Menyala dari Mata Air Hening

Akulah angin
yang berbisik perlahan:
"Tuhan,
alangkah dingin......."

2

Dalam agama aku kecewa, dalam filsafat aku terluka.
Kenyataan hanya perubahan, kebenaran jadi kebimbangan.
Kupandang diri: bahagia dan duka, benci dan cinta,
suci dan dosa. Awan kesadaran kini bergerak perlahan.

3

Kini kupaham gerak pikiran:
ialah diri penuh tujuan,
kerikil tajam di jalan sepi
atau malam menanti pagi.

4

Aku tak perduli apakah orang akan menyebutku pujangga,
penyair atau filsuf gila: bagiku itu semua tak berharga.
Yang kubutuhkan hanya spirit keheningan dari kelopak bunga
yang akan menggerakkan diriku untuk menuliskan: manusia.

5

Tuhan, jangan Kau sesatkan aku dalam permainan kata,
sebab kupaham penjara yang paling ngeri adalah kata.
Keindahan dan kebenaran kini terbunuh dalam kata,
gila!, orang-orang pun saling membunuh karena kata.

6

Kini jangan cari bentuk-bentuk keindahan beku
pada baris-baris puisiku: ya, aku telah lama tertipu.
Keindahan bagiku bukan soal manis-rumitnya kata.
Keindahan adalah hidup sebagai matahari dan samudra.

7

Aku telah bosan mengecup kening patung dewi keindahan.
Aku mau merasakan keindahan dari bibir merah sang waktu
dan belaian halus jemari ruang yang mengambungkan diriku
menyusuri liku rahim kehidupan untuk melahirkan: keheningan.

8

Kebenaran bukanlah sesuatu yang asing tiada terpahami.
Kebenaran bukanlah keindahan suci atau keagungan abadi.
Kebenaran adalah arus keindahan di sungai perubahan.
Kebenaran adalah ilalang keagungan di padang kehadiran.

9

Dari jendela ruang tamu:
kupandang pucuk daun lamtara,
menjulang ke angkasa.
Langit mengawan di hatiku.

10

Tangan kebencian melemparku pada kawah kehampaan,
keangkuhan berkobar membakar pohon-pohon kehidupan.
Waktu mengapi, ruang mengabu, kini: "Di mana aku?"
Di hening diri, cinta mengembun: "Ya, inilah Aku!"

11

Panorama senja. Langit kemerahan di batas cakrawala.
Sepi ladang hati perlahan digelapi hitam yang rahasia.
Murai jiwa berkicau seperti berdoa: seperti berduka?
Angin cinta berhembus membelai bunga-bunga cempaka.

12

Angin kedamaian berhembus dari pusat keheningan,
di sungai waktu kini mengarus segala kepedihan.
Hai, diri, kemana musti kulabuhkan perahu pikiran?
"Hati yang sadar" inilah muara segala kepedihan.

13

Tuhan, ajari aku melaju lebih cepat daripada
pesawat antariksa. Aku mau menjelajahi semesta
dan bukan semesta. Kirimkanlah cahaya cinta
sebagai pesawatku: antarkan aku ke dalam Aku.

14

Bila aku mampu bersikap hening dan terbuka,
kebenaran akan berhembus bersama awan cinta.
Dengan pikiran yang tenang dan merdeka:
hidup akan berkobar bagai matahari menyala!

15

Dalam perjalanan, kutemui sebatang pohon kehidupan.
Di ujung daunnya setetes embun berbisik perlahan:
"Jangan biarkan hatimu ditikam kebencian,
keindahan sejati kini bermula dalam kedamaian."

16

Darimana aku datang? Ke sana aku pulang!
Kebimbangan menyeretku menuju pintu kematian.
Kesadaran menuntunku menuju gerbang kehidupan.
Di langit tenang: hatiku bebas bagai elang!

17

Penderitaan bagiku bagaikan memetik setangkai mawar:
terluka jariku pedih tertusuk durinya, namun bibirku
tersenyum saat tercium wangi harumnya. O, kini hatiku
telah menjelma taman mawar: lihat, langit pun gemetar!

18

Setiap benda memiliki pintu yang terbuka. Dalam intinya:
satu kekasih selalu menanti dengan setia. Adakah kita
benar-benar mencintainya? Lihatlah matanya, senyumnya,
pun tubuh dan jiwanya: adakah bedanya dengan diri kita?

19

Dunia mengintip lewat mata sekuntum melati.
Pikiran melompat riang seperti seekor kelinci.
Seekor pipit hinggap di hati membisikkan cinta.
Alam semesta kini terbuka: "Ya! Akulah Cinta!"

20

Ada berjuta jalan untuk sampai kepada Tuhan,
namun semuanya musti melewati proses kepedihan.
Bila aku berjalan tanpa terikat oleh jalan,
maka kuyakin: Tuhan sendiri akan menjadi jalan.

21

Jangan lagi kautipu aku wahai bukit waktu,
di padang selatan telah lama kutunggu topan.
Aku telah bosan dengan takdir batu-batu,
kini biarkan kujelajahi gurun kehidupan.

22

Bibir merah sang waktu telah kukecup semalam,
jemari ruang bergetar ingin diremas manja.
Saat kedua mataku terbuka: matahari pun hitam.
Hai, diri, telah kuungkapkan segala yang ada!

Bandar Lampung, 1990 - 2000

Daftar Isi


© Ahmad Yulden Erwin. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.