MUDIK KE YOGYA

Aku masih berdiri diantara rempah-riuk kerumunan manusia yang datang dan menghilang entah kemana , dengan bau yang beraneka warna di antara mereka.

Dengan kulit dan bahasa yang berlainan macam pula. Aku sendiri. Dengan dua bola mata yang melotot sepenuhnya , penuh dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Memelototi kearah barat dimana matahari sore memancar kuning dan hangat , tajam menembus ke mata sampai ke ujung syaraf dan ahirnya berpangkal di otak paling belakang. Sebetulnya mata ini sudah tiada tahan dan seolah ingin mekar berbunga lalu menyebarkan biji dengan ahirnya lepas dari kepalaku dan menjadi mahluk yang individu, bebas.

Kupandangi jalur lurus yang seperti tak pernah berkarat itu. Berkilau seperti pedang pusaka aji buatan Mpu Adhiluhung , Yang dipakai para kaum satria sejak dari jaman majapahit ,mentereng dengan setelan baju bangsawan dan kuda. Berjuang di medan perang dengan gagah berani lalu pulang membawa kemenangan yang gilang-gemilang. Lalu aku berpikir, bagaimana dengan kaum bangsawan masa kini ya?...... Sesekali aku melihat ada orang tersenyum dan menari liak-liuk indah menawan diatas Rel kereta itu. “Ah Fatamorgana”, kataku meyakinkan.

Tangan kananku masih memegang sepotong tiket warna merah menyala , yang di atasnya tertulis “jurusan yogyakarta, senin, jam 5:30, dan yang terahir ada embel-embel ekonomi. “hehe....Ya yang kayak begini ini Karcis untuk kaum ku” kataku membela diri. Dalam hatiku sebenarnya ada rasa rindu yang tak bisa dibayangkan, mengapa merindukan kereta, kereta orang-orang kere lagi?. Tangan kiriku masih juga memegang dengan erat tas plastik warna kuning bekas bungkus kerupuk, oleh-oleh buat emak. Sepasang sepatu bekas yang aku beli setengah minggu yang lalu,hanya di pasar loakan tapi masih kelihatan bagus. Pikirku dari pada tidak membawa apa-apa buat emak, emak kesayanganku itu, yang masih kampungan dan serba heran, juga memprotes dengan segala bentuk kemajuan jaman. Yang selalu membenci kata-kata modern, reformasi, dan paling takut dengan Aparat. Dia pasti akan ketakutan setengah mati kalau berpapasan dengan aparat, apalagi di tegur atau lebih parah lagi di ajak ngobrol, bisa terkencing-kencing dia. Pernah sekali waktu dia medapat orderan mengangkut buah nangka di pasar “K” hanya tiga buah, oh ya, pekerjaannya sehari hari adalah menjadi kuli angkut, yah.. karena memang hanya itu yang bisa dia lakukan. Mau berdagang tiada dipunyainya modal, ingin aku ini sebagai anaknya bisa membantu. Tapi nasip kami sama, kata orang jawa …. Buah itu kalau jatuh tak jauh dari pohonnya..”bener juga untuk kali ini” kataku. Aku hanya seorang pekerja kasar di kota besar, sama persis denngan emak.. tiada punya ketrampilan yang bisa di andalkan kecuali otot dan syaraf di perutku, jadi selalu serba kalah untuk bersaing. Kembali ke Emakku... Sejak dari kecil dia terlatih untuk menjadi pekerja keras, beginilah di hari tuanya , dia tetap menikmati kerjanya . Tapi walau bagaimanapun, otot emakku itu telah menghidupi dan mencukupi kebutuhan perut anak-anaknya. Aku tetap berbangga padamu Mak. Kembali ke buah nangka tadi, dia memutuskan mengangkut semuannya sekali jalan. Dia berdiri lalu menumpangkan kaki kanannya di atas trotoar pasar yang becek itu, dan membentangkan kain batik yang tadi dia ikatkan di perutnya sambil mengambil satu demi satu buah nangka yang bergelinjir di pinggir penjual sayur . Nampak terlalu berat untuk seusiannya namun tetap di kerjakannya. Setelah dipikirnya itu cukup kuat untuk di angkut, di tariknya kain itu ke atas, lalu dengan gerakan yang luwes di timpahkannya beban itu ke punggung yang dengan otomatis membuat postur tubuhnya berubah sedemikian rupa dari seorang tua yang perkasa menjadi bongkok namun lebih perkasa, ah… Emakku, pahlawanku. Dibawannya dengan susah payah, dengan keringat, dan pengharapan. Tetapi begitu sampai di mobil sang empunya buah nangka itu dia langsung melotot dan menjatuhkan semua buah nagkanya lalu ngacir dengan mengangkat ke atas tinggi-tinggi kain jariknya, tanpa sempat menerima upah. Belakangan diketahui dia lari karena yang duduk menunggu di mobil itu adalah seorang polisi “Ah emakku… Emakku yang sederhana itu, pasti dia merindukannku, aku juga merindukanmu Mak”. Tidak sabar aku menunggu ketemu dengannya, akan aku cium kakinya kalau ketemu nanti, kaki yang di bungkus kain batik murahan itu… Oh Emakku… Emak yang bau permen purba, yang terbuat dari kapur di campur dengan dedaunan dan tembakau hingga membuat giginya selalu merah. Begitu nyata sekali perwujutannya di kepalaku ini. Tunggu Mak. Anakmu datang. Tunggu…..

