Bab 10 :
Kehidupan Kolektif

Apakah yang pokok yang kami pelajari secara bersama di pedesaan kami, Desa
Gunung Kepala-Ayam ini?
Kami belajar bersama mengenai pikiran yang selama ini membalut diri kami.
Dan pikiran ini kami periksa
apakah benar dan kalau benar dan tetap benar apa masih sesuai dengan
suasana sekarang ini. Lalu kalau salah, di mana kesalahannya, apanya yang
salah. Misalnya kesalahan teorinya ataukah teorinya benar tetapi
begitu diprakekkan menjadi lain.Kami membahas semua pikiran besar maupun
pikiran kecil yang ada pada kami, sehingga banyak pekerjaan yang ke luar
dari jalur semestinya. Sudah tentu pikiran pokoknya yalah mengenai
garis-garis politik selama ini. Mengapa terpukul, mengapa gerakan ini mundur
begitu merosot, mengapa kalah dan begitu banyak korban sejak tahun 1965 itu.

Gerakan belajar ini kami namakan GPL atau GPF, artinya Gerakan Pembetulan
Langgam, atau Gerakan Pembetulan Fikiran. Sebenarnya gerakan ini adalah
lebih banyak bersifat kritik dan otokritik, memeriksa pekerjaan
dulu-dulunya, memeriksa diri dan organisasi, dan semacam bedahdiri.Setiap
hari seperti layaknya sebuah sekolahan atau akademi, kami belajar
bersama, berdiskusi, memeriksa pekerjaan. Untuk mendalami sebuah
teori, diperlukan banyak bahan-bahan, buku-buku dan ajaran para akhli
filsafat, tidak hanya dari
Marx dan Engels saja, tetapi juga dari Feurbach, Nietsche dan Dimitrov dan
lain-lainnya. Sedangkan tu-
lisan mereka masih dalam bahasa asing, seperti bahasa Jerman dan Russia.
Harus pula kami terjemahkan. Ini artinya ada pekerjaan, seksi bagian
terjemahan, dan lalu untuk itu ada lagi seksi untuk bagian perceta-
kan, sebab harus dicetak, difoto-kopi. Maka pedesaan kami itu bagaikan
sebuah kantoran, atau sebuah sekolahan-akademi. Kesibukan karena belajar
dan diskusi banyak minta perhatian secara khusus, dan kalau sudah memasuki
materi diskusi, akan timbul pergeseran-pergeseran tertentu dalam pikiran
masing-masing. Dan seseorang harus dengan jujur mengemukakannya, secara
terusterang, blak-blakan. Sudah tentu dengan gaya masing-masing teman. Dan
sudah tentu banyak perbedaan pendapat. Maka ramailah suasana, penuh dengan
debat, silang-siur pendapat. Terkadang membawakannya sangat keras, sudah
mengarah ke pertengkaran, bahkan ada terlontar kata-kata kasar dan bersifat
makian. Tetapi karena suasana kami, kehidupan kami jauh lebih baik dan lebih
bebas dari beberapa tahun yang lalu, ketika kami masih di Nanjing, Ciangsu
atau masih di Beijing, pusat ibukota negara, maka sekeras apapun perbedaan
pendapat, masih bisa ditoleransi. Dan kami tetap bisa ngomong satu sama
lain, bisa teguran, bisa bersama-sama dalam kehidupan kolektif.

