MALAM KEDUA DI KOTA

Ini malam kedua kita, begitu katamu. Tiba di kota, tanpa ada lagi kawan yang biasa tertawa bersama. Sungguh, jalan itu tak pernah terlihat. Bayangan yang mengendap, di sebuah lorong gelap, bacin dan licin. Susuri badan dan ngilu kelamin yang berserak. Mungkin, kau tak lagi percaya, mengapa kita berdua bisa tiba di sini. Hanya senyum beku, di ujung gelas, kopi yang dingin, sebuah sudut yang tak tembus cahaya. Meski, kita memilih untuk tetap setia. Bertahan di antara sendu terminal, mengawasi rute-rute bisa yang membawa kita tanpa carik alamat.
Huekk!!kamu muntah. Tanah-tanah retak lalu terbelah, pejalan kaki tak lagi riang. Sedang di depan gedung, barisan demonstran kehilangan semangat. Sudah malam, kau dengar gumam mereka. Celoteh mereka menyusup di antara gerak tuntutan, rindu masa jaya lalu, presiden yang terkucil. Undur diri. Jalanan makin dingin, nocturno, mata-mata awas yang dipenuhi curiga. Pohon-pohon palem hanya ilusi sayup mata. Sisa kantuk yang tak bisa terbenam, dalam tidur, puluhan mimpi jadi belatung yang menggumpal. Badan kita ditutupi beton, di antara sayup lampuan yang siram letih tubuh, memaki dalam sembul keringat, syahwat dingin para pengantin baru. Seperti sebuah bangunan yang kokoh, kita tergantung, di antara antene televisi yang mulai keropos, disiram cuaca. Siap menggantung leher kita! Ini malam kedua kita singgah di kota. Nikmatilah, seadanya. Meski kutahu kau tak akan bisa memicingkan matamu, menahan lindap kantuk yang mengerut.

Jakarta, 2002-2003

Daftar Isi


© Alexander Robert Nainggolan. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.