Bab 2 :
Temanku KOKO

Setelah bertahun-tahun kami bersama hidup di suatu desa yang termasuk
terbelakang, di sebuah perkampungan, asrama yang sebenarnya sangat baik, maka
tibalah masa berpisah. Koko temanku mendapat tugas yang entah ke mana, yang
kami tidak boleh tahu walaupun pada akhirnya ya tahu juga.Dan
aku, sekeluargaku, setelah isteriku meninggal di Beijing pada tahun 1980, juga
pergi dari Tiongkok. Semula samasekali tak ada bayangan akan sampai di
Perancis, karena kami tadinya mau mencari kehidupan di sebuah negeri yang
berbahasa Inggeris. Misalnya di Australia, Canada, Hongkong atau lainnya.
Tapi nasib rupanya berkata lain, dan setelah bertahun-tahun di Perancis
malah merasa "beruntung" tidak jadi ke Hongkong dulu itu. Karena kehidupan
di Hongkong jauh lebih berat daripada di Perancis. Setelah kami mulai
menancapkan diri dengan kehidupan di Paris, mendirikan sebuah resto atas
hasil kerja-keras dan usaha sendiri, maka mulai berjalan kehidupan "yang
normal".

Dan teman-teman yang dulu "satu kandang, satu kampung" yang kini
bertebar-biar di Eropa, di Jerman, di Holland, di Swedia dan Eropa Timur, pada
ketemu lagi. Ada yang bertemu ketika kebetulan bertahun-baru di
Jerman, Bieleveld dan juga ketika di Amsterdam di Holland.Pada pertemuan itu
kami saling bersalaman dan berpelukan, karena sudah belasan tahun tak
bertemu. Rasanya sangat mesra mengenangkan masa dulu-dulu itu.

Tetapi yang pernah kualami di Amsterdam ada seorang teman yang dengan agak
kasar tidak mau menyambut salam tahun-baruku. Sebenarnya aku memang tidak
kenal dengan teman itu. Siapa saja yang pernah datang atau berdiam di
Tiongkok, aku selalu tahu siapa orangnya. Karena aku di Tiongkok cukup
lama, selama 18 tahun! Sedangkan orang yang mau kusalami itu adalah yang
selama ini berdiam di Uni Sovyet(ketika itu) dan tak pernah ke Tiongkok.
Sebenarnya aku benar-benar tidak sakit hati, tidak dendam, tetapi selalu
bertanya dalam hati ini, kok tega-teganya menolak ajakan salam padahal
waktunya dan suasananya sangat baik, pada hari baik, bulan baik, tahun
baik, kata kami orang-orang kampung.

Dan bagaimanakah ceritanya maka aku sampai di Holland itu? Suatu waktu Koko
datang ke Paris, dan langsung menuju resto kami, karena dia tahu aku bekerja
di sana. Dan kami bertemu dengan sangat gembira, berpelukan dan kembali
saling mengenang cerita lama, termasuk soal burung balam dulu itu!
Dan kami saling berjanji bahwa aku akan ke tempatnya di Stuttgart, Jerman.
Dan akupun memenuhi janji itu. Itulah kisah bertemunya kami dan pergi
bersama mobil pribadinya, sebuah BMW, di mana dia memang bekerja di pabrik
BMW di Jerman.Dan dengan BMW itu kami berdua berangkat ke Holland dari
Stuttgart, dan pada akhirnya menjalani Perancis dengan mobilnya itu.

Teman-teman "kaum pelarian politik" yang di Eropa ini, memang paling sulit
hidupnya, paling harus kerja-keras secara plus, adalah kami yang di Paris.
Mengapa? Kami harus cari kerja sendiri, dan jaminannya tidak sebaik
teman-teman di Holland dan Jerman. Di Holland penganggur seumur hidup tetap
bisa hidup, tapi jangan coba-coba di Perancis! Juga dalam jaminan dan gaji
di Jerman jauh lebih baik daripada di Perancis. Ini sorry ya, bukan keluhan
tapi memang begitulah kenyataannya, dan maksudku bukan mau
gugat-menggugat, tapi sekedar cerita sajalah. Sebab bagaimanapun, tokh aku
dan kami tidak pernah menyesali akan jalannya kehidupan kami dari dulu
sampai sekarang.

