ODE BUAT PAK WAYAN SUTAME

Bagi Rakyat Desa Gedung Rahayu

     Malam itu, aku ingat, kita bertemu, saling tersenyum, duduk berhadapan di dipan kayu. Kau terdiam, sementara aku mencoba mereka-reka kerut keningmu.
     Aku pun mulai bercerita tentang penindasan para petani, tentang penjajahan bangsa sendiri, tentang sejarah pahit negeri ini.
     "Kami telah biasa, sejak Jepang merampas jagung, padi, dan pakaian kami," katamu, hampir tanpa mengerutkan kening.
     Di bawah redup lampu petromaks, kauledakkan cerita-cerita penjajahan: tentang gerombolan NICA, hingga pak lurah yang menjual beras OPK. "Kami telah biasa, sejak kebodohan terus membius kami, lalu timbul tidak peduli," katamu dengan sedikit mengerutkan kening.
     Kita pun larut dalam diskusi. "Harus ada yang merubahnya, harus ada yang mencoba melawan, harus ada keberanian," katamu dengan kening yang semakin dikerutkan.
     Tapi siapa yang harus memulainya?
     Kau pun terdiam. Kerut di keningmu perlahan mencoba berdamai dengan kenyataan. "Pikiran kita, ya, pikiran kitalah yang pertama kali harus memulainya," katamu, sambil tersenyum, begitu sederhana.
     Lalu kau terus bercerita: tentang mahalnya biaya kuliah cucumu di kota, tentang jerat hutang petani di desa, tentang ladang-ladang jagung tanpa pupuk kimia.
     "Penjajahan itu, kini dan dulu, sama saja. Pikiran kita, ya, pikiran kita yang harus merdeka," katamu, sebelum menutup pembicaraan.
     Malam itu, aku mulai memahami kenyataan. 

Daftar Isi


© Ahmad Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.