Suasana selama adanya GPL atau GPF ini sangat melelahkan otak. Setiap hari
bergumul dengan buku bacaan dan dokumen-lama, bahan-bahan perbandingan.
Rasanya begitu ke luar ruangan belajar dan diskusi, terasa segar dan sangat
menyenangkan, karena di luar ruangan yang sumpek penuh bau rokok,
penuh asap, dan "bersih dari polusi kata-kata dan teori"! Waktunya selalu
kami adakan pagi hari, sedangkan sorenya kami
berladang, berkebun, bekerja-badan termasuk menggembala kambing. Nah, ketika
itulah kami merasakan segarnya udara luar, pedesaan kami yang penuh
kehijauan karena hasil kerja tangan kami sendiri. Begitu memandang agak ke
jauhan akan tampak perbukitan, bukit-batu dan
semak-semak hijau dan perkebunan kami yang sudah rampak subur bergayut buah
terong, cabe yang segar-segar dan besar, kemerahan dan hijau-hijau bercampur
merah karena mau matang. Dan merambatlah butiran timun-suri, blewa dan
timun, jagung yang mengeluarkan jenggotnya yang agak coklat. Memandang
kehijauan dan kesuburan itu saja sudah menjadikan kami terhibur.

Kalau kukenangkan kembali kejadian ini, menjadikan diriku tertawa lucu,
mengapa? Kalau kami bersama Mas Bud dan beberapa teman lain mau berenang ke
danau seberang sana, selalu harus melewati kebun timun-suri, blewa itu. Mata
kami lengket saja melihat buahnya yang memancing mata dan gatal tangan
untuk mengambilnya, akan betapa sedapnya nanti sehabis berenang dimakan
bersama tiga empat orang teman. Kami sambil melihat ke belakang kalau-kalau
ada teman lain melihat, lalu dengan cepat memetik dan mencomot buah-buah
tersebut, dan mengantonginya atau memasukkannya ke dalam ransel yang selalu
kami sandang. Yah, bukankah itu mencuri? Mencuri hasil perkebunan kolektif,
yang padahal kema-
rennya kami juga yang mengerjakannya bersama-sama. Bagaimanapun tetap saja
mengambil barang yang
bukan kepunyaan pribadi, dan apakah itu bukan mencuri? Sudahlah, tokh kami
mencuri hasil perladangan sendiri yang kolektif. Dan kami saling tertawa
lucu jadinya. Akh, sangat ngenes dan sedih,
Mas Bud meninggal tahun lalu karena kecelakaan, kami semua bersedih hati.

Di pedesaan ini bagaimana maka aku menjadi lebai atau gelaran Pak Haji yang
tukang-potong kambing.
Aku sendiri lupa-lupa ingat. Yang kuingat ketika mula-pertamanya, ada
maksud kami mau motong kambing, tetapi siapa yang akan berani atau mau
serta bersedia memotongnya belum lagi tahu. Ketika itu aku mengajukan
diri, "baiklah saya saja" kataku spontan saja. Dan sejak itulah aku punya
jabatan baru, sebagai tukang-potong kambing, jagal-kambing istilah kasarnya.
Hari di mana hari-potong-kambing itu adalah pekerjaan besar-besaran dan
penuh kesibukan kerja. Sebab kambing yang akan dipotong itu sebanyak 5 ekor
paling sedikit, dan 7 ekor paling banyak, dan memang rata-rata 6 ekor. Potong
kambing tidak hanya memotongnya saja, tetapi juga
mengulitinya, membersihkannya, memotong bagian-bagiannya, dan mengumpulkan
serta membersihkan lapangannya. Tidak ada orang yang hanya bekerja di satu
bagian saja, harus merangkap yang ada saling hubungannya. Bagian
masak-kambing memang bagian
seksi masak dan seksi konsumsi, makanan.

