Bab 15 :
Spesialis Beranjangan

Tembur, tembak-burung, suatu kehidupan mengisi liburan dalam kegiatan-kerja
kami sehari-hari, kami la-
kukan hanyalah pada hari Minggu. Caranya pergi bergrup, bersama beberapa
orang, atau membentuk grup kecil, atau sendirian. Tembur biasa, lebih
baiklah pergi bergrup, atau grup kecil. Tetapi kalau tembur dila-
kukan sendirian, tentulah ada keistimewaan lain. Pada biasanya, tembur
sendirian dilakukan kebanyakan
hanya tembur burung yang juga spesial. Ketika itu kami tembur hanya tertuju
kepada burung beranjangan.
Burung beranjangan ini sejenis puyuh, atau gemak kata orang Jawa. Warnanya
bintik-bintik coklat, lebih kecil dari puyuh. Kesamaannya dengan puyuh,
beranjangan juga tidak pernah hinggap di atas pohon atau
ranting. Selalu hinggap di atas tanah, dan berjalan biasa seperti ayam.
Tetapi lainnya dengan puyuh, bila beranjangan terbang, melesat-cepat dan
tinggi ke atas. Dan di atas itu dia bermain dengan terbang mengepakkan
sayapnya tetapi tetap pada posisinya, hanya bertahan dengan sayapnya. Dia
melihat jauh
ke bawah, kira-kira akan di mana hinggapnya di tanah nanti. Lalu dengan
cepat pula menukik bagaikan pe-
luru menuju ke bawah dan hinggap di tanah.

Beranjangan biasanya akan hinggap di atas tanah yang warnanya sama dengan
badan dan bulunya. Yaitu
tanah yang coklat, agak kehitaman, dan tanah yang kering. Ciri tempat
hinggapnya beranjangan yalah se-
lalu tanah datar, atau yang rumputnya tipis, jarang-jarang, dan bekas
lapangan panenan biji-bijian, bekas gandum yang paling disukainya, atau
lapangan penebahan jagung, atau padi sawah kering.

Pada mulanya di antara kami tidak begitu berminat tembur beranjangan,
karena sangat sulit. Sebab sangat pandai berkamuflase. Sering kami datangi,
mendekatinya ketika dia sedang hinggap, atau ketika mau hinggap. Tetapi
karena pandainya dia berkamuflase hinggap di atas tanah yang sama warnanya
de-
ngan bulu dan sayapnya, maka kami sering tertipu, tidak kelihatan,
tahu-tahu berrr-------terbang tiba-tiba
sangat mengejutkan. Dan sasaranpun hilang, dan kami jalan lagi mencari
beranjangan lain. Karena kebi-
asaan beranjangan ini hinggap di tanah dan tak pernah di atas pohon,
ranting dan daun, maka kamipun
juga harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan beranjangan ini. Kalau
biasanya kami tembur sambil melihat ke atas, mengamati segala jenis burung
yang hinggap di atas pohon yang tinggi, berlindung di sebelah-sebelah daun,
sering sakit leher, dan kalau terlalu lama seharian suntuk, dari pagi
sampai menje-
lang petang. Tetapi tembur beranjanganpun sama saja, hanya kepala-leher dan
mata harus selalu melihat ke bawah, menunduk dan mencari sasaran dengan
teliti dan dengan mata yang sangat awas.

Dan karena tembur beranjangan selalu di lapangan terbuka, maka tidak perlu
banyak ke luar-masuk hutan. Karenanya para atau kaum tembur ini, tidak
begitu suka tembur beranjangan, terlalu lama dan sa-
ngat mendongkolkan, dan lagi dapat hasilnya tidak akan sebanyak tembur
biasa. Tembur biasa, seseo-
rang teman, paling sedikit akan mendapatkan 30 ekor burung. Tetapi
seseorang tembur beranjangan dapat hasil 25 ekor saja sudah luarbiasa
hebatnya! Mungkin karena itu sangat sedikit penggemar tembur beranjangan.
Kata teman-teman, ngapain mau dipermainkan beranjangan yang ayam bukan,
burung bu-
kan, puyuhpun bukan.

