Bau tepung yang di masak ,menyengat segar di pagi itu. jam 5 pagi kompor-2 besar dinyalakan,mengimbangi gigilan kenikmatan tidur pulas.
mesin-mesin telah juga menggeliat,hendak memberi warna hitam di langit yang sudah hitam karena musim hujan. Dingin dan nikmat suasana pagi seakan memberi nyawa bagi tempat tidur untuk menimang dan memanjakan. kenikmatan yang bisa di dapat untuk semua orang,siapa saja.
namun mungkin tidak untuk laki-laki yang satu ini. Jam setengah empat pagi dia sudah berangkat dari rumahnya. naik sepeda onthel ,salah satu sepeda yang ada saat itu. Dengan berbekal satu bundel makanan dan seucap doa selalu selamat dari istrinya, juga salam dari Wajah pulas dan nyenyak ke dua anaknya. dia memulai hari yang dingin itu.
Namun itu tak menjadikan kesedihan diam mendekam di hati suami istri ini. mereka harus menerima kenyataan itu dengan perasaan yang pahit,dan mau tidak mau mereka harus memikirkan hari depannya ,juga untuk kedua anaknya. impian mereka di masa mendatang. ”Rubinah dan sugeng adiknya”. Anak -anak yang lucu. Yang selalu memberi hidup dan yang selalu menerima hidup ini dengan apa adanya,dengan segala kemiskinan mereka,dengan segala keterbatasan mereka.
Waktu yang di nanti-nanti telah tiba,dengan bunyi sirine yang panjang dan terdengar merdu di telinga mereka. seakan mendengar suara penyair yang sedang bernyanyi keroncong dengan lembut penuh perasaan di tengah malam yang dingin berkabut tebal, sambil memeluk guling dan merapatkan selimut ke tubuh. indah,agung,merdu,menawan,eksotik.
Itu tanda bahwa satu hari kerja telah terlewati. Hari yang membosankan yang hanya menceritakan tentang komposisi adonan tepung untuk menghasilkan mie yang berkualitas. Jam empat dia keluar dari pintu gerbang pabrik mie,setelah dia absen dan ngobrol sebentar dengan petugas absen,yang notabene adalah tetangga desanya waktu dulu masih muda. yang juga menjabat teman bermain waktu amat masih kecil. walau bagai manapun relasi itu sangat mendukung dalam semua kegiatan di dunia ini,termasuk juga sebagai buruh pabrik mie di yogyakarta ini.
Amat pulang dengan rombongan sepeda kumbangnya.seperti pasukan belanda yang sedang berpatroli. Namun ini lain,karena ini rombongan dengan senjata senyum dan tawa mereka sembari mengayuh sepedanya. mereka seolah tidak merasa capek dengan pekerjaan mereka yang seharian mencumbu tepung itu. Amat memisahkan diri dari rombongan sepeda kumbangnya,dia berbelok ke kanan jalan, dan berhenti tepat di depan sebuah warung terpal biru. dia teringat istrinnya ”Kang amat mbok aku di tukokke bakmi godhok nggone ko-hong kae lho”. aku kok rasane pingin banget mangan bakmi” Tukang pembuat mie yang membeli hasih karyanya sendiri..Tapi itu tidak bisa di pungkiri. dia cinta istrinya .
Cinta yang polos dari seorang sederhana.
“anak-anak
mana bune?” kang amat bertanya sambil mengkipas-kipaskan
baju yang tadi di lepaskannya.
“sedang mandi di kali sambil mencuci tadi”
“Mbok yo kalau ke kali itu di kancani......khan masih anak -anak tho bune”
“Wong tadi pamitnya juga sebentar kok...”
Sambil memijit kaki suaminya.
“kang
aku kok hari-hari ini agak nggak enak badan ya.? aku takut kang kalau aku
sakit.”
“aku
muntah dua kali hari ini.”
amat tidak langsung menjawab. dia menyalakan rokoknya dan menghisap dalam-dalam
sambil menatap istrinnya dengan penuh perhatian.
“oalah
bune-bune kamu mau sakit apa lagi? Mbok
eling kita ini orang miskin kalau kamu sakit, terus mau mau di obati pake
apa? apa nggak cukup aku ngrawat kamu
? kurang opo tho aku bune...?”dia tidak bisa membayangkan
kalau istrinya sakit, betapa repot dan kacaunya dia. merawat ke dua anaknya, dan bagaimana dengan
pekerjaannya.. dia membelai kepala
istrinya.
