Kematian Setangkai Gaya
Bagi saya, menulis puisi adalah suatu usaha untuk menemukan pengucapan puisi
yang sugestif, asosiasi-asosiasi permutatif yang merangsang untuk memerdekakan
kesadaran, serta mencatat secara estetis sekaligus kritis setiap kesaksian di
dalam situasi epikolonial yang begitu realistis terjadi di depan batang hidung
saya. Juga suatu usaha untuk mencoba merevitalisasi setiap fenomena —
menemukan kembali spirit pertama — dalam setiap gerak kebudayaan yang
heterogen di negeri kepulauan tempat saya mengada.
Di dalam proses kreatif penciptaan puisi, saya mencoba untuk meluaskan wilayah
persoalan dan tematik dengan memasuki ruang-ruang ilmu pengetahuan, kebudayaan,
filsafat, sains dan teknologi, realitas sosial dan politik, hingga religiusitas.
Di samping itu, secara teknik, saya mencoba berbagai bentuk pengucapan puitik,
seperti ekspresionisme, surealisme, konkritisme, dan realisme kritis yang disublimasikan
dengan kekuatan rimatik puisi-puisi pantun. Dan inilah yang saya sebut: puisi
sugesti!
Semua bentuk pengucapan puisi yang ada, bagi saya tinggal sekedar teknik estetika,
bukan lagi sesuatu yang esensial di dalam proses kreatif penciptaan puisi. Saya
telah membunuh setiap ideologisme yang menyertai teknik pengucapan puisi itu.
Saya tidak menerima warisan apa pun dari teknik estetika puisi-puisi para penyair
bangsa utara, yang terkadang disebut dengan sikap rendah diri oleh para penyair
bangsa selatan sebagai teknik estetika "standar" puisi dunia, tidak!,
saya tidak menerima warisan apa pun, sebaliknya, saya telah merampasnya!
Kelahiran puisi sugesti, berarti kematian "setangkai gaya". Setiap
penyair boleh menuliskan puisi dengan gaya apa pun, dalam bentuk apa pun. Tak
ada lagi suatu hagemoni monosentrisme gaya yang harus dipatuhi oleh penyair.
Setiap persoalan yang direvitalisasi di dalam puisi sugesti akan menuntut suatu
gaya tersendiri, suatu bentuk tersendiri: mungkin suatu bentuk baru, mungkin
sekedar pengulangan bentuk lama, mungkin juga perpaduan bentuk baru dan lama
— semua berhak untuk meng-KATA!
Maka, yang terpenting dalam puisi sugesti, bukanlah masalah bentuk dan gaya
pengucapan, tetapi lebih kepada isi persoalan. Sebagai seorang penyair yang
merdeka, maka sang penyair boleh menulis puisi dengan bentuk, gaya, dan kovensi
estetika apa pun, yang terpenting ia tahu apa isi persoalan yang hendak ia katakan
dalam puisi-puisinya.
Namun, sebelum sang penyair itu dapat menemukan apa persoalannya, maka terlebih
dahulu ia harus memiliki suatu spirit sugesti, yaitu semacam semangat perlawanan
terhadap setiap penindasan yang menginjak-injak kemanusiaan, semacam pemberontakan
kultural untuk menentang setiap ketidakadilan, semacam perjuangan untuk mewujudkan
nilai-nilai sejati yang telah lama mati, semacam penyadaran, semacam pembebasan!
Setiap puisi sugesti bertolak dari spirit sugesti yang ada pada diri penyair.
Setiap spirit sugesti bertolak dari persoalan-persoalan yang ada pada realitasnya,
situasi epikolonial, satu situasi yang dipenuhi hawa penindasan hingga taraf
non-human, satu situasi yang dipenuhi lingkaran penjajahan yang keji dan berlangsung
tanpa henti.