Kalau sudah hari potong kambing, jam-kerjaku di mulai pada jam 05, 30 pagi.
Pada jam 06, 00 harus sudah siap di lapangan potong, dengan sebilah pisau
yang sangat tajam. Pisau ini pisau khusus buat potong kambing, karena itu
selalu ada padaku, di rumahku, dan selalu aku sendiri yang mengasahnya.
Suatu kali sempat juga aku terpikir, terlalu banyak potong kambing dan
terlalu tertumpu hanya kepadaku seorang saja, jangan-jangan nanti dalam
mimpi akan motong kambing lalu terpotong pada orang, atau pada diri
sendiri. Ngeri juga akh! Tetapi segera pikiran itu kulawan! Sukurlah selama
aku menjadi lebai atau Pak Haji jagal-kambing ini aku sudah memotong
kambing sebanyak 94 ekor, dalam jangka waktu selama 7 tahun, untung saja
aku punya catatannya. Potong kambing tidak tentu waktunya, terkadang tiga
empat bulan satu kali, terkadang sampai 6 bulan baru potong kambing,
tergantung kambing kami juga. Kalau banyak teman minta potong kambing, dan
kami setuju, ya potong saja, tetapi tetap berdasarkan kenyataan keadaan
kambingnya sendiri. Misalnya kami merasa kawanan kambing itu sudah terlalu
banyak atau memang sudah waktunya potong kambing karena mau makan
sate, gulai dan sebangsanya. Kawanan kambing sudah kami anggap banyak kalau
jumlahnya lebih dari seratus ekor. Bila sudah melebihi angka itu, sebaiknya
ada yang dipotong. Dan teman penggembala biasanya tahu benar mana
kambing sehat dan mana yang sebaiknya dipotong duluan.

Di pedesaan kami, asrama itu terbagi dua blok. Blok A terdiri dari
orang-orang muda yang bujangan. Atau orang tua yang juga tidak ada
keluarganya. Blok B terdiri dari orang-orang yang berkeluarga, ada
anak-anaknya, rumahtangga. Orang-orang muda yang penuh dinamis dan selalu
gembira ini, selalu dengan semangat menggebu-gebu ini, biasanya akan datang
padaku dan selalu berkata bila sedang hari potong kambing, " jangan lupa ya
mas ya nanti, kebijaksanaanlah, ya kayak biasalah", katanya sambil
mesem-mesem. Aku harus tahu itu artinya aku harus memisahkan daging kambing
yang mereka sukai, terutama jeroannya. Mereka ingin masak secara sendiri,
yang pedas dan berbumbu "istimewa". Aku dengan senang hati memisahkan
"kebijaksanaan" tadi itu. Herannya aku, semua ini teman pria, tetapi kenapa
ada beberapa teman wanita justru yang berkata padaku begini, "Mas, tolong ya
nanti, biasalah, peluru dan senapangnya itu lho. Tapi tolong sembunyiin
deh, jangan sampai tahu orang lainlah", kata wanita yang bersuami itu. Ada
keheranan padaku, kenapa yang minta ini justru sang isterinya, kenapa tidak
suaminya. Tapi sudahlah, tak perlu diusut, kan kita dalam gerakan GPL - GPF
kan! Apa itu benda jangan lupa tadi? Kemaluan kambing, senapang dan
pelurunya itu, tentu pembaca tahu kan? Dan yang minta kebijaksanaan begini,
soal meriam dan pelurunya tadi itu, tidak hanya satu keluarga! Artinya aku
harus bagi-bagi antara mereka. Oh, ini termasuk demi kepentingan rasa-aman
dan rasa-sedap kekeluargaan mereka, dan aku harus turut melindungi keadaan
begini.

