ALMANAK

Kau rasa tubuhmu lepai, menyimpan segala perih. Sampai setiap gelinjang begetar lagi. Menciumimu dalam kelenjar zakar. Waktu merayap, menghunus belati dingin, menikam perlahan dalam suguhan gambar yang buram. Layar-layar televisi padam, listrik kota ini telah lama sekarat. Mengerubungi janji dan rasa letih ingin pulang. Di mana Ibu? Aku ingin menggambar tahun-tahun yang bertukar bagai kabar-hambar. Betapa telah kita bius luka peradaban, menawarkan segelas coke murahan dan membuangnya dengan asap rokok putih yang memucat. Tanggal-tanggal berganti, almanak rebah. Tertidur dan melelapkanmu pada sebuah hening batu. Telaga yang biru, matahari yang legam dan menguncup di antara rindang silsilah. Tidak! Aku masih terjaga, Ibu. Jangan datangkan kutukan itu! Aku tak mau jadi Malin yang batu, menggarami setiap air mata yang menganak di matamu.
Waktu merayap lagi. Sekelumit masa lalu yang gagal, dan memaksa kita merenda cuaca lagi, menepikan kubur sendiri yang buncah bagai peluh asing, tiap kali melangkah. Hitung berapa perjalanan lalu sudah? Tak menegur, wajah-wajah pucat tak dikenal. Sebuah persimpangan penuh kabut, tak mampu menegakkan bayangan basah tubuh sendiri. Tiba-tiba, angin menyentuh semedi dedaunan, merayap di sebuah ruang tunggu. Menanti kupu-kupu tiba di ruang tamu. Sudut rumah. Hitam. Tebarkan geram dan cemas sama. Kau rasa bening matamu berdarah, lidah hari mengguncang. Mengoyak setiap kepingsanan diri yang kau susun, merontokkan segala yang dipunya. Sampai kau merasa almanak tanggal dan tak kuasa mengetuk pintu itu lagi…


Jakarta-Bandar Lampung, Maret 2001/2002

Daftar Isi


© Alexander Robert Nainggolan. All rights reserved.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.