Tetapi aku sangat suka mengawasi dan mengamati beranjangan ini. Pernah aku
tergila-gila memburu beranjangan. Aku mau tahu benar, bagaimana maka dia
"suka mempermainkan" kami para tembur ini.
Memang sangat pandai beranjangan berkamuflase. Berminggu-minggu bahkan
sampai beberapa kali hari Minggu, sampai lebih sebulan, aku mempelajari
hukum terbang dan hinggapnya beranjangan ini. Pernah
dalam sehari suntuk itu, aku hanya dapat beranjangan 14 ekor saja, terlalu
jauh dari jatah. Hal ini karena aku lebih banyak hanya melihat dan
mengamati dengan cermat bagaimana hukum terbang dan hinggapnya. Bila
beranjangan sedang berkepak-kepak tinggi di atas, sekira 30 meter lebih,
dia akan meli-
hat ke arah tanah yang akan menjadi sasaran hinggapnya. Lalu cepat-melesat
dan menukik ke bawah, lalu
sayapnya itu direntangkan lebar dan sama dengan tanah warnanya. Tentu saja
kita akan selalu terkecoh.
Ketika dia menukik hinggap ke tanah itu, beberapa lamanya dia tetap diam
terpaku di tanah itu, sama-
sekali tidak bergerak. Dan ketika kita tahu bahwa dia diam terpaku itu,
kita mendekatinya secara diam-
diam pula dan senapang jangan dulu diarahkan ke sasarannya. Dengan gerak
"pura-pura saling tidak tahu" lalu barulah pelan-pelan kita arahkan laras
senapang, dan dengan bidikan-yakin, kita lepaskan ke arahnya, dan biasanya
bunyi peluru-mimis terdengar dosss, dan dia tergeletak menggelepar
sebentar.

Ketika aku boleh dikatakan sedikit-sedikit agak menguasai hukum-terbang dan
hinggapnya beranjangan ini, walaupun tetap mendapat hasil yang jauh lebih
sedikit daripada teman-teman tembur biasa, ada perasaan senang dan suka
juga tembur beranjangan. Memang hasil yang kudapat sepanjang hari, dari
pagi sampai petang, selalu dibawah 30 ekor, bahkan sering hanya dapat
belasan ekor, padahal kalau tembur biasa, jatah itu selalu di atas 40 ekor.
Dan seperti kelaziman kami para tembur, semua hasil kami setorkan ke bagian
penyiang-bulu dan bagian seksi-masak.

Lainnya lagi tembur beranjangan ini, harus selalu tembur sendirian,
terkadang terasa sepi, sepanjang hari
tidak ngomong, tidak ada yang bisa diajak bicara. Paling-paling ketemu kaum
tani yang lalu-lalang mela-
lui padang-dataran bekas jagung, padi-padian, gandum, panenan
kacang-kacangan. Pernah sekali aku
memburu beranjangan agak ke atas bukit yang semaknya tidak begitu tebal.
Beranjangan itu terbang agak merendah, tetapi belum mau hinggap-hinggap
juga. Dan aku terus memburunya sampai ke atas bukit agak berbatu dan
semak-semak tipis. Tanpa curiga apapun, aku terus lari-lari kecil, dan di
depanku sekilas terlihat tanah gundukan yang ada semak-semaknya seakan
terlindung, dan ketika aku mau menghindarinya, karena agak cepat lari-lari
kecil itu, sudah tak bisa ngerem lagi, dan aku terperosok ke dalam sebuah
lobang yang besar. Dan aku terseret ke bawah, untungnya masih bisa
menyambar akar pepohonan di sekitar situ. Dan aku tertolong dari bahaya
yang kira-kira dapat kupastikan atau kemungkinan besarnya, akan hilang dari
peredaran kehidupan ini. Setelah aku agak tenang, barulah ku-
amati lobang besar itu. Ternyata dulunya mungkin sebuah sumur tua, yang
dalamnya ke bawah sekira 10 sampai 20 meter. Kulihat ke bawah, tampak
kepalaku memantul dikembalikan cahaya samar-samar, dan ternyata tetap ada
airnya. Sumur tua dan yang sangat dalam itu hampir saja menguburkan diriku.
Ketika
itulah malah aku semakin agak gemetar, sekiranya aku masuk dan terperosok
jatuh terus ke dalam, tak seorangpun yang tahu, tak seorangpun yang bisa
menolong. Mau teriak? Siapa yang akan mendengarkan?! Sekitar situ sepi dan
hutan semak, tak ada orang, tak ada penduduk. Lama sekali aku terkejut dan
memikirkan, bagaimanalah sekiranya tadi itu aku benar-benar jatuh ke dalam.
Isteriku dan dua anakku akan kehilangan suami dan ayahnya, dikarenakan
tembur beranjangan! Memikirkan ini, bergidik bulu halus sekujur tubuh.