Rasanya gatal mulut ini mau mengatakan, bahwa peluru dan meriam kambing itu
hanya enaknya saja, tapi mungkin tak ada pengaruhnya buat kedahsatan seks.
Tapi pula untuk orang yang percaya sudah tentu menjadi semacam kekutan
psychologis, secara kejiwaan saja, bukan secara physiologis-biologis.
Memang ada pengaruhnya juga, karena daging kambing panas dan hot. Tapi
menurut "pengalamanku" jenis daging kambing itu hanya gertak dan keberanian
serta kekuatan sementara saja. Hanya sekedar perang cepat selesai! Kalau
mau perang-tahan lama, dan "mempermainkan" musuh dengan agak semau dewek,
makanlah wortel mentah, kalau dapat jus wortel mentah itu! Semua bahan
makanan dan obat-obatan yang bagaikan menunjam ke bumi dinamakan
pasak-bumi, nah itu kalau mau perang-tahan lama. Termasuk jinsom yang
tumbuhnya menunjam dalam tanah, ya juga wortel itu. Ingat bagaimana jalannya
seekor ikan kuda-laut? Juga "berdiri-tegak" bila ikan kuda-laut itu
bergerak dan jalan, dia selalu tegak berdiri, nah itu dia! Jenis
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, obat-obatan yang menyerupai organ manusia,
akan menuruti sifat alamiah dan naluriah manusia, dan bisa menjadi obat
buat penyakit yang berkepentingan. Misalnya buah tou, rupa-dalamnya
berkeriput, berjalin dan berkotak-kotak terbagi dalam sel-sel, bagaikan
otak manusia. Nah, buah tou sangat baik buat kesehatan otak. Juga buah
jambu-mente, atau istilah kami di kampung, jambu-monyet, lihat rupa bijinya
itu. Bukankah sebagai belahan buah-pinggang atau nir? Nah, buah atau biji
jambu-mente itu baik buat kesehatan nir, buah-pinggang. Coba perhatikan
telinga manusia. Rupanya bagaikan seorang bayi yang letaknya dalam
kandungan. Pada daun telinga itulah paling lengkap gambaran anatomi seorang
manusia. Semua titik tusuk-jarum buat akupungtur ada pada sebuah telinga
manusia. Hanya kenapa agak kurang orang menujukan ke titik itu? Karena
titiknya terlalu kecil dan rumit, dan juga bukankah ada titik lainnya yang
juga sama fungsinya dengan titik di telinga itu?!

Jadi tidaklah benar-banyak apa "khasiat" meriam dan peluru kambing itu.
Boleh-boleh saja kalau sekedar
mensugesti dirisendiri. Karena itu aku "sebagai penguasa kerajaan
perdagingan kambing" ini tidak pernah mengambil "kebijaksanaan" seperti
yang diharapkan banyak teman pria dan wanita demi untuk suaminya itu. Bukan
karena mau sok berteori "tidak mementingkan diri sendiri", tetapi karena
aku tahu dan punya sedikit pengalaman bagaimana kalau mau "perang-cepat
selesai" bagaimana kalau mau "perang tahan-lama". Bak kata akhli strategi
dan taktik perang zaman Tiongkok lama, Sun-Tze, "kenalilah diri-sendiri,
kenalilah musuh, seratus kali berperang niscaya seratus kali menang", dan
itu benar, terbukti.
Dan kami sambil tertawa dan senyum berarti ketika kubungkus baik-baik dan
hati-hati peralatan perang tadi itu, - meriam dan peluru kambing, - entah
akan dimasak dengan cara apa, tak tahulah aku. Dalam hatiku turut
mengharapkan dan mendoakan agar mereka menikmati kehidupan berkeluarga ini.

Pada lain kesempatan potong kambing lagi, suara itu selalu terdengar "
jangan lupa Mas ya, kebijaksanaanlah, tahu sama tahulah, nanti kita makan
di rumah kami saja" kata seorang teman pria yang kukenal baik. Ketika ada
suara seperti biasanya itu, "Mas jangan lupa ya, ya biasalah meriam beserta
pelurunya", kata seorang wanita dengan agak pelan mengucapkannya bagaikan
bisik-bisik, dan tentu saja tidak akan berkata seperti teman pria tadi itu.
Tidak akan berkata " nanti makan di rumah saya saja ya", mbok yang dia
perlukan justru khusus buat sang suami berdua saja, siapa tahu kepada
anaknya sendiripun mereka rahasiakan, dan wajar kan!?

Betapa enaknya dan mesranya persahabatan antara kami selama di desa itu
dulu. Kini telah menyebar ke berbagai negeri, entah di mana, entah kapan
lagi bisa bertemu, yang tentunya sudah pada tua, kakek-kakek dan nenek,
termasuk nenek yang minta meriam dan peluru kambing itu dulu.-

Paris 10 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.