ULAH OLEH DUA SAHABAT

Teriknya panas matahari memantulkan cahaya putih bersih dari gemericik air sungai kecil yang bergelombang di wajah-wajah dedaunan. Seakan sebuah tanda trimakasih dari bumi untuk paginya yang hangat , dan bergairah , juga penuh dengan melodi. Kelam kabut putih yang bersemayam membumi , mulai mengawang ke permukaan , terangkat perlahan , meninggalkan butiran-butiran embun di tangan-tangan daun yang berlambai oleh angin hasil kepakan ayam hutan yang telah siaga.

Lalu tampaklah pandangan yang tadi suram karena terbaur dengan kabut , lunaslah hutang mata ini kala memandang dengan takjub , sejurus kearah bebatuan kali yang riak arinya.

Sungguh menyegarkan kering kerongkong , air yang bergantian turun dari hulu itu.

Seperti mengajak bercanda , jenaka , tapi penuh dengan pola yang konsisten. Membentuk harmoni yang mengagumkan. Kelebat kepak burung dalam siluet kali melintas , berkoak memanggil seakan mengajak melihat lebih seksama akan keindahan alam disini. Memaksa melihat kearah lain , ke atas lalu kebawah lagi. Tapi bukan kearah riak air , melainkan ke sebuah batu besar yang terletak di samping sebelah kiri tepi sungai.

Dimana alunan kepulan asap rokok membumbung terangkat ke atas , seiring dengan angin yang meniupnya berlahan , mengikuti arah riak air menuju hulu.

Seorang laki-laki paruh baya sedang menikmati sebatang rokok buatannya sendiri di pagi hari itu sambil duduk mengenakan celana hitamnya , dengan sarung terkalungkan di dada ke pinggang. Dia duduk tepat di atas batu besar itu. Mencari tempat yang langsung terkena matahari. Pagi ini dia bangun agak siang karena kemarin dia baru saja mendapatkan seekor babi gemuk untuk dijadikan santapan barang tiga sampai empat hari lagi. Sebuah rutinitas yang biasa menurut penduduk setempat. Setelah mendapatkan mekanan di hari itu , maka hari berikutnya adalah hari untuk menikmati makanan itu sampai habis dan sampai puas.

Terlihat dia membuang rokoknya yang hanya tinggal satu inchi itu kearah kali kecil di depannya , sambil batuk kecil karena dia bangkit dari duduknya. Tampak dia menengadahkan wajahnya kearah matahari pagi , dan dia merentangkan kedua tangannya , sambil menguap dengan besarnya. Lalu matanya yang hitam tajam di luruskannya kearah datangya sinar. Air memanggilnya , diapun hanyut ke pelukan air.

Langkah kakinya mantap , tegab badannya meskipun kurus , tapi guratan otot-otot di tanganya itu tidak bias di pandang setengah mata. Matanya cekung ke dalam dan alisnya tebal seperti rajut anyaman , dan kalau berjalan selalu menunduk ke bawah. Kebiasaannya adalah menggigit-gigit tembakau yang ada di pangkal rokok , bahkan sisa tembakau dari rokoknya sehingga rahang giginya yang kuat seolah mau meloncat-loncat keluar. Dia juga sering bicara sendiri , namun hanya terdengar olehnya saja. “Kappa” namanya. Pemuda pulau jati.

Kappa berjalan kearah dogha yang sedari tadi asyik mandi di kali , hanyut dalam pelukan kekasih paginya , Air. “Dogha” panggil si kappa keras-keras. Tapi tak berjawab.

“dogha !! kau pura-pura tak mendengar atau pura-pura bisu?” katanya dengan sedikit di bumbui emosi. “Aku pura-pura buta!”, jawabnya sambil sedikit tersenyum. “kau ini bertampang seram tapi goblok kappa” dengan senyum yang lebih di buat-buat supaya lebih kelihatan unsur penghinaannya. “Jelas lah aku mendengarmu kappa”. “lalu kenapa diam?”. “diam bukan berarti tidak tahu kalau kamu sedang berjalan ke arahku”. “Ya sudahlah , aku kesini hanya mau mandi juga , karena aku tahu waktu matahari setinggi ini kamu pasti juga mandi di kali ini” kata si kappa sambil langsung membuku penutup auratnya dan melompat ke sungai. “memang kenapa?” Tanya si dogha. “aku dengar ada kerja di kota?” . “Banyak!!!” Kata si dogha. “Oh ya?!!”. “Disana itu mudah cari kerja kappa , seperti memburu tupai” ucap si dogha dengan mata yang menyala-nyala. “Selain mudah gaji kita banyak , kota itu tidak seperti desa ini , disana akan hidup walaupun bulan purnama sudah tidak ada lagi”. “Maksudnya?” , Tanya si kappa heran tapi agak menutupi wajah ke heranannya. “Ya karena disana itu makmur dan gampang cari kerja , juga hiburan. “Hiburan macam apa?” Tanya si kappa lagi dgn tidak kalah herannya dengan pertanyaan yang pertama. “Wayang kulit ya?!!” sahutnya dengan menggebu-gebu. “Bukan , disana nggak ada sajian wayang , adanya diskotik , pup , dangdut ,wah pokokya banyak , kamu pasti akan senang disana”.

