Bab 3 :
Kehidupan di Desa

Kami menjalani kehidupan dengan jadwal yang sebenarnya sangat teratur.
Pagi-pagi bebas olahraga. Ada teman yang jalan-pagi selama 1 sampai 2
jam, ada yang jogging, ada yang taiqiquan dan senam biasa. Lalu jam
makan-pagi. Lalu jadwal umum, belajar, diskusi, belajar-bahasa, dan belajar
yang lainnya. Jam makan-siang, lalu istirahat sebentar. Dan sesudah itu
jadwal-sore. Jadwal-sore, kami berkebun, beternak, menggem-
balakan kambing. Berkebun termasuk segala sesuatu yang menyangkut
perkebunan, misalnya memupuk, menyiangi, memanen, atau semua pekerjaan yang ada
kaitannya dengan perkebunan.

Kebun kami cukup baik. Subur, berbuah lebat dan besar-besar. Jenis
tanamannya, cabai(cabe), timun, ti-
mun-suri, wortel, ubi-jalar, jagung, kentang dan lain-lain. Pernah kami turut
bersawah, bertanam-padi, teta-
pi bersawah ini bukan bagian kami. Kami hanya membantu dan sambil belajar
bersawah kepada penduduk setempat. Berkebun begini kalau dilakukan
sungguh-sungguh memang cukup berat. Memikul pupuk, koto-ran manusia(tinja)
dari kakus umum yang jauhnya sekira 200 meter, kalau dilakukan berkali-kali
selama setengah-jam saja, capeknya bukan main. Apalagi rata-rata kami
bukanlah berasal dari petani ketika di tanahair dulu. Dan lagi umur kami
sudah berkepala 4 menjelang 5 bahkan ada yang sudah 5 dan 6. Tentu saja
oleh teman-teman muda takkan dibiarkan bekerja berat yang sama dengan
mereka.

Teman-teman muda itu disamping tenaganya masih kuat, juga semangatnya selalu
menggebu-gebu. Rata-rata mereka baru saja menamatkan pelajarannya di
berbagai negara-sosialis. Mereka itu lulusan sarjana
tehnik, perlistrikan, bangunan-sipil, pharmacien, kedokteran, sarjana-ekonomi, bek
as dubes, pekerja-internasional, mahaguru, dan lain-lain. Ada beberapa tenaga
muda yang baru berumur 20-an, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Ini artinya
kalau ditinjau dari sudut sejarah, tenaga muda yang berumur 20-an i-
tu, baru saja mau mulai kuliahnya, maka terjadilah peristiwa-besar nasional
itu, 1965, - Dan seperti kebanyakan kami, mereka tak bisa pulang, tak mungkin
pulang. Karena paspornya dicabut oleh KBRI di mana dia pernah tinggal.
Sebab semua KBRI sudah di-calling rezim Suharto-Orba-Abri, agar orang-orang
tertentu yang dianggap PKI dan Sukarnois-demokrat, dicabut paspornya dan
tidak boleh pulang. Kalaupun pulang berarti masuk-perangkap. Karenanya
teman-teman itu memilih tidak pulang, dan bergabung dengan teman-teman
senasib lainnya.

Aku pernah bekerja memikul tinja ini. Pekerjaan ini memang sangat berat.
Apalagi dengan tenaga tua seperti diriku ini. Dan lagi kesehatan tidak
begitu baik. Tahun 1957 aku mulai mengidap hipertensi dan sampai detik ini.
Maka tidak heranlah sesudah lama bekerja pikul-memikul begini, jatuh
sakit, darah lebih dari 220/130, dan satu bulan masuk sanatorium. Sesudah itu
banyak teman menyarankan agar aku memilih pekerjaan ringan. Misalnya bagian
mencabut rumput. Teman-teman itu memang maksudnya baik, selalu memperhatikan
keadaan kondisi kesehatan kita. Tetapi akhirnya akupun harus
berterus-terang, bahwa untuk pekerjaan cabut-rumput itu sangat berat. Ada
yang tanya, lalu apa dong yang ringan-nya?! Kukatakan pekerjaan yang ringan
buatku yalah cangkul-mencangkul. Banyak teman merasa heran. Dan
kukatakanlah rahasianya! Mencabut rumput itu harus jongkok, agak
nongkrong, jadi perutku yang agak buncit ini terpaksa ketekuk dan
berlipat, dan aku tersiksa sangat. Orang gemuk janganlah diberi pekerjaan
yang jongkok-jongkok, tersiksa perutnya!

