Dengan memandang sebutir embun: kumulai revolusi
ini. Sungguh, ini bukan revolusi politik atau budaya, bukan revolusi yang akan
meledakkan jantung manusia. Ini revolusi sunyi: seperti sebutir embun menetes
lembut di daun keladi.
Sungguh, aku tak takut menyebut diriku pengecut;
aku tak takut menghujat diriku penipu, bajingan hina, atau pendosa. Ini wajahku:
tak ada yang musti disucikan! Mana? Mana wajah agung kalian: biarkan segenap
keangkuhan, kebusukan, dan kerakusan tersingkap dari batin yang sakit dan tak
sempurna.
Ini satu revolusi: jangan lari! Meski perihnya
seperti tak terhingga, tapi!, inilah perlawanan sejati, revolusi yang paling
sunyi: tak ada saksi di sini, tak ada penguasa atau yang dikuasai. Di sini,
kita berdiri membaca kembali riwayat pribadi, jernih, bening, seperti sebutir
embun di daun keladi.
Ya!, kini saatnya kita berani berkata: pandanglah,
segenap pikiran kami yang penuh pretensi, ketamakan, dan intimidasi; pandanglah,
segenap hati kami yang makin jauh dari nurani, terbelah dalam obsesi, dikejar
siklus pemuasan diri.
Inilah kami: anjing yang menggigit ekornya
sendiri, bangsa yang menjajah rakyatnya sendiri?
Tidak!, kini saatnya aku musti berkata: dengarlah,
aku tak percaya keadilan itu ada, aku tak percaya kebenaran itu nyata, aku tak
percaya kebebasan itu milik manusia, aku tak percaya kebaikan itu harkat setiap
jiwa, aku tak percaya!, kecuali aku melihat faktanya.
Pandanglah ke dalam diri: jangan lari!, ini satu
revolusi: tanpa ambisi untuk mengubah dunia, tanpa dendam atau perasaan terhina,
tanpa kebencian atau salvo senjata.
Ya!, inilah revolusi cinta: revolusi sebutir embun,
revolusi yang akan membersihkan tangan kotor kita.
© Ahmad Yulden
Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.