“besok
pergilah ke tempat simbok, mintalah obat untuk sakitmu itu!”
“nggak
usah ke rumah sakit”
“Aku
sekarang mau makan. aku ngeleh bune.
kowe mangsak opo?”
“
sayur lodheh kang.”
“bocah-bocah
wes dho mangan dhurung?”
“nanti kalau lapar mereka pasti juga minta makan sendiri kang”. amat makan seperti kambing lapar.. ciri khas yang tidak bisa hilang dari dia. selesai makan seperti biasa dia merokok lagi di depan sambil ngobrol dengan tetengga sebelahnya. kadang-kadang sampai malam tiba mereka masih ngobrol dengan asyiknya.
Tugasnya di rumah adalah mengambil air di sungai yang nggak begitu jauh dari rumahnya dan menyimpannya di tempayan untuk simpanan kalau istrinya sedang masak atau mencuci piring.
Begitulah rutinitas Amat setiap harinya. Membosankan tapi sangat berarti bagi dia sebagai seseorang yang mempunyai rumah tangga. dan miskin.
############
Sugeng senangnya setengah mati. mengenakan setelan seragam warna merah putih, walaupun itu pemberian dari tetangganya yang sudah tidak di pakai karena terlalu kecil . dia sangat bangga bisa ber sekolah. inilah hari pertama dia bersekolah. tampak berseri-seri, begitu juga dengan orangtua mereka. tidak kalah bangganya dengan si sugeng . melihat anaknya melebihi mereka. dia berangkat ke sekolah dengan Rubinah yang sudah kelas enam. mereka berangkat bertiga dengan teman akrap rubinah “ Tono” tetangga sebelah mereka, dan teman bermain mereka juga, anak orang sedikit kaya.
Sepulang sekolah mereka pergi dengan ibunya ke tempat nenek mereka yang usianya sudah seratus limabelas, yang terkenal berprofesi sebagai dukun bayi, yang pandai memijit, dan murah hati. itu alasan terahir mengapa mereka sering pergi kesana.
“Nem-tukinem...kowe
wes meteng meneh lho”
“sing
ati -ati nek mangan.ora waton .mengko mesakkake cabang bayine”
“yoh
mbok..”
“bojomu
di andhani..ben cepak-cepak nggo sesuk”
“sing
ngati-ati yo nem anakku...”
“yoh
mbok..”
Delapan setengah bulan setelah tukinem tehu tentang kehamilannya, sekarang dia sedang berada di perjalanan ke tempat ibunya, dia mau melahirkan. ada sedikit kelainan, pendarahan yang lumayan parah,namun di anggab biasa oleh penduduk setempat karena ketidaktahuan mereka. Amat sudah berangkat pagi tadi . tidak ada hal atau firasat kalau istrinya mau melahirkan. rubinah dan sugeng juga masih di sekolah, kalaupun itu sudah waktunya pulang mereka mungkin masih asyik bermain. dengan dibantu tetangga-tetanggannya dia di papah dan di bawa ke tempat ibunya. Tanpa perasaan panik atau heran atau kaget sekallipun ibunya tukinem mempersiapkan “ubo rampe” untuk melahirkan anaknya yang datang secara tiba-tiba dan tidak wajar itu. Darah dimana-mana, tukinem tidak menangis seperti biasanya orang melahirkan. dia hanya melotot menahan sakit yang mungkin keterlaluan. dengan sigab ibunya tukinem menjalankan ritual yang biasanya harus di jalani sebelum menjalankan tugasnya.
Aneh sekali..tukinem tidak bersuara sedikitpun, tapi dia masih melotot. ibunya memukulnya keras-keras sambil berharap dia mendengar jeritan rasa kaget atu sakitnya.. tapi sia-sia dia masih melotot terus.
“ra
popo nduk cah ayu.....slaMet...slamet”
“wis
arep metu cabang batine nduk..... sing kuat yo nduk... tak ewangi...”
Ibunya terus memberi kata -kata yang menyejukkan ke kuping tukinem.
tidak ada reaksi dari tukinem.
