Bab 1 :
Temanku KOKO

Kami tinggal jauh sekali dari ibukota provinsi Ciangxi, Nanchang, ratusan
kilometer jaraknya. Pada hari-hari biasa kami menggunakan waktu buat
belajar dan berkebun, bertani, beternak. Pada hari Minggu, nah, pada hari
inilah yang kami tunggu-tunggu. Rasanya kami berharap dan berdoa betul, agar
pada hari itu jangan hujan, agar ada mentari yang bersinar-terang keemasan.
Hari Minggu adalah hari istirahat, hari bebas melakukan kegiatan pribadi.
Dan kami, orang yang berjenis seperti aku ini, yang bukan kutu-buku, bukan
pula kutu-kerja, sudah punya rencana masing-masing.

Hari Minggu bagi kami adalah hari-nembak. Kata seorang
teman, hari-tembur, artinya tembak-burung. Kami punya tiga tim.
Tim-penembak, Tim-penyiang(tukang siangi dan cabut-bulu) dan Tim-masak.
Mengapa begitu banyak dan tampak rumit? Sebenarnya tidak begitu. Ini hanya
sekedar pembagian kerja saja. Jangan sampai semua mau nembak, lantas kalau
begitu banyak dapat, mau diapakan itu burung yang ratusan banyaknya. Lantas
siapa yang mau mengerjakan buat masaknya, mau diapakan. Ini pekerjaan orang
gila!
Tapi daripada kita sendirinya yang gila, lebih baik pekerjaannya saja yang
gila! Aku termasuk dalam Tim-penembak ini.

Tim-penembak tidak selalu sama jumlahnya. Terkadang sampai belasan
orang, terkadang hanya 7 sampai 8 orang. Senapang yang kami gunakan yalah
senapang mimis 4,5 khusus untuk burung. Sebenarnya kami sangat ingin punya
senapang yang 5,5, agar bisa nembak pelanduk atau kancil, tapi senapang itu
tidak dijual secara umum. Burung yang selalu ada dan selalu kami bawa
pulang, yang terbanyak adalah tekukur, ketitir dan balam, lalu
jalak, kepodang, burung-gereja, termasuk merpati liar, dan beranjangan.
Sebenarnya nama-nama burung itu banyak juga yang aku baru tahu selama di
Tiongkok itu. Karena pengalaman bertahun-tahun ini, maka kami tahu jenis
burung, dan mana yang enak dan mana yang amis, bau anyir. Burung yang paling
enak yalah burung yang makan biji-bijian, sereal, seperti
balam, tekukur, ketitir dan burung-gereja. Ada "barter dan transaksi" di
antara kami. Kami berani menukar satu balam dengan tiga atau empat
burung-gereja. Mengapa? Menurutku burung-gereja jauh lebih enak daripada
balam. Tetapi ada juga yang berpendapat, balam lebih enak. Tapi semua
berpendapat sama, burung yang makan biji-bijian pasti enak.

Kalau kami berangkat nembak, biasanya pagi sesudah sarapan, sebelum jam 08.00
atau bahkan jauh lebih pagi lagi, dan kami makan di tengah hutan. Kami
berbekal minuman dan makanan. Karena kami pulangnya sore, petang bahkan
sesudah jam 19.00. Bayangkanlah, kami selalu akan membawa burung yang begitu
banyak sampai ratusan ekor, terdiri dari berjenis-jenis seperti yang
kusebutkan tadi. Dan ini
oleh Tim-penyiang dan Tim-masak harus diseleksi, yang mana buat digoreng
saja, yang mana buat digulai atau sedikit dibumbui. Sebab burung yang makan
biji-bijian, sangat enak, tak perlu lagi dibumbui berbagai macam bumbu.
Burung yang makan jenis buah-buahan, masih perlu dibumbui. Sedangkan burung
yang makan segala ulat dan cacingan serta ikan, minta ampun amis dan
anyirnya! Perlu banyak bumbu. Nah, bagaimana semua itu buat mengerjakannya
kalau tak ada Tim ini!

Tim-penyiang biasanya 7 sampai 10 orang, Tim-masak cukup 4 sampai 5 orang.
Dan tim yang makan, tak ada timnya! Yang makan, siapa saja yang suka, bisa
puluhan orang. Begitu sampai di perkampungan kami, segera setor hasil, dan
kami para penembak yang sudah sangat letih-lelah masuk-hutan ke
luar-hutan, berpanas pula, bagaikan mau kering, kehausan, kepanasan. Matahari
di Ciangxi bila musimpanas bukan main panasnya, sampai 42 C. Dan kami segera
mandi menyegarkan diri. Lalu istirahat sambil menunggu tim lainnya
bekerja, dan yang ditunggu itu, masakan burungnya itu! Rasanya makan burung
hasil tembakan sendiri, dinyami pula, tanpa nasi, atau kalau mau nasi ya
boleh, bukan main nikmatnya. Kami ngobrol, kelakar, saling meledek dan tentu
saja bergosip. Enaknya semua tim ini tidak ada kaum wanitanya, jadi kami
bebas kelakar yang miring-miring dan porno!

Dalam Tim-penembak ini ada seorang temanku, namanya Koko. Koko sebenarnya
salah satu bahkan satu-satunya penembak yang selalu kurang jitu. Dia paling
banyak dapat burung tiga sampai lima ekor saja dalam seharian suntuk itu.
Sedangkan kami paling sedikit dapat 40 ekor seorang. Ada seorang teman yang
berhasil nembak hampir seratus ekor. Tetapi kenapa Koko lalu kok
"terseleksi" dalam tim ini? Koko orang baik dan sangat
komunikatif, ramah, banyak gurau, selalu bikin tertawa-ramai dengan
gurauannya. Karena itu kami semua sepakat, baiklah Koko kami ajak juga, sebab
dia mau ikut kami dan tak betah tinggal di asrama perkampungan itu. Dan
lagi sekalian sportlah, kata Koko. Dan kami tak keberatan, tak pula ada
maksud buat "memecatnya" dari tim ini hanya disebabkan dia kurang pandai
nembak.