Dan semua teman lalu mengerti, dan akupun menjadi petani cangkul-mencangkul.
Pekerjaan inilah yang sebenarnya sangat sesuai denganku setelah "menilik
dan meniliti" perawakan tubuh! Hasil perkebunan kami memang bagus dan
hasilnya menggiurkan penduduk di sekitar perkampungan kami. Karena itu
ketika kami panen, wartel, kentang, cabe, ubi dan jagung, pihak Markas Barisan
sebagai Tuan-rumah kami, mengundang berbagai kesatuan brigade-produksi untuk
menjual hasil tanaman kami. Sedangkan yang lainnya untuk keperluan dapur
buat makanan kami sendiri.Sudah tentu hasil penjualan itu bukanlah masuk
kantong kami. Tetapi kami tahu berapa hasil uangnya, karena semua
perbelanjaan dengan sistim pembukuan-terbuka. Dan semua itupun pada setiap
bulan selalu diumumkan berapa uang masuk dan berapa uang keluar, dengan
kertas tebal tercatat di dapur, setiap orang bisa melihat dan memeriksa dan
kalau ada pertanyaan atau pendapat bisa mengajukannya ke Kepala Barisan
Produksi.

Kami setiap rumahtangga yang berkeluarga, selalu punya kebun-kecil di
halaman pekarangan rumah. Kebun ini isinya sesuai dengan "isi kepala si
tuan-rumahnya" . Misalnya rumah kami banyak tanaman bunga, karena isteriku
suka akan berbagai jenis bunga, tetapi karena aku punya selera lain, maka
bagiku yang penting yalah cabai yang pedas, serai, laos, jahe. Yang satu
sifatnya rupa dan wajah, yang satunya lagi rasa dan selera. Tetapi tak ada
pertentangan keduanya, karena saling menghormati dan menghargai. Hanya kalau
sudah soal siram-menyiram, maka akan ketahuan, siapa yang menyiram punya
siapa duluan. Aku tentulah akan menyiram cabe, seraiku dulu. Lalu nanti
barulah berjenis bunga itu. Dan memang, perkebunan "pemerintah atau
kolektif" jauh kalah bersaing dengan perkebunan "swasta" di rumah pribadi
masing-masing. Mengapa? Sudah menjadi adat-kebiasaan barangkali, bahwa
kepunyaan pribadi tentulah akan lebih disayangi daripada kepunyaan bersama
dan umum. Tetapi kalau ini kukemukakan kepada teman-teman tertentu yang
semangatnya menggebu-gebu atau sedikit agak kekiri-kirian, tentulah diriku
akan dapat gelaran "seorang revisionis, atau oportunis, atau egois" pokoknya
yang is is-lah ujungnya!

Bagaimana tidak akan subur, pupuknya saja dari kotoran-ayam dan kambing.
Menurut guru-pertanian kami, pupuk atau kotoran-ayam jauh lebih baik buat
tanaman percabean, perjahean, dan serai. Maka tanaman serai dekat dapur kami
jauh lebih tinggi dari orang. Dan pernah kuekspor ke Vietnam! Karena
kebetulan ada teman-teman dari Vietnam yang sedang berkunjung ke
Ciangxi, kukirimi dan kutitipkan berjenis cabe dan serai serta laos dan
jahe. Jadi tanaman-pribadiku sudah berkategori "tanaman eksport".

