Bab 13 :
Guilin Yang---------

Kami berangkat dengan keretapi dari Nanchang ke Guilin. Guilin sebuah kota
kecil di selatan, termasuk provinsi Kwangxi. Guilin sangat indah.
Keindahannya terutama perpaduan sungai, pemandangan bebatuan di sungai
Ciang yang bagaikan batu-apung yang membentuk hiasan alam secara alamiah.
Dan pemandangan para nelayan sepanjang sungai itu bergulat mencari
kehidupan, menangkap ikan dengan jala, dan pukat tradisional, dan selalu
diiringi burung-burung yang bertengger di sisi perahu itu. Burung itu akan
menangkap ikan dan membawanya ke perahu, dan sebelumnya para nelayan
mengikat leher burung itu agar tidak terus langsung menelan ikan. Dengan
demikian si nelayan masih bisa memperoleh ikan itu. Bu-
rung-burung tersebut memang dipelihara untuk keperluan penangkapan ikan.

Pada umumnya para turis akan diajak berlayar sepanjang Sungai Ciang ini,
menikmati pemandangan yang sangat indah. Kalau berkabutpun tetap
indah, karena kabut itu seakan menjadi tabir-alam yang tampaknya sangat
halus bagaikan sutera kekelabuan. Kalau ada matahari lain lagi
keindahannya, sinar yang memancarkan caya keemasan, memantul di air sungai,
dan dari jauh tampak lengkungan pelangi yang berwarna-warni. Ketika kita
sedang menikmati keindahan sungai dan bebatuan-raksasa yang bagaikan
pelampung timbul mengapung itu, terdengar nyanyian para nelayan. Mereka
menyanyi dengan suara yang sangat bersih dan merdu, tanpa tahu bahwa
disekeliling mereka siang-siur perahu-motor membawa para turis. Sangat
alamiah, sangat naluriah, wajar dan bagaikan air sungai itu sendiri,
mengalir dan mengalir, tanpa sengaja berbuat demi kepentingan para turis!
Keindahan sungai Ciang bagaikan salah satu permata Tiongkok di bagian
Selatan. Cerita Sungai Ciang betapa banyak yang mengharukan, dan sudah
dijadikan opera Beijing dan opera setempat. Ke Guilin tetapi tidak melayari
Sungai Ciang samasaja dengan tidak ke
Guilin, sama saja ke Paris tidak melihat Eiffel Tower dan Musium Louvre
atau istana musimpanas Versailles.

Ada yang hendak kuceritakan pahit-manisnya kunjungan kami ini selama di
Guilin. Guilin Sungai dan keindahan bebatuan, para nelayan, burung-burung,
perahu nelayan yang silang-siur, dan nyanyian merdu para nelayan yang
sangat wajar itu, adalah di luar penginapan kami, di luar hotel kami. Kami
menginap di sebuah hotel berbintang yang juga disediakan buat para turis
asing. Tetapi cara pengelolaan hotel itu sangat di luar kebiasaan hotel
lainnya di dunia! Kalau kami mau interlokal menilpun teman di Beijing, kami
harus menyerahkan uang sejumlah 500 yuan kepada desk di pusat information,
sebagai tanggungan. Padahal ongkos tilpunnya tak sampai seharga 20 yuan!
Ini wajib katanya, harus menyerahkan uang tang-gungan, sudah peraturannya
begitu, walaupun kita yang akan menilpun itu tokh ada di depan mereka
sendiri, petugas kantor itu! Lalu kalau kita mau membawa kunci kamar hotel,
kita harus menyerahkan uang tanggungan juga sejumlah 500 yuan, dan jumlah
ini bukannya sedikit, satu bulan gaji pegawai biasa ketika itu! Memang uang
itu hanya sebagai tanggungan, dan akan kembali kepada kita lagi. Tetapi
selama
kami "naik-hotel turun-hotel" di Tiongkok ini, baru kejadian beginilah yang
kami alami di Guilin. Tidak pernah terjadi di bagian manapun di dunia ini
seperti yang di Guilin itu! Memang mereka tidak menipu, tetapi peraturan
yang sangat kaku dan aneh itu, kenapa masih bercokol di tengah keterbukaan
Tiongkok ketika itu?!

Ketika kami berjalan-jalan di sekitar perhotelan, tampak barisan pengemis
duduk dengan teratur, berjarak satu setengah meter seorang. Dan panjangnya
barisan pengemis ini lebih dari 40 meter, sedangkan jumlah pengemisnya
sekira 30 orang. Mereka memainkan alat musik, menyanyi dan berdoa cara
mereka. Dan orang yang akan memberikan uang, dipersilahkan kepada siapa
saja, karena tempat penampungan uangnya ada di depan mereka masing-masing.
Pemandangan begini baru kali ini yang kulihat dan aku benar-benar merasa
aneh bin ajaib. Samasekali tak menyangka Guilin yang begitu bagus-indah,
dipuja-
puja, tokh masih mengandung borok-borok yang tadinya tak tampak jelas.
Selama kami di Beijing 10 hari itu, kami tak pernah melihat pengemis, dan
orang gelandangan, semacam di Guilin! Ada rasa kecewa dalam diriku.
Jauh-jauh aku datang dari Paris mau melihat dan menikmati Guilin yang
sangat bagus dan indah dan mengesankan ketika tahun 1973 dulu itu, kini
tampak borok-borok yang dulunya tak terlihat atau memang belum muncul.

