Tak ada kopi untukmu, kawanku, tak ada ruang tamu.
Kau tak hadir di situ, hanya keramik angsa, boneka-boneka tua,
piring-piring cina, dan sebingkai lukisan rimba. Kukatakan padamu, kawanku:
di sini, di ruang tamu ini, aku merasa begitu sunyi.
Terkenang juga suaramu, sebentuk perlawanan pada batu-batu. Lalu kita pun santai
bercerita: tentang sajak-sajak awan dan sungai, tentang ombak yang gelisah mencapai
pantai, juga kalimat cemas dalam puisi-puisi Paz. Barangkali kita harus berjuang
tanpa ideologi, tanpa senjata yang membangkitkan anarkhi. Barangkali bukan luka
yang membikin kita tidak berdaya. Barangkali hanya kilatan cahaya, hanya gelembung-gelembung
udara yang mencatat perlawanan kita.
Siang ini aku merasa sedikit asing, kawanku, merasa cemas meruncing pada meja
dan kursi tamu. Di luar jendela, langit tampak begitu bening, cuaca membentur
dinding.
"Apa makna kebebasan bagimu? Apa makna demokrasi yang ditegakkan dengan
lemparan batu?" tanyamu, suatu ketika. Lalu kita bercerita tentang teater
luka, mencoba menyerap kebenaran dalam diksi-diksi Akutagawa.
Lewat teng 12 siang, aku merenungkan budaya yang hilang, atau negara yang tak
pernah bisa berdaulat, mirip kisah-kisah apel yang penuh ulat. Terkadang kita
pun mencoba untuk reda, abai pada suasana, tapi di luar kita, hanya pertikaian
dan hunus senjata.
"Ideologi itu, ideologi batu-batu, apa peduliku!" katamu, suatu pagi,
sambil mencatat kalimat-kalimat nyeri, mencoba mengaitkan rindu pada rintik-rintik
sunyi, lalu awan dan sungai-sungai dalam puisimu kehilangan dasar imagi.
Di sini, di ruang tamu yang sunyi ini, bersama secangkir kopi: aku menyesali
suatu bangsa, yang tak pernah dewasa.
© Ahmad
Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.