Untuk apakah tanaman dan hasil tanaman pribadi di depan atau sekitar rumah
ini? Sebenarnya tak ada keperluan khususnya, hanya menyenangkan hati saja.
Kalaupun digunakan, hanya sedikit, sekedar menyalurkan hobby saja. Sebenarnya
diam-diam kami juga sering masak-sendiri, namanya merevisi makanan. Masakan
kantin buat kolektif ramai-ramai begitu kalau lama-lama ya bosan juga. Maka
timbullah ide, membawa bekas makanan, atau daging atau ikan, sampai di rumah
"direvisi" dengan gaya kita, gaya sendiri, gaya melayu, sesuai selera.
Nah, disinilah cabe tanaman sendiri yang sangat pedas itu, dan serai serta
laos, jahe berfungsi sangat kuat! Diri kita menganggap akan melakukan suatu
pekerjaan gelap-gelapan, yang terlarang sih tidak, tetapi boleh dikatakan
"tidak disiplin", ideologinya tidak kuat, atau nah yang begini ini sumber
bibit revisionis itu! Nyatanya teman lainpun begitu juga! Masing-masing
melakukan "pekerjaan-gelap" begini, tetapi masing-masing pada
berdiaman, berrahasia, ternyata sama-sama berbuat demikian. Dan begitu saling
tahu, pada senyum kalau bertemu di jalanan. Teman yang semangatnya
menggebu-gebu yang agak sedikit-banyak kekiri-kirian, akan mengecap dirikita
sebagai kaum revisionis. Orang yang semangatnya masih
borjuis-kecil, non-proletariat, atau tipe akan lekas menyerah kepada
musuh, demikianlah tuduhan sementara teman itu kepada orang yang berjenis
seperti
diriku ini. Ada pula yang berpendapat, mana bisa orang begini mau
berrevolusi, mana pula akan ingat akan kawan-kawan di Pulau Buru! Dan segala
macam tuduhan, padahal hanya sekedar masak-masakan kecil yang sesuai selera
kita saja adanya.

Oleh sebab berbagai macam bentuk dan jenis kontradiksi, oleh hal-hal kecil
yang sangat remeh-temeh, maka dengan adanya perilaku kedua pihak
begini, kehidupan menjadi tidak senyaman dulu lagi. Itulah sebabnya kami
pernah menamakan kehidupan kami dulu itu, dari belajar ke belajar tetapi
masih tetap saja "kurang-ajar" dan kami ini alumni atau tamatan
universitas-idelogi dari fakultas-kontradiksi, yang takkan mendapatkan
diploma apapun.

Kalau malam, mungkin sekedar membunuh-waktu banyak teman menjadi anggota
Golkar. Apa pula itu? Golkar adalah golongan-kartu, teman-teman yang selalu
keasikan main kartu, dan kecanduan main kartu-,
karenanya lalu dinamakan golkar. Orang yang selalu makan di rumah tidak di
kantin secara bersama-sama, akan ditegur, "hey, makdirumnih", maksudnya hey
makan di rumah nih, dengan agak menyindir dengan agak sinis walaupun cukup
tipis! Di kalangan kami sangat banyak singkatan, sehingga kalau tidak
mengikuti perkembangan hidup kolektif begini akan ketinggalan. Nasgor
adalah untuk nasigoreng, nasgordas, adalah nasi goreng pedas, tembur adalah
tembak-burung. Seorang sedang mengambil atau menjemput sambal, ada yang
ngomong di belakang kita sambil agak bercanda, suksam juga ya
rupanya, suka-sambal juga ya rupanya!

Dalam olahraga, aku termasuk golongan jalgi, jalan-pagi, tapi juga taiqiquan
yang tak ada atau sulit menyingkatkannya. Kalau sore tak ada
jadwal-perkebunan, kami main volley, badminton, main bola, pingpong dan
berenang, di danau yang airnya butek, sama-sama kawanan kerbau kepunyaan
penduduk setempat. Dan pada hari-hari tertentu kami mengadakan
malam-pertunjukan deklamasi dan drama, tarian, dan nyanyian. Bukan main
hebatnya sementara teman-teman tertentu, sangat kreatif dan berseni-tinggi.
Ada sebuah rongsokan mobil-tua yang hampir karatan. Oleh beberapa
teman, besinya dipotongi, dilas, dijadikan alat musik-klenengan, gambang yang
bisa memainkan musik-Jawa yang bagaimanapun, artinya termasuk
slendro-patet-manyuro dan sebagainya. Dan gilanya lagi, aku termasuk salah
seorang penyanyi anggota panembromo, yang kata-kata Jawanya aku tak ngerti
dan tak tahu, tetapi bisa menyanyikannya! Pekerjaan gila begini, agar
dirikita tidak gila sesungguhnya, mencari kesibukan dengan berbagai cara
yang normal dan yang ada gunanya.-

Paris, 5 April 99

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.