Penyair-penyair sugesti tidak menulis puisi dari ilusi-ilusi fantasianisme,
atau dari dunia bawah sadar, atau dari dunia mimpi yang samar-samar; sebaliknya
mereka menulis puisi dengan berakar pada persoalan sehari-hari, persoalan yang
ada di depan matanya, hidungnya, telinganya, pikirannya, dan emosinya. Mereka
menuliskan puisi dengan penuh kesadaran, kesadaran akan adanya penindasan, akan
adanya struktur-struktur riil ketidakadilan, akan adanya epikolonialisme. Sekali
lagi, mereka menulis puisi dengan sepenuh kesadaran sebagai satu bentuk perlawanan
estetik, sekaligus perlawanan kultural, untuk membebaskan kesadaran-kesadaran
semu kepada kesadaran-kesadaran sejati, suatu kesadaran yang mampu dengan berani
melihat seluruh realitas secara apa adanya, tanpa eskapisme, tanpa rasionalisasi.
Teknik-teknik permutasi, kalimat stakato, dan simulasi simeotik yang lahir dalam
puisi sugesti, tidak digunakan demi kepentingan estetika bentuk semata, tetapi
lebih kepada suatu perlawanan terhadap dominasi makna yang telah diberikan oleh
kebudayaan modernisme, semacam perlawanan kultural terhadap hagemoni penafsiran
logosentrisme yang makin bergeser menjadi konsep "positioning"
di dalam dunia periklanan. Jadi, di dalam puisi sugesti, setiap bentuk dan isi,
gaya dan tema, semuanya dijiwai oleh suatu spirit sugesti, suatu spirit perlawanan
terhadap hagemoni kultural di dalam situasi epikolonial, spirit untuk merdeka:
berpikir merdeka, berkata merdeka, dan bertindak merdeka sebagai manusia.
Aku merindukan manusia yang telah pernah ada! Tidak bukan manusia sebagai
konsep, bukan manusia universal seperti dalam tafsir sempit antropologis, bukan
pula manusia Ubermansch milik Nietzsche, melainkan manusia konkrit, manusia
riil yang berada di luar teks, manusia yang tertindas, yang memiliki jantung
dan darah dan indera dan pikir dan rasa dan sukma dan nyali dan cinta! Aku
merindukan manusia yang masih akan ada!
Puisi Sugesti dan Situasi Epikolonial
Situasi epikolonial bukanlah situasi pascakolonial. Sebab, bagi bangsa-bangsa
selatan sesungguhnya tidak pernah ada situasi pascakolonial. Sebaliknya, kolonialisme
itu terus berlangsung, bahkan hingga kini, hingga awal milenium ketiga. Secara
de jure, negara-negara di selatan telah merdeka, telah berada pada situasi
pascakolonial. Namun, secara de facto, bangsa-bangsa di selatan berada
pada situasi epikolonial: terus-menerus ditindas secara ekonomi, terus menerus
dikebiri secara politik, terus-menerus dihagemoni secara budaya, terus-menerus
menjadi interpretator pemikiran kanonik bangsa-bangsa utara, terus-menerus dijajah
sebagai hamba!
Situasi epikolonial adalah satu situasi kolonialisme yang samar-samar, halus,
bahkan boleh dikatakan sangat rasional. Bangsa-bangsa yang dijajah pada situasi
epikolonial tidak merasakannya sebagai suatu penjajahan, bahkan mereka merasa
berada pada situasi kebebasan, situasi yang penuh dengan ilusi-ilusi kemakmuran,
atau semacam halusinasi demokrasi, yang berujung pada semacam konsensus apatisme
bahwa bangsa-bangsa utara adalah ras kelas pertama, sedangkan kita — bangsa-bangsa
selatan — adalah ras kelas dua atau kelas tiga.
Namun, situasi epikolonial ini tidak hanya mencekik bangsa-bangsa selatan, tetapi
bahkan telah memasuki riwayat individu pada bangsa mana pun. Setiap situasi
epikolonial ditandai dengan melemahnya suatu semangat perlawanan pada ketidakadilan,
pembekuan pemikiran ke dalam dogma monologisme yang rasionalistik, serta padamnya
perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai sejati: semacam homogenisasi nihilisme,
semacam absolutisasi relativisme, semacam penyeragaman selera dan keinginan,
juga semacam kepasrahan total pada sihir informasi yang disentralisasi untuk
kepentingan segilintir elit pemilik perusahaan-perusahaan multinasional.