“Kapan kau akan ke kota lagi?” Tanya si kappa dengan penuh gairah , dan seolah seperti mengingatkan . “Aku sudah tidak bisa ke kota lagi kappa” sambil menundukkan wajahnya , tapi tetap dengan mata yang menyala. “Aku punya uang!”. Kata si kappa. Langsung berdiri mengeringkan tubuh , dan berlari meninggalkan kappa “ ikut aku ! akan kutunjukan sesuatu kepadamu!!”. Dan si kappa pun berlari mengiringinya.

Diambilnya bungkusan warna cokelat yang terletak persis di bawah atap ijuk itu , di timangnya dengan hati-hati. “mari aku tunjukan” katanya sambil memandang si kappa yang masih melongo. Mereka duduk bersila di bawah rumpun bamboo yang kuning daunnya bertebaran memenuhi halaman. Dengan mata penuh gairah si kappa memandangi bungkusan yang sedang dibuka dogha. “Ini peta , jalan utama menuju ke kota , lalu ini baju yang harus kau pakai jika kelak sampai di kota , dan yang hitam sepasang ini dinamai sepatu ,kau harus memakainya juga besok”. Kappa masih diam melongo , tiada tahu apa yang baru di perlihatkan temannya si dogha. “dan ini aku pinjami korek , kelak kalau kau sampai di kota , bakarlah peta itu karena akan musnahlah engkau nanti dengan senapan polisi kota kalau sampai ketahuan membawa peta ini”. “Polisi itu apa? Baju itu buat apa? Lalu sepatu yang seperti buah bligo itu apa? Aku bingung dogha dengan semua ini, dan kenapa kau pinjami aku korek? Sedangkan kau akan kekota denganku”. “Mengapa tidak kau sendiri saja yang membakar peta ini?”.

“Pertama , polisi itu adalah orang yang paling kejam di dunia”. “Dia biasa membunuhmu dengan sangat mudahnya “ Dengan di ikutui gaya polisi yang sedang menembak , dan wajah yang di seram-seramkan , “Dor!!!”… dan nggak usah banyak Tanya langsung mati di tempat kau. “Kau harus beri dia salam atau membungkukkan badan waktu bertemu , kalau tidak , bisa di hajar tanpa bisa melawan kau , ingat itu”. “Kedua , Baju…. Kau goblok sekali sich!!!.. baju itu sama dengan penutup auratmu yang sekarang kau pakai , tapi lebih bagus dan hangat , juga sopan , kat orang kota” .Sambil sedikit tertawa kecil dan memejamkan mata kirinya tanpa memandang si kappa. “Ketiga , sepatu , itu untuk alas kakimu yang tebal itu”. Si kappa meraba-raba kakinya yang hitam kusam itu , dan terkekeh-kekeh , “orang kota memang aneh-aneh..hehehehe.. apa enaknya jalan pake buah bligo di kaki”. “Bukan buah bligo tolol!!!! Sepatu”.jawab si dogha kesal. “Sama saja buah bligo atau tepatu…atau stupapu… aneh-aneh..hahaha”. “Dasar tolol” sahut dogha. “dan korek!! Kalau aku memberi korek ini kepadamu , artinya aku tidak ikut denganmu sahabat “. “Kenapa?!!” Tanya kappa gusar. “Aku kan sudah bilang kalau aku tidak bias ikut”. Lalu si kappa terdiam menunduk sebentar , dan berkata. “Baiklah kalau itu maumu , aku akan pergi besok , barang ini bias kubawa?”. “Tunggu dulu teman…!! Aku tidak memberikan barang ini dengan Cuma-Cuma , aku dengar kau tadi bilang kalau kau ada uang?”. Tanya si dogha dengan senyum simpul cerah. “Aku tahu.. kau mau minta oleh-oleh sepulangku dari kota nanti?” . “Tidak , aku tidak minta apa-apa dari kamu….hanya….mm…”. Sambil menunduk . “baiklah kalau begitu , aku sangat berterimakasih kepadamu dogha”. Kata si kappa menyahut cepat . “Mmmm….sebentar kawan.. aku butuh uang itu , tidak semuanya”. “Berapa kau butuhkan uang?” Tanya kappa. “Berapa kau punya uang?”. Tanya si dogha. “aku punya tigaribu limaratus duapuluh lima rupiah kawan”. Si dogha diam membisu , lalu tiba-tiba matanya yang penuh dengan ketertarikan itu terbelalak lebar, “Kamu akan cukup dengan membawa limaratus duapuluh lima rupiah , dan lagi makanan hutan tidak harus kau beli selama perjalananmu di hutan , bukan begitu?”. “Baiklah , tunggu disini aku akan ambilkan uang itu”. Tampak dogha tersenyum puas sekali.