Sudah itu berminggu-minggu aku bergabung kembali dengan grup tembur biasa.
Kepada teman-teman tertentu kuceritakan pengalaman ini, tetapi samasekali
tak kuceritakan kepada isteriku di rumah, kuatir kalau aku tidak boleh lagi
tembur sendirian. Dasar aku suka tembur, dan mungkin "dari sononya dulu
sudah turunan", ayahku seorang pemburu benar-benaran. Dia punya berjenis
senapang, dari yang mimis 5, 5 sampai senapang chess, dan double-loop,
berlaras dua, dan sepanjang hidupnya sudah menembak rusa dan kijang
sebanyak 56 ekor. Aku ingat benar catatan pribadinya ketika sampai tahun
1942 itu.
Tak pernah dicatatnya kalau hanya pelanduk atau kancil, apalagi burung
punai, balam dan jenis lainnya.
Dan sangkutan pakaian di rumah kami, selalu dari tanduk rusa atau kijang
yang bagaikan bercabang sengaja buat sangkutan pakaian. Dan secara
diam-diam tetapi sangat berhati-hati, aku tetap saja sekali-sekali menjadi
tembur sendirian, spesialis beranjangan yang tadinya begitu mendongkolkan,
tetapi lama ke lamaan menjadi suka dan sekali-sekali lalu tergila-gila.

Lalu ada-ada saja penemuan dalam perjalanan semua jenis pekerjaan dan
kehidupan kita ini. Kalau dulu itu aku merasa harus berhati-hati jangan
sampai terperosok dalam lobang atau sumur tua, maka kini sudah harus
ditambah lagi, harus hati-hati dengan gerombolan serigala dan ular.
Beberapa kali aku bertemu dengan serigala sebanyak tiga empat ekor. Dengan
mata nyalang dan ganasnya, kami saling siap dan mengawasi, dan siap
berjaga. Kusiapkan senapangku, yang sebenarnya tak mungkin dapat
membunuhnya, apalah hanya mimis kaliber 4, 5. Lalu bertemu ular, dan ini
sangat biasa. Kalau berminat menangkap dan membawanya ke rumah, boleh-boleh
saja membunuhnya. Tetapi hanya membawa beban berat saja adanya, biarkanlah
dia hidup. Dan aku jalan dan jalan, masuk hutan, masuk dataran, terkadang
ada terlintas pikiran, sampai kapan hidup begini akan berakhir, sebenarnya
bukan begini yang aku mau, aku tokh mau pulang ke tanahair. Dan pikiran
begini bukan hanya ada padaku, selalu ada pada kami semua. Aku dan kami
para tembur samasekali tak ada bermaksud mau jadi pemburu sejati, seperti
ayahku dulu itu. Ini kan hanya sekedar pengisi waktu agar kami jangan
sampai stress dan frustrasi dan lalu gila betulan!

Paris 14 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.