Di dalam situasi epikolonial: individu telah mati. Tak ada individu: yang ada
hanya kepingan-kepingan individu yang tak bisa lagi disebut individu, yang telah
kehilangan vitalitasnya sebagai manusia, yang telah membunuh sendiri kemanusiaannya,
yang telah kehilangan nilai-nilai sejati. Tak ada aku, tak ada kau, tak ada
kita: yang ada hanya kepentingan sekelompok elit yang berkuasa, yang bersembunyi
di balik ruang kerja ber-AC-nya, yang mengatur strategi dan budget untuk memassalisasi
selera, yang terus-menerus merancang arsitektur epikolonialisme pada ruang-ruang
biografi individu, bahkan individunya sendiri!
Aku telah mati, maka aku ada! Lantas apa lagi yang tersisa? Yang tersisa
hanya strukturalisme-kematian-aku. Dengan matinya aku di dalam komunitas, maka
yang tinggal berkuasa hanyalah segilintir AKU yang memiliki semua sarana untuk
menguasai aku-aku yang telah mati itu: baik sarana kapitalistik, senjata, wacana,
hingga lobi-lobi politik. Begitulah riwayat "kematian-aku" di tanah-tanah
selatan, tanah-tanah jajahan, tanah-tanah kuburan!
Spirit sugesti! Inilah jawaban terhadap pembunuhan rasionalitik modernisme itu!
Aku kini telah bangkit dari kematianku yang berabad-abad di tanah jajahan ini,
aku hidup kembali, aku telah reinkarnasi! Dan kini aku mulai melakukan perlawanan,
Perlawanan terhadap epikolonialisme di tanah-tanah selatan! Aku menuntut keadilan
sejati, bukan penindasan atas nama keadilan. Aku menuntut kebenaran sejati,
bukan rasionalisasi atas nama kebenaran. Aku menuntut keindahan sejati, bukan
instanisasi atas nama keindahan. Aku menuntut kemerdekaan sejati sebagai bagian
dari umat manusia yang berevolusi!
Selama ini, kita — bangsa-bangsa di selatan — telah merasa menjadi
manusia yang merdeka, tetapi sesungguhnya kita semua telah tertipu, atau bahkan
mungkin berusaha sekuat mungkin untuk menipu diri sendiri. Apa artinya kemerdekaan
sebagai suatu bangsa, jika sebagian besar produksi dan konsumsi kita harus tergantung
kepada bangsa-bangsa utara, jika seluruh sumber daya yang kita miliki dikuras
habis-habisan untuk kemakmuran industri bangsa-bangsa utara, jika semua wacana
berpikir kita telah didominasi oleh paradigma rasionalisasi milik bangsa-bangsa
utara, jika pustaka spiritualistik kita menjadi museum keterbelakangan yang
kita sendiri pun meludah di lantainya? Semua itu karena kita adalah bangsa-bangsa
yang begitu mudah ditipu, sehingga kita sanggup menipu diri sendiri. Kita adalah
bangsa-bangsa bodoh yang begitu mudah dijajah, sehingga dengan mudah pula kita
menjajah bangsa sendiri, hanya untuk mendapatkan secuil kemakmuran dari puri-puri
kapitalisme, hanya untuk bisa menikmati ekstasi konsumerisme.
Puisi Sugesti dan Logika Irasional
Kembali pada persoalan puisi sugesti, secara tegas saya akan mengatakan bahwa
puisi sugesti adalah puisi yang membuka pintu tertutup suatu taman puitik yang
telah lama hilang, dan sekarang telah ditemukan kembali. Di taman puitik itu,
tumbuh berbatang dan bertangkai gaya. Semuanya berpadu secara harmoni. Tak ada
kontradiksi, ya, kontradiksi yang begitu ditakuti atau bahkan dieksploitasi
secara hagemonial di dalam kebudayaan bangsa-bangsa utara.
Fobia dan maniak kontradiksi ini telah berabad-abad inheren dalam logika bangsa-bangsa
utara, mulai dari Aristoteles sampai Anthony Giddens. Begitulah mereka menyebutnya
sebagai logika rasional. Begitu pula kebudayaan utara dibangun dalam proses
logika tersebut. Karena saya percaya, setiap kebudayaan pasti dibangun berdasarkan
suatu logika tertentu.