Kereta belum nampak juga. Mencium bau pesingnya saja belum. Yang terasa hanya hawa garangnya. Ngeri kalau aku membayangkannya. Perampokan, penodongan, pemerasan, pencopetan, pencurian. Aku heran dari semenjak aku kecil cerita tentang kekejaman di kereta ini sudah aku dengar, Tapi mengapa sampai sekarang aku masih juga mendengarnya ya?, konon katannya para aparat telah dengan sigap menjaga, dan mengamankan isi kereta itu…Toh, masih banyak garong juga. Nggak masuk di akal! Pernah sekali dalam seumur hidupku aku melihat seorang dia di hajar sampai remuk hidungnya, sampai nungging-nungging kesakitan, waktu itu tempat dudukku persis di belakang seorang setengah baya yang keras penampakannya. Dan di depan mataku pula dia di hujani puluhan kepal oleh orang yang mengaku sersan dua di sebuah angkatan bersenjata dari kota Surabaya, hanya karena berebut tempat duduk. Si sersan itu memang menempati kursi yang mereka perebutkan sebelum ada orang yang mendudukinya, tapi dia pergi entah kemana, mungkin mencari tempat duduk yang lebih nyaman, karena waktu itu kami duduk di belakang kamar mandi, yang baunya membuat bulu kuduk berdiri. Lalu selang beberapa waktu, si sersan datang lagi, mungkin dia tidak menemukan tempat duduk yang kosong, jadi dia memutuskan kembali ke tempat semula. Tapi memang sial, seorang yang keras kepala juga sudah menempatimya. Maka tak pelak lagi, terjadilah perang mulut lalu baku hantam yang tanpa ritme. Mereka berkelahi seperti monyet-monyet yang tidak pernah mengerti kebudayaan, aku sendiri malu melihatnya. Malu dengan nenek moyang. Apa benar ya, teori evolusi si darvin itu, Dan aku menghubung-hubungkan, mungkin telah terjadi kesalahan evolusi, dan itu di derita oleh kedua orang yang sedang menikmati senam kesegaran emosi di depanku ini….

Apa si Darwin itu benar-benar, Benar??. Aku rasa benar tidaknya ada pada kita.

Tak kuat aku berdiri menunggu kereta yang katanya suka telat ini, bosan, aku jatuhkan bungkusan oleh-oleh buat Emak karena emosi yang meledak sesaat. Lalu buru-buru aku pungut kembali. Giliran tangan kananku secara tak sadar menjatuhkan tiket keretaku karena Kesadaranku hilang oleh rasa bersalah telah menterlantarkan oleh-oleh kebanggaanku untuk pujaan hatiku, Emakku. Anak-anak kecil kumal itu berjalan mondar-mandir di depanku, aku acuhkan mereka, sambil menggeser tas besarku yang sedari tadi aku injak talinya dengan kaki kiriku. Takut raib. Lalu duduk dilantai, merebahkan pantatku yang sebelah kiri, mengangkat lutut kanan, menumpangkan siku kanan di atas lututku, lalu bertumpu pada tangan kiriku. Jadilah sebuah bentuk posisi yang harmoni, pas untuk bersantai, dan rileks.

