Rasa takut itu manusiawi. Tapi, kalau sudah kelewatan, pasti terjadi penindasan.
Karena itu, rasa takut perlu segera kita otopsi.
Rasa takut itu kadang hidup kadang mati. Kitalah yang memberinya jantung, darah,
dan nadi. Jadi, kalau pikiran takut mati, maka nyali kita pun ikut mati. Kalau
pikiran takut miskin, maka hidup kita sudah jadi miskin. Kalau pikiran takut
keadilan, maka takdir akan menjelma kezaliman. Prinsipnya: rasa takut itu sama
sekali tak punya eksistensi. Kitalah yang memberinya arti.
Ini boleh kita coba. Amati pikiran sendiri. Di sinilah rasa takut itu tercipta,
mendapat napasnya yang pertama, lalu menjelma jadi ular berkepala dua: jika
lari kita akan terus dikejarnya, jika maju kita akan dipatuknya. Jadi, ini bukan
soal simalakama. Tapi, lebih kepada arkhetipe di dalam diri kita, warisan genetik
yang terwujud dalam mitologi karma. Sekarang, bagaimana kita bisa membedahnya?
Jangan bingung, soalnya sangat sederhana: apakah kita siap mengenal rasa takut
itu sampai ke akarnya? Inilah pertanyaaan pertama yang harus tegas kita jawab
sebelum membedahnya. Jika kita tak lagi mempersoalkan hidup atau mati, maka
kita siap memasuki ruang-ruang yang paling sunyi, kesendirian mutlak yang akan
mengantarkan kita pada batas paling nyeri, yaitu: akal pikiran kita sendiri.
Inilah soalnya.
Selanjutnya, siap-siapkan diri. Heningkan persepsi. Jangan menilai, namun amati.
Kemudian baringkan seluruh rasa takut pada meja bedah kenyataan. Lalu, pisaukan!
Lihatlah rasa takut yang terus mencoba memberi nyawa pada gerak pikiran, mencoba
memalsukan setiap alasan. Lalu, rasakan: mendadak kita memahami arti kebencian,
mendadak kita terbebas dari kehampaan.
Begitulah, lingkaran rasa takut itu bekerja. Ada atau tiada: kitalah yang memberinya
nyawa.
© Ahmad Yulden
Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.