Dan kami berdua Koko selama hampir satu bulan itu telah banyak mengelilingi
tanah Jerman, Holland dan Perancis, berdua saja dengan sedannya yang
menurutku betapa bagusnya, mewah dan kerennya. Sukurlah temanku itu, yang
tadinya hidup di dunia ketiga yang cukup miskin kini sudah punya mobil
mewah menurut ukuran kami di Paris.Yang dulunya menjalani
hutan, gunung, lembah, bertani, beternak sebagai penggembali kambing, kini
hidupnya antara kota di Eropa, kan hebat kan!

Sambil menyetir yang aku di sebelahnya, selalu dapat "perintah" darinya agar
putar musik, lagu ini, lagu itu.Ada dan banyak lagu-lagu yang aku sangat
suka. Ada lagu yang sairnya tentang Kali Progo, dinyanyikan seorang
pria, kalau tak salah namanya Fendy, aku lupa. Kalau hanya Ebiet, itu memang
kesenangan kami sejak dulu. Lalu si hitammanis Hetty Kus Endang, lalu aku
paling suka suaranya Arie Kusmiran. Lagu-lagu itu sangat kusenangi. Kalau
bosan lalu Koko bilang, ayo putar Rolling Stone, atau putar ABBA, atau mana
kasetnya Whitney Houston. Dan aku sebagai , entah ko-pilotnya entah apanya.
Tapi kami penuh dengan kegembiraan. Dan kenapa ya, ini selalu jadi
pertanyaanku, kenapa kalau kebetulan kami berhenti karena lampu merah, di
mana juga banyak kendaraan lainnya, lalu Koko bilang. Keraskan sedikit
suaranya! Padahal menurutku suara musiknya sudah cukup keras, apalagai kalau
hanya untuk didengar kami berdua saja dalam mobil itu.

Dan kalau kebetulan kami berhenti karena lampu merah, dan beberapa meter ada
sedan lain yang penyetir dan penumpangnya wanita, dan bila cantik, maka Koko
akan bilang. Cepat pasang kaset Abba atau Rollingstone! Cepetan, selagi
mereka lihat kita itu! Keraskan suara musiknya agar mereka dengar! Maka
akupun memenuhi suruhannya. Tapi sebenarnya aku kurang sreg. Lah, ngapain
sih perduli amat dengan wanita itu, dan tokh tak ada gunanya. Walaupun
mereka dengar, tapi kan hal-hal biasa saja itu. Dan begitu
jauh aku berpikir tentang perkara ini. Kataku dalam hati, aduh
Koko, bertahun-tahun hidup di negeri dunia
ketiga yang begitu ketinggalan, begitu terbelakang. Dan kini kamu hidup di
negeri yang sangat maju industrinya, lha kok masih juga berpikir secara
kampungan dan primitif. Dan ketika kuajukan masalah ini, ternyata Koko agak
marah juga padaku. Dan aku tidak ambil-hati, biasa-biasa saja.

Ketika kami di Holland, di rumah seorang teman lama Koko, kami sempat menyewa
perahu dan berdua berperahu di tali-air yang begitu banyak di Holland. Koko
mengayuh, terkadang pakai mesin-motor, sedangkan aku mengendalikan kemudi.
Kami duduknya berhadapan, saling bisa memandang muka. Dan ketika hampir saja
akan ke pinggir dan menubruk tepian, cepat Koko memerintahkan, "ke
kiri-----, kiri cepat". Tapi karena aku hanya mendengar perintah itu
saja, sedangkan kami berhadapan, bagaimana akan tahu kiri dan kanannya karena
akan saling bertentangan, sebab kami berhadapan. Kiri dia bukankah kanan
saya, dan sebaliknya. Maka perahu itupun menubruk tepian. Bukan main
marahnya Koko kepadaku.