Cerita kelabu begini belum berakhir! Ketika kami berjalan sepanjang pasaran
yang penuh orang berjualan segala macam, kami tertarik dengan orang
berjualan udang segar yang masih menggelepar! Kalaupun kami membelinya
tentulah kami minta tolong masakkan kepada resto yang ada di depannya.
Setiap resto yang jumlahnya puluhan itu, selalu di depannya ada orang
berjualan segala macam makhluk hidup, seperti ular, ayam, bebek, udang,
ikan, kura-kura, kelinci, burung, belibis, biawak, dan lain-lain. Dan
barangsiapa yang berkenan membelinya bisa langsung dimasak di resto di
depannya itu. Seekor ular kobrapun dijual, dan kalau mau, tunggu barangkan
setengah jam dan kemudian, sudah matang di piring! Kami pernah membeli
ayam-katai yang berkaki-kuning, dan dimasak seperti yang kami mau. Tak
sampai 40 menit sudah lengkap dengan dua tiga jenis masakan ayam-katai itu
tadi!

Ayam yang enak selalu berkaki kuning, dan yang katai, katek-pendek, akan
lebih enak lagi! Filsafat kami
mungkin sudah "turunan dari sononya", pakaian boleh sederhana, tapi makanan
haruslah enak! Barangkali sudah menurun "penyakit" ini dari ayahku dulu
sampai cucuku Loulou yang baru kali ini melihat Tiongkok! Dan terbenturlah
pada suatu kali ketika kami mau membeli udang yang segar menggelepar itu.
Baru saja dibeli orang dengan seharga 5 yuan, tahu-tahu kepada kami
harganya 15 yuan! Kami tanyakan mengapa demikian, baru saja ada orang
membelinya seharga 5 yuan.
"Ya, tapi dia tadi orang Tiongkok, penduduk sini. Kalian orang asing
walaupun bahasanya baik dan bagus. Orang Tiongkok mana banyak uang seperti
kalian! Kalian para turis sudah pasti banyak uang, tidak mungkin harganya
akan sama dengan harga bagi kami", kata sipenjual dengan enteng dan
seenaknya ngomong.

Anakku Nita sudah sangat marahnya, untung saja dia tidak maki, hanya tampak
mukanya merah dan sangat sulit menahan diri. Nita selalu berbahasa Beijing
dengan baik. Melihat kemarahan dan hampir saja seperti mau ngamuk,
sipenjual menurunkan harganya menjadi 10 yuan dan lalu 7 yuan. Tetapi Nita
sudah sangat marah, dan bukan soal jumlah uang lagi perkaranya. Tetapi
sudah menyangkut "agak harga diri" karena seperti dipermalukan di depan
umum, apalagi orang-orang merubungi kami, turis asing yang bukan bule! Dan
kami jadi tontonan. Siang itu kami tak jadi makan, karena terlalu marahnya!
Semua ini kami alami di Guilin, yang tadinya pernah menjadi pujaanku dalam
hati, sehingga kalaupun aku ke Tiongkok, mengunjungi Guilin samasekali tak
boleh dilewatkan. Dan begitu kami menginjakkan kaki dari hari pertama
sampai pulang dengan hati yang dongkol, Guilin kami tinggalkan dengan kesan
yang sangat
tak enak tak sedap. Dulu ketika kami mau ke Tiongkok, ke Beijing, kesan
luarnya, haruslah berhati-hati di Beijing karena ibukota. Ibukota kan
katanya jauh lebih kejam daripada ibutiri. Dan kami "dipersiapkan" bahwa di
Beijing itu banyak pencopet, jambret, kejahatan, penipuan. Okey lah harus
berhati-hati dan waspada. Ternyata Beijing sangat mengesankan, sangat
banyak menemukan kebaikan yang tadinya tak tersangka, yang tadinya penuh
prasangka buruk. Dan dalam hati, pasti akan ada lagi yang jauh lebih baik
daripada Beijing, yaitu Guilin! Ini persangkaan luarnya. Tetapi nyatanya
berbalik, sangat banyak menemui peristiwa yang sangat tak terduga yang
menyakitkan, menyedihkan. Kukatakan kepada Nita,
daripada darahtinggi kita dua-duanya, lebih baiklah kita lekas meninggalkan
Guilin ini.

Dan Guilin yang indah dan bagus itu hanyalah jauh dari tempat penginapan
kami. Namun demikian aku masih mau menambahkan suatu cerita yang cukup
menarik, di tengah Sungai dalam pelayaran yang penuh keindahan, kemerduan
suara para nelayan dengan nyanyian yang berpuisikan sangat menyentuh
hati, tanpa mereka tahu, ada juga para turis yang mengerti apa yang mereka
senandungkan.

Paris 12 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.