Secara tematik puisi-puisi saya adalah suatu jawaban terhadap situasi epikolonial
yang terus melakukan penindasan pada kebudayaan bangsa melayu, bahkan hingga
saat ini. Puisi-puisi saya melakukan suatu penegasan, suatu sugesti, suatu peng-ya-an
dan pen-tidak-an, semacam introspeksi dan ekstropeksi terhadap realitas hidup
ke-melayu-an yang terus-menerus dijajah dan mencekam identitas "akar serabut"
kebudayaan Indonesia.
Saya melakukan pembacaan kembali terhadap pustaka-pustaka kultral bangsa-bangsa
selatan. Melalui pembacaan tersebut, saya menemukan suatu logika yang telah
membangun sejarah kebudayaan bangsa-bangsa selatan, berabad-abad lamanya, jauh
lebih lama ketimbang kebudayaan bangsa-bangsa utara yang baru beberapa abad
mendominasi dunia.
Logika itu tersembunyi di antara kitab perubahan "I-Ching",
berbagai kitab suci dari agama-agama di Asia, tari-tarian dan musik ritual Afrika,
mitos-mitos bangsa Indian, puisi-puisi sufistik dan tradisional Cina, sutra-sutra
budhistik, kitab-kitab perang Cina, mantra dan pantun melayu. Bahkan saya menemukannya
juga — meski dalam perasaan yang geram — di dalam teori-teori fisika
kuantum, teori matematika khaostik, sistem logika biner dalam teknologi informatika,
teori super-string dan warm-hole dalam kosmologi mutakhir. Ya,
inilah logika yang tidak melihat kontradiksi sebagai musuh atau hantu yang harus
ditakuti, tetapi lebih sebagai suatu potensi untuk menjadi lebih manusiawi,
inilah: "logika irasional!"
Logika irasional adalah suatu logika yang bertolak dan menerima kontradiksi
sebagai asas pertama setiap logika. Yin-Yang, Baik-Buruk, Benar-Salah, Ahriman-Ahuramazda,
Ada-Tiada, Realita-Idealitas, tubuh-jiwa, positif-negatif, partikel-gelombang,
adil-menindas, merdeka-dijajah, dst, dst, dst, ya, semua itu adalah kontradiksi-kontradiksi
yang begitu menakutkan di dalam logika rasional, suatu error yang memalukan
dan harus dijernihkan dari kesadaran rasional manusia modern, suatu metafisika
yang melelahkan, suatu dikotomi yang mengerikan, suatu kesalahan yang harus
didekonstruksi.
Namun, logika irasional tidak takut dengan kontradiksi. Logika irasional menerima
kontradiksi sebagai suatu potensi dinamis dari term-term yang saling beroposisi,
sekaligus berpasang-pasangan dan saling menegaskan ke-meng-ada-an masing-masing
term. Setiap kontradiksi tidak selalu hanya bisa ditafsirkan berdasarkan logika
dialektik, pertarungan tesis dan antitesis yang akhirnya secara kualitatif meloncat
menjadi sintesis. Ada alternatif metode berpikir yang lain untuk menafsirkan
kontradiksi, yaitu penafsiran dari logika irasional: hitam dan putih tidak mesti
bersintesis menjadi abu-abu, sebaliknya, hitam tetaplah hitam dan putih tetaplah
putih, namun keduanya menyatu, keduanya saling menegaskan ke-meng-ada-an masing-masing,
keduanya menggelinding dalam lingkaran dunia, keduanya ada dan hidup di dalam
epistemologi irasional.
Lalu, apa yang terjadi ketika kita mengakui dua term yang berkontradiksi tanpa
ada harapan untuk menuju suatu sintesis? Mungkin sesuatu yang mengerikan. Atau
mungkin justru sesuatu yang dapat memecahkan cangkang rasionalitas kita, lalu
membiarkan "siput kesadaran" perlahan keluar dan menatap keluasan
cakrawala. Tegangan dari term-term yang saling beropisisi sebagai akibat dari
diterimanya asas kontradiksi menjadi asas pertama dari logika, akan mengantarkan
kesadaran kepada paradoksi. Aku yang berpikir kini menghadapi suatu silogisme
pahit: menerima paradoksi atau lari dari paradoksi. Jika aku menerima, maka
masih ada harapan untuk bertemu dengan realitas sejati. Jika aku lari, maka
perjalanan selesai, dan aku boleh kembali kepada realitas-realitas virtual yang
selama berabad-abad membius dan menipu kesadaran manusia, lalu aku pun bisa
berdalih: "Tak ada realitas di luar teks!"
