Bagi penyair Isbedy
Matahari
dan sebelas penjaganya, isnkripsi kekosongan,
kekosongan adalah pintu yang terbakar.
Cicak
perak dengan ekor merahnya, merah
adalah kehijauan dari bibir waktu, waktu memahat
angin
dan jalan-jalannya. Kemerdekaan adalah
angsa-angsa bulan memeluk kesunyian. Kemerdekaan
adalah
pintu-pintu siput dan maut keabu-abuan.
Maut adalah ayah yang merintih di ranjang cahaya.
Maut
adalah renungan yang mencambuk punggung kita.
Maut adalah pena, kertas, dan puisi-puisi menanti pembaca.
Maut
adalah cahaya pagi yang meludahi malam.
Maut adalah malam dengan sepasang sayap kupu-kupunya.
Maut
adalah teriakan penghabisan dari alam kekosongan.
Maut adalah awal segala peniadaan, maut adalah kehidupan!
Lampu
padam. Matahari tergeletak di meja, juga pisang goreng,
ikan panggang, cabai rawit, dan keadilan yang terbelah bagai
sepasang
payudara. Hidup adalah cacing, juga seekor
kucing yang mengendap pada belukar kata-kata.
Hidup
adalah paha bulan dan rahim sang kala.
Hidup adalah airmata yang berlari di padang berduri.
Hidup
mengeras di luar definisi. Hidup membakar setiap imagi.
Hidup membusuk bersama: alpukat, mangga, nangka
dan
seiris mulut yang mengunyahnya. Hidup adalah
perburuan yang meledakkan jantung angin.
Hidup
adalah perubahan yang mengejang dalam kelamin.
Hidup adalah kecemasan dan ranjang tanpa pengantin,
Hidup
bergerak mengalir mencair di luar segala pencarianku!
Matahari dan sebelas penjaganya, matahari yang tak pernah
sama,
matahari yang mengubah percakapan jadi tindakan,
matahari yang bermain dengan hidup dan kematian, matahari
yang
selalu ramah, penuh kesabaran, dan sanggup membunuh.
Matahari: setangkai puisi yang membakar dirinya.
© Ahmad
Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.