Refleksi Suam-Suam Kuku

Rivian, kau berkata: provokasi itu bernama kekecewaan

Sehabis menunggu kawan yang ditahan, kita duduk menebus kepenatan. Kopi dulu, katamu, jangan tegang. Langit di halaman kantor polisi itu begitu terang. Sayup-sayup terdengar bentakan: Ini molotov siapa? Siapa yang membuatnya? Katakan!
Kontradiksi tak bisa diatasi dengan menipu, katamu, sambil menyeruput kopi suam-suam kuku. Aku mengangguk setuju. Lalu, kau meludahi lantai di balik pintu. Kembali terdengar bentakan. Juga rintih kesakitan: Ampun, Pak. Saya yang membuatnya.
Tapi, kematian kadang jadi sedekat canda, jadi komedi yang membikin orang gampang ketawa. Mungkin juga sekedar melepas rasa kecewa. Atau mungkin bukan apa-apa. Tapi, hukum punya cara sendiri untuk mengontrolnya, meski tidak begitu sederhana, katamu. Awan menyimpan kebencian. Burung-burung merpati hinggap pada bubung rumah tahanan.
Suasana jadi seiris tegang. Kawan kita bercerita, tentang aksi sore itu, tentang petani yang histeris mengacungkan pedangnya, tentang polisi yang terpaksa menembak rakyat jelata, tentang kepentingan elit politik di balik aksi massa, tentang rakyat yang harus mati karena mempertahankan haknya.
"Aksi itu hanya jebakan. Aku dituduh provokator kerusuhan, tapi mereka kecewa, semua pasal tak bisa menjerat kita," katanya. Langit sekelam batu, gerimis terbantun membasahi sepatu.
Kadang kita kecewa, ada yang tak bisa sampai pada nyata, katamu. Lalu kaunyalakan filterku. Asapnya membakar paru-paru.
"Tiga orang ditahan, semua rakyat biasa, mereka kecewa. Mereka dituduh hendak membakar pabrik gula, hendak merusak harta negara," katanya. Hujan menyapu sisa debu, harum tanah sedekat bau mesiu.
Siapa yang menyuruh mereka aksi? tanyaku. Bukankah kita sudah bisa memprediksi, situasi akan menjadi peluru?
"Ketidakadilan," katanya.
Juga kekecewaan, katamu.

Daftar Isi


© Ahmad Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.