasingan. Tanah kami adalah Nusantara,
Indonesia, itulah tanahtumpah-darah kami. Tetapi kami diharamkan untuk
datang berdiam disana, kalau tetap mau, yah, penjara, tahanan, siksaan
sudah lama menunggu. Apa mau menyerahkan batangleher dengan sukarela?!

Itulah kontradiksi dalam pikiran ini. Semoga saja bertumpuknya kontradiksi
ini tidak menjadikan diri stres dan frustrasi berkelanjutan, dan
bertahanlah jangan sampai gila atau sejenisnya. Ini saja sudah cukup baik.
Dan barangkali itulah sebabnya aku tersesat begitu jauh dari tempat
tinggalku perumahan Radio Beijing. Dan gilanya lagi, aku tak pernah merasa
kapok, jera dengan bersepeda menjalani kota Beijing ini. Yang harus dijaga,
selalu eling kata orang Jawa!

Paris 15 April 99

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.