Dengan bantuan kakak tukinem yang juga tinggal satu rumah dengan ibunya, dengan cepat alat-alat untuk membantu proses melahirkan pun sudah siap. alat-alat yang sangat sederhana.dan tidak steril karena hanya di rendam di air hangat saja.
proses melahirkan pun dimulai.
perutnya mulai di pijit-pijit, para tetangga yang datang pun membantu juga .
ada yang menggosok telapak kakinya dengan
minyak supaya hangat, ada yang mengelap dahi tukinem dari keringat yang bercucuran
karena menahan sakit.
“Nduk
cah ayu....ngomongo nduk....ora opo-opo....iki mbok mu...”
“slamet....slamet
cah ayu...”
Setelah sekian lama tidak ada perubahan di diri tukinem , ibunya ber inisiatif mendorong bayinya dengan paksa.
“Seng
kuat yo cah ayu....eling....karo sing kuoso ...nyenyuwun....”
Dengan peralatan yang seadanya dimulailah praktik melahirkan dengan bantuan dukun bayi. yang adalah ibunya sendiri.
Sepuluh menit....duapuluh.....empat puluh......belum juga terdengar tangisan bayi..
sampai satu jam kemudian dengan keringat di seluruh tubuh tukinem,dan darah yang masih sangat segar di tempat tidur,sangat banyak......terdengarlah suara bayi menangis......laki-laki....
“ngallahamdhulillah..........slamet.....slamet.....Tak
jenengi slamet kowe le...”
“Nduk
cah ayu ....tak jenengi slamet yo anakmu iki.....................”
“nduk....Nduk.....NDUK.....oalah
nduk.......kok elek temen lakumu Nduk......’
“oalah.......nduk...nduk......
Tukinem diam...masih melotot...tak bernafas.....
Begitu juga anaknya.....setelah dua tiga kali menangis....lalu dia ikut ibunya........kehamparan sukma...
ke lautan sepi..dimana tak ada ujung dan tak ada batas. semu.
Misteri.....
Ibunya tukinem masih menggendong cucunya yang masih muda tapi sudah matang dan tua.dan hanya mampir untuk menjemput sang ibu...
Dia menyanyikan tembang jawa.....tembang
yang ia karang sendiri syairnya....untuk si cabang bayi.....”Tak lelo-lelo putuku....sing ngganteng dhewe
sing
bagus ndunyo lan aherat.....sing mampir
neng mung sedhela......Oalah le...le..........Oalah nduk.....anakmu iki lho ....bagus tenan......gilo...delokken nyo!!....Nduk....
tangiya.....nya gendongen anakmu ......susonono......Nduk..........nduk......
sebanyak apapun air mata yang di keluarkan..sesuatu yang telah pergi dan hilang ...hanya akan menjadi bayang di hat. tidak lebih dari itu.
Amat harus pasrah menerimanya.
amat yang sangat mencintai istrinya......merasa bimbang sekarang...
Dia tidak begitu yakin kalau dia mampu menghadapi hari ke depan. Dengan ke dua anaknya. dengan tanggung jawabnya...dengan kenakalan mereka..dengan kebutuhan mereka...bagaimana bisa. harian dia bekerja untuk biaya anak-anaknya dan dia juga harus mengawasi mereka....masalah yang sangat pelik...
Namun keberuntungan tidaklah bisa di perkirakan.....
Bantuan datang dari saudara-saudara istrinya. tawaran tentang rubinah dan sugeng untuk menjadi anak angkat kakak isrinya yang memang tidak punya anak.
semua masalah pasti ada penyelesaiannya. jadilah kakak tukinem sebagai ibu baru untuk rubinah dan sugeng.
jadilah si amat sebagai bujangan yang bekerja untuk ikut serta membiayai sekolah anaknya. jadilah semua seperti apa adanya. jadilah dunia ini serasi dengan perbedaannya, dengan keadaannya masing-masing. dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. duka telah sirna. tidak untuk dibuang, tapi tidak disimpan untuk menjadi sampah dan membusuk. duka untuk bekal. untuk sarapan di hari mendatang.
hening...........
sehening suasana
setelah kematian yang sangat mengejutkan
sehening kedukaan yang mengendap.......
Amat,
rubinah, dan sugeng telah menjadi manusia yang dewasa.
© Panuntun
Nugraha. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.