Bab 12 :
Mau Lihat, Datanglah!

Setelah sepuluh tahun kami meninggalkan Tiongkok dan berdiam di Paris, ada
keinginan buat melihat Tiongkok, terutama buat ziarah ke kuburan isteri
yang meninggal tahun 1980. Sebelum itu kami banyak bertanya segala
sesuatunya tentang Tiongkok, dan juga banyak menerima masukan
segala macam pikiran. Ada yang berkata agar hati-hati kalau di Beijing
nanti, orang Tiongkok itu sudah banyak berubah, kalau dulu yang penting
adalah persahabatan maka kini yang penting adalah fulus! Dan hati-hati,
kota besar seperti Beijing itu cukup banyak kejahatan, copet, jambret,
rampok dan ya sama sajalah seperti Jakarta
atau Paris, demikian pendapat itu. Dan lagi sekaligus kami mau melihat dan
anjangsono kepada teman-teman tua yang masih tinggal, dan juga mau ke
Selatan, maksudnya ke Guilin. Aku ingat benar ketika aku
pertama kali ke Guilin, tahun 1973. Guilin itu sebuah daerah dan kota kecil
mungil yang nempel di pinggiran Sungai Ciang. Sangat indah, dengan
pemandangan aliran sungai yang berbatu-gunung dan bukit
yang bagaikan batu-apung, timbul dan menyebar indah. Lalu para nelayan
dengan perahu dan burung-penangkap ikannya selalu mendampingi "tuannya,
para nelayan" itu. Dan banyak sekali para penyair yang terilhami setelah
melihat keindahan Guilin yang bak surgawi di bumi. Seorang penyair
Indonesia, yang juga pernah menjadi mahaguru di Universitas Moskow, yang
lalu ngendon karena dipaksa dan dianiaya selama belasan tahun di Pulau
Buru, Buyung Saleh, pernah menulis : "kalau mau lihat hari esok, datanglah
ke Tiongkok"! Itulah sajaknya yang terpendek dan cukup terkenal.

Pikiran kami dipenuhi dengan berbagai macam perasaan dan kekuatiran. Kami
pergi dengan tiga generasi. Seorang cucuku berumur 5 tahun, dan anakku yang
dulu ketika meninggalkan Beijing masih re-
maja putri, dan kini sudah menuntun anaknya, dan aku kakeknya. Kami maksud
pertama mau ziarah, ke kuburan isteriku, ke kuburan ibu dari anakku, dan
nenek dari cucuku. Di Beijing kami bertemu dengan ba-
nyak teman sekerja dulunya, Radio Beijing. Bahkan kami sempat dijamu
makan-bersama oleh badan resmi Radio Beijing, yang dulu boleh dikatakan
yang memutus kontrak-kerjaku dengan rapat hanya selama 10 menit, sebab aku
tak punya pendapat. Kalau orang sudah tak suka, ya harus pergilah! Tetapi
anehnya, sang ibu penguasa akhli-orang-asing itu ketika jamuan itu tak ada
lagi, tak muncul. Ketika kutanyakan kepada teman penterjemah, ke mana
"beliau" dulu itu. Dia tak menjawab dan kelihatannya sangat sukar untuk
menjawab. Ketika kupancing dengan pertanyaan bodohku, "Apa dia sudah
pensiun?
Tak mungkin kan, dia kan masih muda belum sampai umur buat
pensiun?!", kataku. Barulah ada teman yang nyeletuk " Ya bisa saja kan,
pensiun dini, atau dipensiunkan misalnya, atau mengajukan diri buat pensiun
karena ada alasan yang masuk-akal" kata seorang teman pihak Tiongkok. Dan
aku langsung
menjawab buat menyetop pembicaraan, "Oo gitu. Ya ya, betul juga".