Suatu kali kami nyeberang sungai yang tidak begitu lebar, tetapi harus
dengan perahu karena terlalu dalam kalau diharungi. Ketika kami hampir
mendekati daratan, ada gugusan pepohonan, terdengar berkelepak burung
balam, besar dan sangat menggiurkan buat menembaknya. Kami siap. Ada teman
yang mulai menembak, tetapi karena di atas perahu yang goyang bagaikan orang
menari itu, mana pula bisa kena! Dan balam itu tidak juga mau terbang. Ada
dua tiga tembakan, mana bisa, goyang begini. Koko-pun tak ketinggalan, dia
juga membidik, dan melepas----------------dan burr, balam itu jatuh, lalu Koko
terdiam kaku, sedangkan kami bertepuk senang, menyambutnya. Balam itu kami
ambil dan berikan pada Koko. Kami masih ketawa gembira, karena teman kami si
Koko bukan main hebatnya. Di atas perahu yang goyang itupun dia bisa
menjatuhkan balam, yang kami biasanya banyak yang jitu malah melepas peluru
dengan hasil kosong.

Koko akhirnya bisa juga tertawa karena kami menyambutnya dengan gembira.
Dasar Koko, ketika kami katakan, bukan main hebatnya kamu, Ko!
"Mana hebat, saya betul-betul nggak jitu. Tadi itu yang saya bidik
mata-kanannya, malah yang kena kepalanya! Jadi meleset dari sasaran", kata
Koko dengan nada guraunya.
"Kenapa Koko bisa nembak begitu hebat?", kata seorang teman.
"Ada dua aspek", kata seorang teman yang tegila-gila teori dua-aspek.
"Pertama burung itu memang sudah nasibnya mati di tangan Koko. Kedua, tanpa
perahu yang goyang, tanpa perahu yang menari-nari seperti tadi, tidak mungkin
Koko sejitu itu, dan kita semua kalah dengannya kalau dalam seperti situasi
itu tadi", kata si jago teori dua-aspek.
"Nanti sesampainya di asrama jangan sampai kalian ceritakan kepada
teman-teman lain ya, nggak enak saya, dikira sombong", kata Koko masih juga
dengan guraunya. Dan ini pertanda kami harus ceritakan "kehebatannya"
kepada banyak teman lain.

Biasanya Koko akan selalu mendatangi rumah atau kamar teman-teman sesudah
malam mau istirahat, menanyakan keadaan teman-teman, apakah masih sangat
lelah-letih, ataukah ada yang sakit. Dan kebiasaan ini hanya ada pada Koko
yang baik dan ramah itu. Kami menganggapnya watak-luhur Koko seharusnya
bisa kami tiru. Tidak boleh kalau ada di antara kami yang menolaknya masuk
Tim-penembak karena dia penembak tak-jitu. Tokh sudah ada bukti, di sebuah
perahu yang goyangpun dia bisa menjatuhkan seekor balam yang
besar, montok-gemuk enak-lezat. Soalnya sekarang Koko juga harus berusaha
menjatuhkan burung berjenis apapun tanpa dalam sebuah perahu yang goyang!
Dan ini terlepas dari pengetahuan teori dua-aspek apapun.

Kehidupan kami, belajar, berdebat, bertengkar, bahkan siap kalau mau saling
berkelahi mempertahankan argumentasi masing-masing. Sukurnya, dan
baiknya, kehendak yang demikian sangat sedikit, sangat minoritas dan tak
dapat pengikut! Dan kami dari hari ke hari menjalani kehidupan yang harus
kami jaga benar agar tidak membosankan, jangan sampai kami ini gila. Tiap
hari Minggu, kami pergi jauh ke desa-desa yang sangat terpencil, menyeberangi
sungai, melewati pegunungan, berjam-jam. Sangat lelah-letih, sangat
panas, tetapi hati sangat puas, karena bisa melepaskan kebosanan hidup rutine
begini. Kami tidak tahu apa dan bagaimana nasib kami selanjutnya. Semua
tidak pasti, tidak ada kepastian. Seandainya kami tidak pandai membawakan
seni-hidup yang "terkumpulkan-campur-baur" di dalam perkampungan dan asrama
begini, barangkali ada di antara kami yang bisa disebut gila, sinting atau
senewen. Orang yang seperti Koko, bagaimanapun tetap kami perlukan. Dan dia
cukup pandai membawakan seni-hidup yang "terkumpulkan-campur-baur" begini.
Aku sendiri yang bersukukan Melayu yang sangat minorits di tengah suku Jawa
yang mayoritas, cukup banyak memetik pengalaman sosial maupun kultural serta
banyak istilah yang aku tahu selama di perkampungan dan asrama itu.
Kata-kata "di-lep" "rujak-sentul"
"muk" atau "umuk" dan maha-pentingnya air dan tanah, barulah aku
menyedarinya selama di perkampungan itu. Kami bertani, kami beternak, kami
belajar, kami berdiskusi, kami bertengkar, dan tidak sangat salah kalau pada
suatu haripun kami berkelahi. Hanya akhirnya kami bisa dan mampu menyedari
bahwa hal itu tidak seharusnya terjadi. Dan kehidupan terus mengalir, dan
kami memang berusaha agar alur dan aliran ini tetap berjalan, biar lambat
tetapi terus sampai kami tahu akan ke mana akhirnya.

Paris 4 April 1999

Daftar Isi


© Sobron Aidit. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.