“Mas minta uangnya” kata seorang anak kumal itu di sebelah kananku. Aku tetap pada posisi semula, dengan gaya acuh dan sok kaya. “Buat makan mas, tiga hari belum makan”. Sambil melirik sedikit aku berkata “sudah mati kamu kalau nggak makan selama itu” . “Mas kasihan saya, lapar mas, minta uangnya mas”. Sial nih anak, bisikku dalam hati. Terpaksa aku merelakan sedikit uang di kantong. Aku beri dia seribu rupiah. “Makasih mas, makasih banyaaaaak” sambil membungkuk dan mengambil sesuatu di bawah. Aku segera meraba dompetku. Aman… Tunggu mak.

Kereta yang di agung-agungkan keberadaannya sebagai monster transportasi sekarang sudah tampak melenggang di depan mataku. Dari kejauhan sekirannya dia manusia pastilah dia seorang yang sorot matannya tajam sangar, dengan rokok mengepul di mulutnya, berjalan santai sambil memasukkan kedua belah tangan ke dalam saku celana seolah dia yang paling berjasa. Sombong. Tiupan trompet kereta merah nan “pesing” itu membangkitkan aku dari lamunan tentang Emakku, dan mengingatkan aku untuk lari lebih dulu berebut tempat duduk. Sekali lagi kami ber ulah seperti monyet. Aku malu, tapi memang begini keadaannya. Aku akan menangisinya setelah mendapatkan tempat duduk.

Sial tak bisa di hindari dari cerita-cerita klasik sejak jaman kakek Adam dan nenek Hawa.

Kereta penuh, tapi masih ada sisa untuk berdiri di dalam, Sialnya lagi batas waktu kereta untuk berhenti sudah mulai menipis. Ya ampun…. Mau kau terlantarkan beginikah aku, pak Masinis?. Aku berlari panik dari belakang ke gerbong paling depan. Semua pintu penuh sesak dengan sekian puluh orang yang pada waktu bersamaan hendak masuk ke kereta lewat pintu yang sama. Bukan menghemat waktu, tapi membuang-buang dengan sangat percuma, dan tolol. Aku menangis, seumur ini aku menangis… sudah tua bangka, menangis karena akan ketinggalan kereta, dan tidak bertemu dengan Emaknya. Oh.. kasihan diriku ini. Aku mencoba mencari-cari jalan. Aku lari kesana-kemari, dan sekarang ke arah belakang, gerbong paling belakang. Pikirku mungkin ada sisa di gerbong belakang.

“Ah!! Dasar sial” gerutuku. Benar-benar penuh seperti sarang lebah. Tiba-tiba kepalaku tertimpa botol minuman air mineral, “anjing” seruku sambil mengambil botol dan melemparkannya kembali kea rah jendela bagian atas yang terbuka. Bukannya minta maaf, yang melempar malah nyengir mengejek. Aku hanya mengacungkan tinju ke arah laki-laki setengah baya yang udik itu!! “Udik gila!!!” seruku.

Lalu seperti mendapat wahyu, aku masih memandang ke jendela tadi. Oh…. “Jendela,Jendela!!!” “ya, Jendela!!” seruku ber ulang-ulang. Aku bisa masuk lewat jendela!!! Langsung aku tersenyum dengan orang yang melemparkan botol tadi. Dan dia juga yang jadi bingung ahirnya. Aku mendekati jendela. Laki-laki tengah baya itu seperti ketakutan. Tapi aku tetap pasang muka riang dan ramah. Keraguannya hilang, dan mulai mendekati jendela yang terbuka. “Tolong kalau boleh titip tas ini, lalu saya nanti akan masuk lewat jendela ini,soalnya kereta sudah mau berangkat dan nggak ada pintu yang bisa aku injaki lantainya barang dengan satu kaki pun” Kataku nerocos. “iya,iya” sambil manggut-manggut jenaka khas udik dengan mata melotot dan memperlihatkan senyuman yang sama waktu melempar botol, senyuman mengejek. “Brengsek”. Teriakku dalam hati tetap dengan senyum yang kupaksakan melekat di bibir. Diambilnya tasbesarku lalu menyusul tas plastik dari tangan kiriku. Aku melompat dan tanganku menggapai bagian bawah jendela. Aku tarik badanku dengan kedua tanganku, lalu memasukkan kepalaku, persis seperti kucing. Kereta mulai berjalan tersendal-sendal. Aku sungguh panik, aku tidak mungkin minta tolong kepada mereka yang di dalam. Seperti di gantung rasanya kepalaku ini nanti jadinya. Aku harus berjuang masuk, atau kehilangan semua barang-barangku, sementara kereta berjalan semakin cepat, menghembuskan angin dingin yang bau nafas-nafas beringas anak-anak para raksasa sudra. Ketakutanku sudah melebihi batas… aku berusaha sekuat mungkin untuk memasukan badanku ke jendela, tapi apa daya badan malas itu tetap tak bergeming. “sial …seribu satu kali sial!!!” Gerutuku keras-keras. Aku bisa!!! Pasti!!!