“Ini uangnya , jangan bilang emakku ya”. Dengan wajah merayu. “Nah , aku tak akan bilang ke emakmu kalau kau tambah barang sedikit uang ini , tambahlah limaratus perakmu itu , kau tak akan mati hanya karena uangmu berkurang limaratus perak”, “duapuluh lima sangat cukkup buatmu , aku tahu persis apa yang akan kau butuhkan nanti , jangan khawatir sahabat”. “Dua ratus ya!”. Kata si kappa. “yah boleh lah , sini!”. Dengan rakus si dogha menyambar uang itu.

Pagi berikutnya mereka berangkat. Kappa tampak membawa bekal banyak , untuk perjalananya di hutan menuju ke kota , kappa yang lugu , yang polos , ……

Mereka bercakap-cakap sembari berjalan. Percakapan yang sangat biasa.

Yang tidak berkesan , yang tanpa konsep ,yang mengalir seperti sungai mereka di pagi hari.

Kira-kira dua jam mereka berjalan , si dogha tampak kecapekan. “Kappa , aku lelah , aku tidak bisa mengantarmu sampai ke kota , ingat itu!”. “Baiklah sobat , aku akan berjalan sendiri , aku harus cepat-cepat sebelum matahari hilang”. Dipandanginya kappa dalam-dalam. Ada kilatan cahaya sedih di mata dogha , namun berganti dengan cepat menjadi senyuman yang sadis. “selamat jalan sahabat!” Ucap dogha. “selamat tinggal sobat!” Balas kappa… “Jangan lupa baca peta!!.... Masih ingat khan?” teriak dogha. “masih!!!” Balas kappa. Makin lama makin menjauh , makin mengecil , dan hilanglah kappa sahabatnya dari pandanganya. Dia berjalan kearah balik… sambil tersenyum puas menimang uang si kappa. Lalu tiba-tiba dia terhenti , dan kelihatan wajahnya agak kacau untuk sementara.. Dikumpulkanlah tenagannya … dia lari kea rah kappa.. sambil berteriak keras..Kappaaa!!!!!!....kappa!!!!!!!!!... dengan nafas yang pendek-pendek.

Terlihat sosok kappa yang sedang membawa bekal berjalan cepat. Lalu berhenti dan berbalik kea rah suara si dogha yang sedari tadi memanggil-manggil namanya.

Kappa nampak bahagia sekali ternyata sahabatnya berubah pikiran. Di peluknya dogha erat-erat… “Kamu memang sahabatku yang sejati dogha” kata si kappa sambil meneteskan air mata. “hh…aku….hh…” masih tampak sangat kecapekan karena lari.

“ Aku Cuma mau bilang,….. jangan lupa membakar petannya…!!!! BAHAYA!!!! Buat kita”. “oh jadi hanya itu alasanmu mengejarku” Tanya kappa. “Ya.. sekarang lepaskan pelukanmu ini, dan segera berangkatlah” .

Kappa yang lugu , Kappa yang polos , Kappa yang sederhana , kappa yang malang.

Dua hari berikutnya Dogha ditemukan mati di kedai arak desa sebelah , dengan luka memar di mulut , mata ,dan tangan yang terbakar. Dia kalah judi , Kalah tigaribu duaratus rupiah.

Kappa yang lugu , kappa yang polos , kappa yang sederhana , kappa yang malang.

Bagaimana nasipmu Nak “rintih ibundannya yang tergeletak sekarat” Menanngisi kemalangan anaknya. Sampai ajalnya.

Daftar Isi


© Panuntun Nugraha. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.