Lantas apa yang terjadi setelah paradoksi? Realitas Sejati! Apakah Realitas
Sejati? Di luar teks! Apakah di luar teks? Lihat, dengar, cium, raba, pikir,
rasa ini batu! Apakah batu? Batu! (Alangkah rumitnya kata, alangkah ruwetnya
makna, alangkah sulitnya tanda. Tentu saja, karena kita menganggap tak ada batu
di luar teks, di luar logika rasional. Sebaliknya, jika kita beraksioma —
sekedar penyederhanaan teoritis — ada batu di luar teks, maka kita cukup
menginjakkan kaki kita ke atas batu, dan terbuktilah realitas di luar teks itu.
Inilah yang disebut pembuktian situasional. Intinya, kebenaran bukan sekedar
permainan bahasa, atau konskuensi term-term tanpa kontradiksi, atau konsistensi
proposisi, atau verifikasi makna, atau nilai guna, atau keraguan kodefikasi;
tetapi — bagi logika irasional, logika bangsa-bangsa selatan, logika orang-orang
jajahan, logika manusia yang berabad telah tertindas — kebenaran lebih
sebagai suatu nilai yang harus diwujudkan menjadi kenyataan!).
Untuk memahami logika irasional, mungkin kita bisa mencoba membaca kembali pustaka-pustaka
logika irasioanal, seperti paradoksi dalam koan-koan Zen Budhisme. Atau paradoksi
pada kitab-kitab perang Cina yang sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran kelembutan
setetes air dari kitab Tao Te Ching. Atau paradoksi tentang Kekesatriaan
Sejati dalam kitab Upanishad. Atau paradoksi tentang Allah sebagai Tuhan
Yang Maha Nyata sekaligus Maha Tersembunyi di dalam kitab suci Al-Quran.
Bagaimana kita akan memahami paradoksi-paradoksi yang mampu mencerahkan kemanusiaan
tersebut hanya dengan mengandalkan logika rasional?
"Segala sesuatu bermula dari pikiran!" demikian salah satu aforisme
yang terkenal dari pustaka Zen Budhisme. Namun, tentu saja makna pikiran dalam
aforisme itu bukan dalam kerangka penafsiran logika rasional modern, melainkan
lebih mungkin ditafsirkan sebagai suatu kesadaran yang masih terikat pada keinginan.
Pikiran dalam penafsiran Zen Budhisme adalah semacam kesadaran yang bersatu
dengan perasaan. Ya, mungkin kini sudah saatnya kita harus berpikir dengan perasaan,
agar kita lebih mengenal kerakusan dan ambisi yang mendasari keinginan-keinginan
kita, agar kita lebih dekat dengan alam yang kini semakin hancur sebagai konsekuensi
logis dan rasional dari kemajuan peradaban modern yang kapitalistik.
Selama ini bangsa-bangsa selatan, bangsa-bangsa yang tertindas, cenderung meremehkan
logika irasional ini dan menganggapnya sebagai menhir-menhir keterbelakangan
yang memalukan dari kebudayaan selatan. Padahal teori-teori mutakhir dari fisika
dan matematika saat ini justru banyak menimba insipirasinya dari paradoksi-paradoksi
logika irasional. Cukup banyak contoh-contoh yang bisa disebutkan: mulai dari
prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam mekanika kuantum, paradoksi partikel-gelombang
dalam teori fisika cahaya, paradoksi EPR dalam prinsip ketidaksamaan Bells,
teori singularitas lubang cacing pada kosmologi, teori perjalanan antar dimensi
melalui sub-ruang, hingga teori jagat bayi yang memiliki probabilitas kuantum
untuk lahir dari lubang cacing di salah satu atom pada bagian tubuh Anda. "Berpikirlah
secara imajinatif," kata Stephen Hawking, sang Kosmolog Inggris penggagas
teori black hole. Ya, berpikirlah secara puitis!
Perlawanan
Logika rasional, beserta segala perangkat ideologisnya, didasari oleh satu
kata, yaitu "Kekuasaan!" Namun, dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan
ini menjadi suatu fungsi matrikulasi yang rasional dari keserakahan ekonomi.