Apa yang kami terima lewat pendengaran, percakapan dan berita-berita dari
mulut ke mulut tentang Beijing ketika di Paris, sangat berlainan. Beijing
merupakan kota tidak lagi tertutup seperti dulu, sudah sangat berlainan
dengan Beijing ketika kami masih tinggal di sana. Beijing terutama di metro
bawah tanah,
stasiun metro, sangat bersih, jauh lebih bersih dari di Paris. Tidak ada
sampah menumpuk, lantainya bersih, mengkilat, dan setiap waktu ada petugas
yang membersihkannya. Tanda pengenal ke luar-masuk pintu jelas
tergambarkan, ada huruf latinnya tidak seperti dulu. Sehingga sangat
memudahkan para turis yang samasekali tak mengerti Bahasa Tiongkok. Semua
taksi ada tanda harga per kilometernya berapa yuan setiap kilometernya,
terpampang di atas taksi. Ini hal baru yang kulihat yang di bagian dunia
mana-
pun tak ada. Misalnya ada taksi yang bertuliskan 2 yuan satu kilometernya,
tapi ada juga yang 3 yuan, bahkan 3, 50 yuan satu km-nya. Ada yang 1, 50
yuan. Kita tinggal pilih mau yang mana. Mau yang murah, sudah tentu tidak
akan begitu baik. Ada yang mahal, tentulah dalamnya baik, bersih dan baru.
Semua sudah kami coba. Yang 1, 5O yuan, aduh, sengsara naik taksi itu, amat
pendek hampir menyenggol kepala, sakit badan kita dibuatnya. Nah, yang 3
yuan, bukan main enaknya, sebab Mercy besar yang ditaksikan. Jadi
betul-betul hukum jual-beli cara kapitalistis, dan memang begitulah
keadaannya. Yang murah tentulah tidak seenak yang mahal, wajarlah!

Ketika itu hari tanggal 1 Mei. 1 Mei adalah Hari Raya Buruh, pesta Taman di
mana-mana. Dan hawa Bei-
jing ketika itu amat hangat, di tengah musimsemi, di mana pelbagai bunga
yang warna-warni berhias bersaing indah dan wangi menyebar sekitar. Kami
bertiga cucu-ibu-kakek berjalan mengitari Taman Chung San di sebelah dan
belakang Tien An-men. Mau naik bis, terlalu padat, mau cari taksi tidak
muncul-muncul, karena memang kendaraan lalulintas sangat padat, macet dan
tersendat-sendat. Banyak jalan, agak lelah-letih. Di Beijing setiap halte
bis yang satu dengan yang lainnya sangat jauh. Kalau diumpamakan dengan
Paris, 5 halte bis di Paris sama dengan 1 halte bis di Beijing. Jadi jangan
coba-coba, karena kita tahu tinggal satu halte lagi, baikan jalan kaki
sajalah! Asal saja siap, satu halte bisa itu artinya harus jalan kaki
paling sedikit 20 sampai 30 menit! Melihat kami berjalan sudah tak gagah
lagi, ada seorang pasangan nenek-kakek menegur-sapa kami secara sangat
sopan.
"Kalian mau ke mana? Kelihatannya capek betul ya. Lihat anak lucu satu ini,
sudah merah mukanya. Marilah mampir dulu ke rumah kami. Itu lihat sudah
dekat, sudah kelihatan. Mampirlah minum dulu. Ini kan Hari Raya Buruh
Sedunia, marilah kita mampir dulu", ajak sang kakek. Dan ketika kami jawab
dengan Bahasa Beijing juga, pasangan kakek-nenek itu sangat gembira, dan
dengan keras minta kami mampir di rumahnya. Dan setelah mereka tahu bahwa
kami orang asing, yang datang dari Paris, lebih-lebih lagi mereka merasa
sangat gembira berkenalan dengan kami.
"Samasekali tak ketahuan bahwa kalian orang asing. Bahasanya begitu
baiknya", kata nenek.
Maka kuceritakanlah bahwa anakku ini lahirnya malah di Beijing ini pada
tahun 1964. Dan kami terpaksa
memenuhi harapan dan kebaikan sepasang orang tua itu.