Aneh…suara sorakan orang!??? Seperti mengaum dalam kuping ini. Satu stasiun jatinegara bergemuruh seperti seperti seruan malaikat yang memberitakan akan datangnya bala bantuan dari surga. Badan ini merinding dan takjup!! Karena bersamaan dengan suara gemuruh mereka itu badanku terangkat…seperti yang kumaui… kemauanku yang tadi belum bisa terlaksana, dan sekarang secara gaib badanku naik dengan sendirinya.. oh…ho…ho..ho… Begitu masuk di dalam kereta aku langsung berkata “Terimakasih ya Tuhan atas pertolonganmu, engkau sendiri yang datang mengangkat kakiku naik sampai badanku masuk ke kereta haram jadah ini” Seruku keras-keras. Dan “Emak!!!....” “aku pulang Mak!!!!” “pulang!!!!!!”.

Tiba-tiba secara ajaib, Meledaklah tawa dari semua orang-orang yang duduk di sekitarku. Aku bingung dengan apa yang mereka tertawakan. Mereka tertawa keras-keras dengan mulut lebar dan gigi tanpa di pangur, ada yang melotot sambil meneteskan air mata, ada yang terpejam-pejam. Duh.. jagat dewa bathara!!... aku hanya bengong seribu bahasa. Kosong. Melompong.

Ternyata mereka mentertawakan aku, dan sok ke tuhananku yang terpaksa keluar waktu dalam kesusahan. Maluku tak dapat di bendung, aku menangis yang ke dua kalinya untuk hari ini. Katanya seorang polisi telah membantu aku naik ke kereta dengan mendorong kakiku. Aku sangat bahagia, seharusnya dia menarikku dan melemparkan aku ke luar stasiun. Trimakasih. Ingin aku melihat wajahnya. Dan mengucapkan nyanyian seribu kali dengan syair Trimakasih.

Ahirnya suasana santai mulai terbentuk. Mereka hanya manusia biasa, udik seperti diriku. Mungkin juga sama tingkat pendidikannya. Sederhananya, rasa kemanusiaannya, humornya, aku suka. Aku menikmatinnya, seperti di belai dalam kelambu sang raja dengan tangan-tangan indah gemulai nan lembut dari para dayang. Indah. Keindahan yang sulit untuk tidak di indahkan, aku menikmatinya. Indah.

Semua berlalu dengan lancar, silaturahmi kami, dongeng kami. Sampai saat dua orang berseragam dengan topi besar yang seram datang. Mereka merenggut ke akraban kami.

Yang satu tampak jelas seorang polisi dan Yang satunya lagi tampak berseragam biru muda dan biru tua pada celana panjang, aku langsung paham, pemeriksaan tiket. “Oalah…. Bromo corah keparat itu..!!!”. “kenapa kang?” Tanya orang di sebelahku. “dia mengambil tiketku…. Aku salah telah lalai, dan para bromo corah itu lebih salah lagi” . “OOooo” suara orang-orang yang nampak bersimpati tapi tak bisa berbuat apa-apa, seperti kerbau penuh yang tiada bisa berbuat apa-apa.

Aku di bawa ke gerbong lain, atau bisa di katakana gerbong mereka. Ada kira-kira enam orang yang ikut dengan mereka. “Denda untuk penumpang yang ketahuan tidak membawa tiket di dalam kereta adalah dua kali harga tiket”.

“Nah berhubung ini hari raya lebaran, denda ikut seperti tarif kereta yang naik terserah tapi minimal…. Ya…. lebih dari empat kali”. Katanya sambil sok dewasa dan berwibawa.

Dan aku, orang desa yang hanya bisa di tekan ini, hanya bisa melongo, dan berkata..ooOOoo.. seperti kebo, dengan ekstra manggut-manggut.

Sampai kapankah?

Daftar Isi


© Panuntun Nugraha. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.