Begitulah, sejarah perbudakan — atau yang khas di Indonesia disebut sebagai
kuli — melekat pada struktur penindasan bangsa-bangsa selatan, bangsa-bangsa
yang secara perlahan dan sistematis dididik untuk membenci kebudayaannya sendiri,
untuk memandang rendah segala yang irasional, dan mendewakan segala yang berlabel
rasional.
Lantas, timbullah berbagai kerusakan ekologis, hagemoni informasi, pasar sampah
konsumerisme, penjajahan produksi dan moneter melalui mekanisme hutang, wabah
korupsi, serta kekerasan politis yang berujung pada kekerasan meliter yang semuanya
bermuara bagi perhitungan rente dan laba perusahaan multinasional di negara-negara
utara. Dan, di situlah ketidaksimbangan itu terjadi. Eksesnya adalah menjamurnya
ketidakadilan yang menimbulkan siklus kekerasan yang tak habis-habisnya, ditindas
oleh bangsa lain atau dijajah oleh bangsa sendiri.
Tidak!
Dan: Tidak!
Dan sekali lagi: Tidak!
Melalui puisi sugesti, saya melakukan perlawanan kultural terhadap situasi epikolonial.
Neo-liberalisme, bio-imperealisme, kolonialisme moneter dan informasi merupakan
bentuk-bentuk riil epikolonial. Perlahan tapi pasti, sistematis sekali, situasi
epikolonial kini mencengkram seluruh bangun kebudayaan di negara-negara selatan,
juga bangun dan vitalitas kebudayaan bangsa melayu.
Saya yakin, perlawanan kultural ini harus dimulai sekarang, di awal milinieum
ketiga, abad kebangkitan kembali kebudayaan selatan. Dan saya memulainya dengan
langkah yang sederhana, yaitu melalui puisi sugesti, melalui sastra sugesti,
melalui estetika sugesti: estetika perlawanan untuk mencapai suatu demokrasi
kreatifitas. Tak ada hagemoni apa pun terhadap kebudayaan mana pun. Setiap bangun
kebudayaan di muka bumi ini berhak untuk hidup secara merdeka, mengembangkan
puncak potensi kreatifnya. Penjajahan kultural yang ditimbulkan akibat hagemoni
politik, meliter, dan ekonomi oleh suatu bangsa terhadap bangsa lainnya di muka
bumi ini: tidak punya legitimasi logis apa pun. Setiap penjajahan, setiap ketidakadilan,
adalah tidak manusiawi, adalah melanggar hak asasi, karena itu harus dienyahkan
dari muka bumi.
Kelahiran puisi sugesti merupakan suatu kabar kesukaan yang menjelaskan bahwa
kini puisi adalah salah satu bentuk logika, yaitu logika irasional. Mengapa?
Karena puisi-puisi sugesti menerima kontradiksi sebagai suatu dasar ungkapan-ungkapan
estetis. Kontradiksi terwujud baik dalam idiom-idiom, tema-tema, hingga isi
persoalan yang ada dalam puisi sugesti. Kontradiksi menjadi satu kesatuan yang
saling menjaga ketegangan oposisional, tanpa musti terjebak dalam suatu sintesis
yang deterministis. Kontradiksi adalah jiwa dari puisi sugesti.
Lantas, jika puisi adalah salah satu bentuk logika, maka pengetahuan jenis apa
yang kita dapatkan darinya? Tentu saja bukan pengetahuan rasional, bukan pengetahuan
untuk menguasai atau dikuasai: apatah menguasai alam atau dikuasai alam, apatah
menguasai manusia atau dikuasai manusia, apatah menguasai dewa-dewa atau dikuasai
dewa-dewa, bukan! Pengetahuan yang diberikan dalam puisi adalah pengetahuan
yang memanusiakan manusia, pengetahuan yang mencerahkan kemanusiaan: apatah
di dalam penderitaan atau kebahagiaan, apatah di dalam penindasan atau kemerdekaan,
apatah di dalam kehidupan atau kematian.
Mulai saat ini: puisi adalah logis!
Merdeka!
Demokrasi kreatifitas untuk semua bangsa!
Bandar Lampung, 27 Mei 2000
© Ahmad
Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.