"Bagaimana revolusi mau menang kalau cara kerja begini saja sampeyan sudah
salah besar! Bagaimana partai punya kader seperti sampeyan ini, rata-rata di
bawah minimum, hancurlah revolusi dibuatnya! Ini pencerminan dari partai
kita dulu itu! Kadernya pada bego, maka beginilah kita, kalah
melulu!", katanya terus merepet ngomel. Dan aku sementara diam saja. Tapi
sudah mulai panas juga dibuatnya. Karena dia
menuduhku kader bego, di bawah minimum. Yang aku mau
klarkan, klarifikasikan, perkara ini, perkara kader tadi itu.

Dan aku minta "berlabuh" di tengah sungai yang lebarnya beberapa meter itu.

"Tidak perlu", katanya.
"Sangat perlu", kataku.
"Lantas sampeyan mau apa?", katanya.
"Aku mau menjelaskan, kenapa sampeyan sampai terpikir soal revolusi
segala, kalah melulu segala, padahal hanya soal nubruk tepian begini saja.
Lalu kalau sampeyan mau tanya, saya mau apa, semua apa dan bagaimana saya mau
untuk ini. Apa saja mau, dari halus-halusan sampai yang paling kasar
sekalipun", kataku sangat sukar menahan kemarahan.
Rupanya dia tersentak juga mendengarkan ini. Kujelaskan agar dia tahu, bahwa
aku tak pernah jadi kader seperti dia. Aku tak pernah jadi pimpinan apapun.
Di Lekra-pun aku hanya anggota biasa, samasekali tak pernah jadi pimpinan
apapun, anggota pleno apapun. Apalagi di partai dan ormasnya, samasekali tak
pernah. Aku bergerak di badan persahabatan, itu benar. Ketika Prof Prijono
jadi ketua Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok, aku jadi sekretarisnya.
Juga ketika Pak Djawoto ketua Lembaga itu, akupun sempat jadi sekretarisnya.
Juga ketika Henk Ngantung, yang gubernur DKI Jakarta-Raya, akupun sempat jadi
sekretarisnya. Dan menurutku badan Lembaga Persahabatan itu tak ada
bau-baunya secara langsung akan mempengaruhi jalannya revolusi! Ini yang
akau mau klarkan dengan Koko, agar dia tidak lagi sembarangan ngomong.

Dan ditengah-tengah sungai itu, kami berdiskusi, berdebat dan bertengkar.
Bahkan sebenarnya pikiranku begitu terbelakang dan keliru, sebab sampai
berkelahipun akan kuladeni. Gila kan! Koko memang orangnya kecil. Tetapi
keberaniannya luar biasa, berani berkelahi dengan siapa saja, segede apapun
badan lawannya, dengan senjata apapun. Kalau sudah marah ketika
berdiskusi, matanya yang bundar itu seakan mau ke luar, bagaikan mata
kepiting. Merah menyala, penuh sinar semangat api. Dan kalau sudah naik
ampernya, hangat-panas, maka air-liurnya sering-sering berhamburan karena
sangat semangat mengucapkan kata-kata kemarahan dan ketegasannya.

Aku tidak tahu apakah ada orang lain melihat kelakuan kami berdua di tengah
sungai itu. Dan aku tak dapat membayangkan sekiranya kami masing-masing tak
dapat menahan diri, betapa jadinya, dan betapa malunya. Sukurlah entah
darimana asalnya maka kami berdua tersadar, setelah berapi-api saling
menyemprotkan kemarahan, terkadang terselip makian, berangsur api kemarahan
masing-masing itu menyusut dan akhirnya bisa padam sendiri. Dan kami saling
mengurut dada, menarik nafas panjang, saling memandang, tetapi sudah tak ada
apinya lagi.

Dia berjanji tidak akan menyebut kata-kata kader lagi, dan akupun berjanji
tidak akan berbuat berlaku seperti layaknya mau habis-habisan saja. Sejak
itu, ketika kami menuju Paris, aku mengulangi lagu Kali Progo yang di
sana-sini diselingi bunyi air yang membanjir, berkecipak menghanyutkan, bagus
dan plastis benar bunyinya. Dan diselingi suara Arie Kusmiran "Kaulah
segalanya", membuat kami terasa muda kembali, segar dan dunia terasa bersinar
dan tetap punya harapan-harapan tertentu.

Paris 4 April 99

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.