Kami menginap di hotel Bambu. Dulunya adalah perumahan kepunyaan Kang
Sheng. Kang Sheng adalah anggota CC dan Pulitbiro PKT, sudah lama
meninggal. Lalu dijadikan hotel oleh pemerintah. Setelah di renovasi dan
diubah sana-sini, maka menjadi hotel yang sangat bagus dan indah. Menginap
di sini bagaikan tinggal di rumahtangga sendiri, karena suasananya suasana
rumahtangga sangat familaire. Pekerja dan petugas hotelnya sangat baik dan
ramah. Mau bercerita dan mau menjawab pertanyaan kita asal masih dalam
batas kewajaran dan kesopanan. Kalau dulu ketika kami masih tinggal di
Tiongkok, tidak bakalan mendapat jawaban begitu ramah dan menyenangkan.
Benar-benar sudah bersuasana lain.
Mungkin ada alasan lainnya, sebab Beijing baru saja menjadi tuan-rumah
Asian Games ke IX ketika itu.
Kota dan seluruh bagian kota sangat bersih, teratur rapi, dan kami tidak
menemukan copet atau maling atau jambret selama 10 hari kami di Beijing.
Yang paling menyolok yalah sangat ramainya orang di mana-mana. Di resto
ramai, di kereta-api ramai, di jalanan ramai, apalagi dalam bis umum, atau
troli. Dan bahkan untuk ke-----------wc umum saja harus lama antrinya,
ramai yang menunggu giliran, di mana-mana ramai! Maklumlah penduduk
Tiongkok adalah penduduk bangsa dan negara yang paling banyak dan paling
ramai di dunia ini, lebih dari satu milyard orang!

Kami sering "kehilangan Loulou" cucuku yang berumur 5 tahun itu. Tahu-tahu
dia sudah dibawa pergi oleh petugas dan pegawai hotel. Entah ke mana,
mereka main-main di Taman yang tak jauh dari hotel, atau membeli es krim -,
es krim Tiongkok tidak kalah dengan es krim Itali-, dan tahu-tahu sudah
blepotan mukanya penuh dengan coklat dan makanan. Loulou selama 10 hari di
Beijing itu sudah pandai beberapa lagu Tiongkok, dengan Bahasa Tiongkoknya
sekaligus walaupun dia tak tahu artinya. Kalau kami ke resto atau
pertokoan, atau ke mana saja, banyak sekali orang Tiongkok yang
menggosok-gosok alis mata Loulou, sebab katanya hitam benar warnanya, dan
apakah pakai celak, alat penghitam alis. Mereka ingin membuktikan pakai apa
maka bisa begitu hitamnya. Sudah kami katakan, itu adalah warna aslinya,
sejak dia lahirnya.Tidak pakai apapun! Dan mereka barulah percaya setelah
menggosok alis Loulou yang terkadang dia mengerinyutkan matanya karena agak
sakit juga dipijat demikian gemas dan geregetannya. Semua situasi ini hanya
membuktikan saja bahwa apa yang kami terima masukan ketika di Paris dulu
itu, adalah tidak benar. Dan kami setelah beberapa kali datang lagi ke
Tiongkok sesudah itu,
sangat merasakan akan perbedaan kalau kami berada di tanahair sendiri,
Indonesiaku, Jakartaku, Beli-
tungku, bahwa mengapa terasa sekali akan kekuatiranku, ada rasa cemas, ada
rasa takut dan rasa tidak aman selama aku di tanahair sendiri? Mengapa
harus terjadi pada diriku secara begini?! Mungkin karena ada sejarahnya
yang sangat traumatis, yang sangat merasakan mimpi-buruk. Padahal aku
inginnya memeluk-mendekap-merangkul sayang dan cinta kepada tanahairku,
kampunghalamanku, - Dan mengapa aku harus selalu takut, kuatir, merasa tidak
aman, tidak terjamin kalau aku sedang berada di kampunghalamanku sendiri
malah, mengapa?! Memang pernah bahkan berkali-kali aku diikuti para intel,
tetapi mengapa harus mengikuti diriku, - padahal kejadian dan terjadinya
peristiwa itu, samasekali aku tak berada di tanahairku sendiri, yang akupun
tak tahu menahu, lalu apa kesalahanku, dosaku, tokh sejak tahun 1963 sampai
kini, sampai kini aku harus hidup di luar tanahairku sendiri. Semogalah
reformasi sejati dan reformasi total ini akan dapat mengubah sejarah-lama
yang selama ini dibengkokkan, ditekuk, dimainkan semaunya! Semoga!

Paris 11 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.